Terkait tulisan saya sebelumnya tentang sistem orientasi, menarik juga untuk diketahui bahwa tidak semua bahasa dunia punya kata untuk "kanan", "kiri", "depan" dan "belakang".
Guugu Yimithirr, salah satu bahasa orang Aborigin Australia, adalah salah satu contohnya. Para penutur bahasa ini menjelaskan posisi suatu benda dengan menempatkan benda tersebut dalam arah mata angin terhadap benda lainnya. Contoh: - "Buku merah itu ada di utara kamu", alih-alih "buku merah itu ada di depan kamu". - "Rumah saya ada di selatan", alih-alih "rumah saya ada di belakang".
0 Comments
Entah kenapa, sudah sejak agak lama saya mencurigai bahwa nenek moyang kita sebenarnya tidak mengenal sistem orientasi absolut sebagaimana yang sekarang kita kenal dengan "utara", "selatan", "timur", dan "barat". Kecurigaan ini terbukti ketika saya mulai menggali tentang sistem orientasi pada peradaban Austronesia (sebutan dalam ilmu linguistik untuk nenek moyang orang Indonesia bagian barat dan tengah, Madagaskar, kepulauan Pasifik, Filipina dan penduduk asli Taiwan) dan Indo-Eropa (sebutan dalam ilmu linguistik untuk nenek moyang sebagian besar orang Eropa modern, juga India dan Iran). Ternyata, sistem orientasi absolut (empat mata angin) yang kini kita kenal adalah hasil penyerapan dari kebudayaan India ketika Hindu pertama kali masuk ke Nusantara, lalu diperkuat oleh kebudayaan Arab dan Belanda (pada masa penjajahan). Aslinya, sistem orientasi nenek moyang kita sebelum bersentuhan dengan kebudayaan India tidak seperti ini. Alih-alih absolut, nenek moyang kita menggunakan sistem orientasi relatif relatif. Sistem ini sangat menunjukkan ciri nenek moyang kita yang merupakan bangsa pengarung lautan. Nenek moyang kita menamai berbagai arah berdasarkan letak dataran tempat mereka bermukim, letak lautan lepas, dan arah bertiupnya angin Muson Timur dan Barat. Di bawah ini adalah nama-nama arah asli pada kebudayaan nenek moyang Austronesia:
- Daya = arah daratan tempat bermukim berada - Lahut = arah lautan lepas berada - Sabarat = arah datangnya angin Muson Barat - Timur = arah datangnya angin Muson Timur - Qamis = arah datangnya angin utara Contoh penggunaan nama-nama arah di atas: Dimanapun nenek moyang kita berada di lautan, arah menuju dataran tempat mereka bermukim selalu mereka sebut dengan "daya". Sementara bila mereka ada di darat, seluruh arah yang menuju lautan lepas akan disebut "lahut". Begitu juga bila mereka ada di darat ataupun laut, arah datangnya angin Muson Barat (di Indonesia bertiup pada bulan Oktober-April) akan mereka sebut dengan "sabarat", sementara arah datangnya angin Muson Timur (di Indonesia bertiup pada bulan April-Oktober) akan mereka sebut "timur". Nama-nama arah tersebut tentu saja bisa dikombinasikan. Misalnya bila mereka berada di laut, arah datangnya angin Muson Timur yang akan membawa mereka ke arah daratan tempat mereka bermukim akan disebut "timur daya". Begitu juga bila mereka ada di darat, arah datangnya angin Muson Barat yang akan membawa mereka menuju laut akan mereka sebut "sabarat lahut". Angin Muson menjadi satu kesatuan dalam sistem orientasi nenek moyang kita, karena di kawasan katulistiwa angin inilah yang menjadi penggerak kapal mereka di lautan. Nama-nama arah ini mulai menjadi absolut ketika anak keturunan peradaban Austronesia mulai bersentuhan dengan kebudayaan India dan Barat. Kebudayaan India memang mengenal sistem orientasi absolut yang merupakan bawaan dari peradaban Indo-Eropa yang menjadi nenek moyangnya. Di Sumatera yang menjadi tempat mayoritas penutur awal bahasa Melayu (yang menjadi asal-usul bahasa Indonesia) berasal, "barat laut" dan "timur laut" akhirnya menunjukkan arah yang seperti saat ini, sementara "barat daya" menunjukkan arah pulang ke pulau Sumatera bila Anda berada di Selat Malaka. Di daerah penutur bahasa Kavalan, Amis, dan Tagalog (Filipina), kata "timur" justru berarti selatan, dikarenakan letak geografis mereka terhadap arah datangnya angin Muson Timur. Sementara di daerah penutur bahasa Ilocano (Filipina), kata "daya" dan "lahut" menunjukkan "timur" dan "barat" secara berurutan karena posisi mereka terhadap lautan. Nama-nama arah mulai menjadi absolut di Filipina sejak Filipina berada di bawah kolonialisasi Spanyol dan setiap daerah di sana memiliki pemahaman berbeda terhadap makna kata "timur", "sabarat", "daya" dan "lahut" sebelum Tagalog akhirnya menjadi bahasa nasional. Di Bali, kasusnya agak unik. Karena pusat Bali modern berada di selatan, kata "kaja" dan "kelod" dalam bahasa Bali bagi mayoritas orang Bali menunjuk pada utara dan selatan secara berurutan. Tapi aslinya, kata "kaja" berarti "gunung" dan "kelod" berarti "ke laut". Oleh karena itu bila Anda ke Singaraja di utara Bali, disana "kaja" berarti "selatan" dan "kelod" berarti "utara". Karena bila Anda disana, Gunung Agung memang berada di selatan. Lantas bagaimana asal-usul sistem orientasi peradaban Indo-Eropa yang absolut? Sebenarnya pada awalnya, sistem orientasi orang Indo-Eropa bersifat relatif, dilihat dari letak geografis mereka bermukim. Ini bisa kita lihat dari asal-usul nama-nama arah mata angin dalam bahasa mereka. Kata "east" (bhs. Inggris) atau "ost" (bhs. Jerman dan Perancis) berasal dari kata "austos" dalam bahasa nenek moyang Indo-Eropa (Proto Indo-Eropa) yang berarti "bersinar". Maksudnya, tempat bersinar matahari. Kata "west" (bhs. Inggris dan Jerman) atau "ouest" (bhs. Perancis) berasal dari kata "uestos" dalam bahasa Proto Indo-Eropa yang berarti "malam". Maksudnya, arah ketika hari menjadi malam. Sementara itu kata "north" (bhs. Inggris) atau "nord" (bhs. Jerman dan Perancis) berasal dari kata "nortos" yang berarti "tenggelam'. Dan kata "south" (bhs. Inggris) atau "süd" (bhs. Jerman) ataupun "sud" (bhs.Perancis) berasal dari kata "suntos" yang berarti "wilayah matahari ("sun"). Maksudnya, tempat dimana matahari selalu bersinar (daerah Mediterrania). Seandainya saja orang Indo-Eropa bermukim di bagian selatan Bumi, tentulah kata "north", "south", "east" dan "west" di atas akan menunjuk pada penjuru Bumi yang berbeda. Silakan mengacu ke: - Blust, Robert; Australian National University. Pacific Linguistics (2009). The Austronesian languages. Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University. ISBN 978-0-85883-602-0. - Indogermanisches etymologisches Wörterbuch - Arismunandar, Agus; "Ibukota Majapahit, Masa Jaya, dan Pencapaian", Penerbit Komunitas Bambu Saya harus katakan, ini luar biasa! Ini adalah sebuah hubungan yang kalau bisa dibina kembali.
Masih ingat tulisan saya tempo hari soal kedatangan orang Makassar ke Australia ratusan tahun silam dan keberadaan 300 kata Makassar dalam bahasa Aborigin Australia? Ternyata akibat hubungan Makassar-Aborigin saat itu, ada juga orang-orang Aborigin yang bisa berbahasa Melayu, mengikuti kapal-kapal dagang Makassar untuk mengunjungi ibukota kerajaan Gowa dan menuliskan catatan kunjungannya. Silakan baca di hasil penelitian Bpk. Nurdin Yatim dari Universitas Hasanuddin Makassar ini: www.linguistik-indonesia.org/images/files/PengaruhBahasaMakassarpadaBahasa-BahasaAmborigin.pdf Siapa orang luar (di luar penduduk asli) yang pertama kali menemukan benua Australia? Kalau kita menilik sejarah yang populer, jawabannya adalah pelaut-pelaut Eropa pada tahun 1600-an, seperti Willem Janszoon (Belanda), William Dampier (Inggris) ataupun James Cook (Inggris).
Tapi kalau kita menilik bukti-bukti sejarah yang dimiliki suku Yolngu, suku aborigin (asli) Australia pesisir utara, dan catatan beberapa pelaut Eropa, kita bisa mengetahui bahwa para pelaut Makassar sudah ramai mendatangi dan mengadakan kontak dengan suku aborigin di pesisir utara Australia ketika para pelaut Eropa mulai menjelajahi pantai-pantai Australia. Dengan demikian, para pelaut Eropa bisa jadi bukanlah para penemu pertama benua Australia dari luar. Bukti kontak antara pelaut Makassar dan suku Yolngu sangatlah melimpah. Salah satunya adalah bahasa. Di bahasa suku Yolngu, terdapat kata "rupiah" ("uang"), "balanda" ("orang kulit putih"), "jama" ("kerja"), "prau" ("perahu") dan sejumlah kata lainnya yang berasal dari bahasa Makassar. Para peneliti sejarah umumnya sepakat bahwa pada tahun 1700-an, kontak antara para pelaut Makassar dan suku Yolngu sudah terjadi. Tapi mengenai kapan kontak ini pertama kali terjadi, para ahli berbeda pendapat. Regina Ganter dari universitas Griffith percaya bahwa kontak ini sudah terjadi pada pertengahan tahun 1600-an berdasarkan bukti-bukti yang bisa ditemukan di kampung halaman orang Makassar, yaitu Sulawesi. Kedatangan para pelaut Makassar ke pesisir utara Australia pada awalnya dan umumnya adalah untuk mencari teripang (hewan laut) yang nantinya akan dijual ke para pelaut Tiongkok. Setelah teripang berhasil diambil dari laut, para pelaut Makassar biasanya akan berdiam dulu beberapa lama di tanah Australia untuk merebus, mengeringkan, dan mengasapi teripang sebelum membawa seluruhnya kembali ke Sulawesi. Proses pengolahan teripang a la Makassar pada saat itu bisa dipelajari melalui catatan Matthew Flinders, seorang Eropa yang berjumpa Pobasso, kepala salah satu armada kapal Makassar di lautan Australia, pada Februari 1803. Selama berdiam di tanah Australia inilah, terjadi kontak erat antara orang Makassar dan suku Yolngu. Dari wilayah laut Yolngu, orang Makassar mendapatkan teripang. Sementara itu dari orang Makassar, orang Yolngu mendapatkan beras, tembakau, kain, pisau, kapak dan barang-barang logam lainnya. Sering datangnya para pelaut Makassar ke pesisir utara Australia membuat para pelaut tersebut memiliki nama untuk benua Australia dan beberapa daerah di Australia utara dalam bahasa Makassar. Benua Australia, sebagai contoh, disebut "marege" yang berarti "negeri asing", sementara kawasan Kimberley saat ini disebut "kayu jawa". Uniknya, banyak orang dari suku Yolngu yang kini juga menyebut beberapa daerah di kawasan mereka berdasarkan nama yang dulu diberikan orang Makassar. Meskipun terdapat beberapa peristiwa konflik dalam hubungan antara pelaut Makassar dan suku Yolngu, tapi John Bradley, seorang antropolog dari universitas Monash, berpendapat bahwa secara garis besar hubungan antara orang Makassar dan Yolngu harmonis dan sukses. Ini karena selain kedua belah pihak sama-sama merasa diuntungkan, orang Makassar dan Yolngu sama-sama memandang satu sama lain sebagai pihak yang sejajar; sesuatu yang tidak terjadi ketika bangsa Eropa bertemu orang-orang aborigin dan mulai mendirikan koloni-koloni di Australia. Sebelum orang Makassar tiba, suku Yolngu masih menggunakan peralatan-peralatan dari batu dan belum mengenal teknologi pembuatan kapal yang maju. Setelah bertemu dengan orang Makassar, mereka menerima peralatan-peralatan yang terbuat dari logam dan belajar teknologi pembuatan kapal seperti perahu-perahu Makassar sehingga Yolngu bisa menjadi suku maritim, berbeda dengan suku-suku aborigin lainnya. Sayang hubungan erat antara orang Makassar dan Yolngu akhirnya harus berakhir ketika negara Australia resmi didirikan dan pelaut-pelaut asing dilarang masuk, apalagi mengambil hasil laut dari perairan Australia. Using Daeng Rangka adalah orang Makassar terakhir dalam catatan Australia yang mengoperasikan armada penangkap teripangnya di wilayah laut Arnhem pada 1907. Setelah dia, tidak pernah ada lagi pelaut Makassar yang kembali ke Australia. Meskipun tidak ada lagi kontak antara suku Yolngu dan orang-orang Makassar, namun orang-orang tua suku Yolngu selalu mengenang masa-masa harmonis hubungan dengan orang Makassar dan merindukan datang kembalinya "saudara-saudara pelaut dari utara". Bukti-bukti kontak selama beberapa abad antara orang Makassar dan suku Yolngu pun masih bisa ditemukan saat ini. Selain terdapatnya beberapa kosakata Makassar dalam bahasa suku Yolngu, lukisan-lukisan gua suku Yolngu pun banyak yang menggambarkan perahu-perahu Makassar. Antropolog John Bradley bahkan mengatakan bahwa pada nyanyian-nyanyian, tari-tarian, dan cara penguburan jenazah suku Yolngu pun terdapat sedikit pengaruh Islam yang merupakan agama para pelaut Makassar saat itu dan membuat ritual-ritual suku Yolngu ini sedikit berbeda dari ritual suku-suku aborigin lainnya. Penggalian-penggalian arkeologis pada daerah-daerah tua di pesisir utara Australia hingga saat ini pun masih menghasilkan temuan-temuan berupa sisa-sisa pemukiman sementara, musholla ataupun meriam-meriam kapal milik para pelaut Makassar yang dulu sering datang kesana. Kita semua berasal dari Afrika. Ini adalah fakta yang tak lagi terbantahkan setelah cabang ilmu pengetahuan modern bernama genetika berdiri kira-kira 1 abad yang lalu dan penelitian intensif terhadap asal-usul manusia modern (Homo sapiens) dilakukan melalui pengambilan dan penelitian sampel darah ribuan manusia dari ribuan suku yang tersebar di seluruh penjuru Bumi.
Penelitian menunjukkan bahwa manusia modern muncul di Afrika 200.000 tahun yang lalu. Lalu sebagian kecil meninggalkan Afrika 60.000 tahun yang lalu dan menuju Asia. Pada 40.000 tahun yang lalu, manusia sudah menyeberang ke Australia. Pada saat yang sama sebagian manusia yang ada di Asia masuk ke Eropa melalui Eropa Timur. Dan pada 20.000 tahun yang lalu manusia sudah berada di Siberia dan menyeberang ke benua Amerika. Bukti dari imigrasi tertua dalam sejarah manusia ini masih bisa ditemui sekarang. Bila Anda menemui orang Dravida (India Selatan), Aeta (Filipina), Papua (Indonesia Timur) dan Aborigin (Australia), mereka semua memiliki ciri fisik yang serupa dengan orang Afrika modern: berkulit gelap, bertubuh relatif pendek, dan berambut keriting. Mereka adalah keturunan sekelompok kecil manusia pertama yang meninggalkan Afrika menuju Asia. Bagaimana dengan orang Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi yang ada di Indonesia? Kita semua sebenarnya adalah bangsa pendatang. Dalam ilmu Etnolinguistik, kita disebut sebagai orang Austronesia yang berasal dari Taiwan dan masuk ke Nusantara via Filipina 4.000 tahun yang lalu. Saudara-saudara kita yang akhirnya terdorong ke Timur, orang Papua, karena berkembangnya populasi kita, sudah ada di Nusantara sejak 40.000 tahun yang lalu. Tapi apakah orang Papua adalah orang pertama yang ada di bumi Nusantara? Tidak juga. Waktu mereka masuk ke Nusantara, catatan fossil menunjukkan bahwa sudah ada spesies manusia lain disini sejak 1,6 juta tahun yang lalu: Homo erectus (nama lamanya: Pithecanthropus erectus). Tapi bukankah Homo erectus adalah manusia setengah monyet? Selamat, berarti Anda sudah terjebak indoktrinasi kaum Evolusionis yang selama ini berusaha menggambarkan bahwa semakin tua suatu spesies manusia, perilaku dan penampilan fisik mereka semakin menyerupai primata. Pada kenyataannya, penelitian arkeologi selama ini sudah membuktikan bahwa Homo erectus memiliki penampilan yang tidak berbeda jauh dengan manusia modern dan menunjukkan perilaku-perilaku yang menandakan adanya intelegensia. Lebih lanjut, genetika sudah berhasil membuktikan bahwa Homo erectus dan Homo sapiens (satu-satunya spesies manusia yang hidup di Bumi sekarang) berasal dari nenek moyang yang sama 2 juta tahun yang lalu di Afrika. Mungkinkah manusia tersebut adalah Adam dan Hawa yang dikenal dalam kitab-kitab agama Abrahamik? Wallahu a'lam bish shawab. Lucu ya ketika kita melihat diri kita sebagai orang pribumi dan membedakan orang Tionghoa sebagai pendatang di bumi Nusantara.
Kalau Anda orang Sumatera, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi, 4.000 tahun yang lalu Anda akan dianggap pendatang dari utara oleh orang Papua yang sudah ada di Nusantara sejak 40.000 tahun yang lalu. Dan kalau Anda orang Papua dan menganggap diri Anda sebagai pribumi, maka 40.000 tahun yang lalu Anda akan dianggap sebagai pendatang dari barat oleh kelompok manusia kuno bernama Homo erectus yang sudah ada di Nusantara sejak 1,6 juta tahun yang lalu. Sayangnya sudah tidak ada lagi suku modern di Indonesia yang merupakan keturunan Homo erectus. Mereka punah tanpa meninggalkan jejak. Jadi, istilah pribumi non-pribumi itu sangat relatif. Semuanya cuma masalah waktu dan tidak ada nilainya dalam sains. Masalahnya cuma satu: Apa yang sudah Anda perbuat buat bagian Bumi dimana Anda berpijak dan kini memutuskan tinggal? Sebuah link menarik:
http://kendaripos.fajar.co.id/2016/08/15/tersisa-tiga-rumpun-ras-bermata-biru-di-buton-selatan/ Dalam ranah studi agama, ada 2 teori saling bertolak belakang yang berusaha menjelaskan kemunculan agama monoteis. Teori pertama menyatakan bahwa agama monoteis pada awalnya berwujud sebagai kepercayaan animisme (ruh leluhur) dan dinamisme (kekuatan alam) yang kemudian berkembang menjadi politeisme dan berakhir sebagai agama monoteis. Yang diambil sebagai contoh biasanya adalah kasus agama Yahudi, dimana sebelum orang Yahudi hanya menyembah Yahweh seperti saat ini, Yahweh dulunya hanyalah salah satu dari beberapa dewa-dewi orang Yahudi sebelum migrasi orang Yahudi ke tanah Kanaan. Keesaan Yahweh baru dikukuhkan di tanah Kanaan melalui nabi-nabi Yahudi, seperti Yesaya, Hosea dan Ezekiel. Cerita lengkap soal ini dapat dibaca di buku "The History of God"-nya Karen Armstrong. Teori kedua, terutama yang dianut agama-agama Abrahamik, utamanya Islam, menyatakan bahwa pada awalnya kepercayaan pertama umat manusia justru bersifat monoteis, karena kepercayaan ini bersumber langsung dari Ilahi yang, dalam versi agama Abrahamik, adalah monoteis. Yang justru kemudian terjadi adalah ketika manusia berpencar ke segala penjuru Bumi, di beberapa tempat kepercayaan awal ini justru "luntur" menjadi kepercayaan-kepercayaan politeis karena "melemahnya" hubungan dengan sumber awal dan masuknya pemahaman-pemahaman manusia. Oleh karena itulah maka Tuhan mengirimkan nabi-nabiNya untuk mengingatkan lagi tentang isi pesan asli sumber awal ini dan meneguhkan lagi hubungan dengannya. Demikianlah versi Islam. Setiap orang tentunya boleh memilih teori yang diyakininya berdasarkan data-data yang ia miliki dan observasi yang sudah dilakukannya. Tapi pada kesempatan ini saya ingin membahas tentang teori kedua. Sejak masa awal SMP sampai dengan masa pertengahan kuliah, saya sendiri dapat dikatakan sebagai orang yang suka menelaah agama-agama import, seperti Kristen (dan segala denominasinya), Yahudi, Baha'i, Zoroastrianisme, agama Mesir Purba ataupun Yunani Kuno. Saya sama sekali tidak menaruh minat pada agama-agama tradisional, baik yang ada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Segalanya berubah ketika pada masa akhir kuliah saya mendapatkan buku "Dialog dengan Atheis" yang ditulis oleh Mustafa Mahmud dan buku-buku seri "Mengenal Islam" yang diterbitkan Pustaka Mizan. Di buku "Dialog dengan Atheis", Mahmud menuliskan tentang perdebatan nyata antara temannya, seorang sarjana Muslim di Perancis, dengan seorang professor Perancis yang atheis. Segala argumentasi dikeluarkan masing-masing pihak, mulai dari yang bersifat ontologis, etis, ataupun saintifik, untuk membuktikan kebenaran keyakinannya masing-masing. Sementara itu di buku-buku "Mengenal Islam", yang keseluruhan serinya terdiri dari 7 buku (seingat saya), dibahas konteks kemunculan akidah dan fikih Islam. Nah, ada hal menarik yang sebelumnya belum pernah saya ketahui sama sekali ketika kedua judul buku di atas membahas persoalan Tauhid. Sebagaimana diketahui umat Islam pada umumnya, ketauhidan Tuhan adalah hal esensial dalam Islam. Demi mengingatkan tentang ketauhidan ini, dalam versi Islam, Tuhan tidak henti-hentinya mengirimkan utusan ke segala bangsa untuk mengingatkan mereka soal ketauhidan ini dan menyadarkan tentang penyimpangan-penyimpangan yang telah berkembang terkait pemahaman soal Tuhan ataupun praktek penyembahan kepada-Nya. Ada bangsa yang menerima utusan tersebut; ada yang menentangnya; dan ada yang menerima namun kemudian keturunannya kembali menyimpang. Biasanya, kalau memberi contoh soal utusan-utusan Tuhan tersebut, kebanyakan buku Islam akan menyebutkan nabi-nabi yang diutus kepada umat agama-agama Samawi selain Islam. Tapi tidak halnya dengan kedua judul seri buku yang saya sebut di atas. Kedua buku tersebut menegaskan bahwa karena Tuhan sendiri menyebutkan bahwa utusan-utusanNya dikirim kepada segala bangsa, jejak-jejak ajaran ketauhidan yang diwartakan para utusan Tuhan tersebut seharusnya bisa ditemukan pada banyak agama lokal di berbagai tempat di dunia; tidak hanya pada agama-agama Samawi. Seri buku "Mengenal Islam" memberi contoh tentang agama yang dipeluk oleh orang-orang Arya pertama yang masuk anak benua Asia dan kental ciri monotheismenya berdasarkan hasil penelitian Max Müller, seorang begawan antropologi Asia Selatan dari Jerman. Seri buku ini juga membahas tentang sosok Latta dan Uzza, dua dari beberapa tuhan orang Arab Jahiliyyah (Pra-Islam). Mereka sebenarnya adalah dua sosok manusia soleh yang dulunya pernah hidup di tengah-tengah masyarakat Arab Kuno. Sepeninggal keduanya, masyarakat Arab Kuno membuat patung untuk mengenang jasa mereka semasa hidup. Proses totemisasi (pembuatan patung untuk mengenang perbuatan baik) ini seiring waktu kemudian berubah menjadi deifikasi (peningkatan status menjadi Tuhan). Sementara itu, buku "Dialog dengan Atheis" memberi contoh tentang keyakinan masyarakat-masyarakat di pedalaman Afrika, semisal Himba, Igbo, ataupun Oromo, yang hingga kini bersifat monoteis. Buku ini dengan lantang menentang argumentasi bahwa setiap masyarakat primitif pasti bercorak animisme-dinamisme ataupun politeisme, seperti yang dikatakan teori arus utama (mainstream). Mengetahui hal-hal di atas membuat saya tertegun dan bertanya, bagaimana dengan keyakinan-keyakinan lokal Indonesia sendiri yang sebagian diantaranya sudah hadir lama sebelum datangnya agama Hindu dan Buddha? Seperti apa konsep ketuhanannya? Apakah betul semuanya bercorak animisme-dinamisme? Nah, karena saya memiliki darah Sunda dan literatur terkait keyakinan orang Sunda pra-Islam cukup mudah ditemui kalau dicari, maka saya pun tertarik mempelajari keyakinan Sunda Kuno. Dari sudut pandang Islam, dalam agama Sunda Kuno terdapat beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai ciri-ciri keyakinan monoteis. Di agama Sunda Kuno, hanya terdapat satu Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan ini dipanggil dengan banyak nama yang, keseluruhannya, sebenarnya merupakan sifat-sifatNya, seperti "Sang Hyang Tunggal" ("Yang Maha Esa"), "Sang Hyang Jatiniskala" ("Yang Maha Gaib"), "Sang Hyang Taya/Teu Aya" ("Yang Tidak Memiliki Kehadiran di Dunia Fisik"), ataupun "Sang Hyang Kersa" ("Yang Maha Memiliki Keinginan"). Sifat-sifat di atas dengan cepat mengingatkan saya pada sifat-sifat Tuhan yang jumlahnya ada 99 dalam agama Islam dan disebut "Asma'ul Husna". Mengenai Tuhan Yang Maha Esa ini dikatakan jelas di naskah Sunda Kuno bernama Siksa Kanda ng Karesian: "..Hanteu nu ngayuga aing Hanteu nu manggawe aing Aing ngangaranan maneh Sang Hyang Raga Dewata" "Tidak ada yang menjadikan Aku Tidak ada yang menciptakan Aku Aku menamai diriKu sendiri Sang Hyang Raga Dewata" Di bawah Tuhan ini, terdapat 7 figur yang juga gaib dan tidak pernah ditemui penggambarannya dalam kebudayaan Sunda. Ketujuh figur tersebut disebut "Tujuh Guriang" dan terdiri dari: 1. Sang Hyang Ijunajati 2. Sang Hyang Tunggal Premana 3. Sang Hyang Aci Larang 4. Sang Hyang Aci Kumara 5. Sang Hyang Aci Wisesa 6. Sang Hyang Manon 7. Bhatara Lengga Buana Karena penyebutan tujuh figur ini hanya ditemui pada naskah-naskah Sunda Kuno dan sudah sedikit sekali orang Sunda Modern yang mempraktekkan agama asli Sunda, tidak diketahui secara pasti peranan yang dipegang tiap figur di atas dalam agama Sunda masa itu. Bisa jadi tiap figur tersebut adalah manifestasi Tuhan, sebagaimana yang dikemukakan Prof. Agus Aris Munandar. Tapi mungkin juga bahwa ketujuh tokoh tersebut adalah pesuruh-pesuruh langsung Tuhan yang dikenal sebagai "malaikat" dalam konsepsi Islam. Ketika agama Hindu masuk ke tanah Jawa, masyarakat Sunda hanya menyerap sedikit sekali agama Hindu ke dalam kepercayaan masyarakatnya, tidak seperti masyarakat Jawa yang kepercayaan aslinya akhirnya tergantikan. Dari seluruh aspek agama Hindu, yang diserap ke dalam kepercayaan Sunda Kuno hanyalah para dewanya ("Bhatara Syiwa", dll), yang kedudukan keseluruhannya ditempatkan di bawah Tujuh Guriang asli Sunda Kuno. Siksa Kanda ng Karesian menyatakan hal tsb sebagai berikut: "..mangkubumi bhakti di ratu, ratu bhakti di dewata, dewata bhakti di hyang.." ("mangkubumi tunduk ke raja, raja tunduk ke dewata, dan dewata tunduk ke Tuhan"). Ritual ibadah ala Hindu sendiri tidak diserap ke dalam keyakinan masyarakat Sunda dan penyembahan terhadap figur dewa-dewi Hindu tidak dilakukan meluas, jika dibandingkan dengan penyembahan langsung kepada Hyang (Tuhan). Inilah sebabnya hanya ada segelintir candi di tanah Sunda. Dikarenakan kegaibannya, Tuhan maupun ketujuh guriangNya tidak dapat ditemui penggambarannya dalam agama Sunda Kuno. Mereka biasanya hanya direpresentasikan dalam bentuk menhir (batu tinggi menyerupai monumen) yang ditancapkan di teras tertinggi tempat ibadah Sunda Kuno. Menhir itu sendiri dibiarkan berbentuk batu tanpa adanya pahatan lebih lanjut sehingga menyerupai manusia (antropomorfik). Untuk sarana ibadahnya, orang Sunda Kuno memiliki tempat ibadah berbentuk teras-teras berundak yang semakin tinggi ke belakang. Bentuk ini mewarisi tempat ibadah punden berundak yang dikenal luas pada masyarakat pra-sejarah Nusantara. Di teras tertinggilah biasanya menhir diletakkan. Bila melihat pada kasus masyarakat Baduy di pedalaman Lebak, hanya pemuka agama saja yang diperkenankan memimpin doa ataupun upacara di teras tertinggi ini dengan duduk bersila menghadap menhir. Masyarakat umum duduk bersila di belakang pemuka agama di teras yang lebih rendah. Beberapa tempat ibadah Sunda Kuno bisa berukuran kecil namun beberapa juga berukuran raksasa, seperti yang dapat ditemui di Gunung Padang, Cianjur, dimana keseluruhan bukit dibentuk menjadi teras-teras di semua sisinya sampai ke atas dengan diberi dinding penahan tanah dari batu alam dan dijadikan sarana ibadah. Prof. Agus Aris Munandar mengatakan bahwa salah satu kemungkinan besar penyebab sukses diterimanya agama Islam di masyarakat Sunda, dibandingkan keyakinan sebelumnya yang mampir di tanah Jawa, adalah karena sifat monoteis Islam yang secara kebetulan sama dengan yang ada di keyakinan Sunda Kuno dan kemudahan masyarakat Sunda Kuno untuk mengidentifikasikan ajaran monoteisme Islam dengan yang sudah ada di agamanya. Kehadiran Islam di tanah Sunda sendiri tidak disangsikan membawa pengaruh pada agama Sunda yang saat ini masih dipraktekkan di beberapa kantong masyarakat Sunda tradisional (sering disebut budayawan sebagai agama Sunda Wiwitan), seperti Baduy. Dari kunjungan saya ke kampung-kampung Baduy dan perbincangan dengan mereka ketika mereka mengunjungi rumah saya di Jakarta beberapa kali, saya mengetahui bahwa di masyarakat Baduy, figur Tuhan tertinggi sendiri saat ini "sudah" bernama "Allah". Nabi Muhammad diakui sebagai utusan Tuhan kepada semua masyarakat, termasuk Baduy. Meski demikian, teman-teman Baduy saya mengatakan bahwa syariat yang dibawa kepada mereka berbeda dengan yang dibawa ke masyarakat lainnya. Ibadah mereka tidak seperti salatnya umat Islam dan puasa mereka tidak di bulan Ramadan. Sebenarnya, ritual-ritual ibadah yang mereka katakan berbeda itu tak lain adalah ritual-ritual ibadah asli agama Sunda, yang masih mereka lakukan karena Islam tidak terserap seluruhnya di Baduy. Banyak diantara mereka sendiri yang menyebut agama mereka Islam Wiwitan. Mengenai agama Sunda Kuno sendiri, masih banyak hal yang belum bisa diungkap terkait sistem kepercayaannya secara lengkap karena selain minimnya jumlah naskah Sunda Kuno, jumlah peneliti naskah, juga karena gaya bahasa naskah-naskah tersebut yang banyak mengandung ungkapan dan tidak lugas. Hal-hal itu yang selama ini disebut sebagai kendala oleh para ahli budaya Sunda. Saya berharap, bila ada lebih banyak anak muda Sunda yang tertarik mempelajari kebudayaannya dan menjadi peneliti serta lebih banyak dilakukannya perbandingan terhadap sistem kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini, semoga segala misteri yang masih melingkupi kepercayaan Sunda Kuno bisa terungkap. Di antara budaya asing, yang paling saya sukai adalah Jepang. Entah kenapa. Oleh karena itu, setiap kali ada terbitan buku baru tentang Jepang, biasanya saya beli, terutama kalau berkaitan topik-topik yang saya minati.
Di toko buku Periplus, Gramedia, dan Paperclip, dalam beberapa bulan ini beredar buku tentang Jepang yang rasanya harus dimiliki para penggemar budaya Jepang. 1. "Unbelievable Japan" oleh Weedy Koshino, bercerita tentang kehidupan Jepang dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga 2 anak yang bersuamikan orang Jepang. Hal baru yang saya pelajari di buku ini dan tidak banyak saya dapati di buku-buku yang saya baca sebelumnya adalah soal bullying dan kehidupan anti sosial sebagian remaja Jepang. Harga: +/- Rp.60.000 2. "Wow Japan" oleh Prastuti. Bercerita tentang kehidupan masyarakat Jepang pula, namun dari kacamata seorang peneliti dan pengajar bahasa Indonesia di Jepang. Buku ini banyak membahas soal spiritualisme orang Jepang, sebuah topik yang biasanya jarang disentuh di banyak buku karena orang Jepang dianggap sekuler. Harga: Rp.60.000 3. "New Japan Achitecture" oleh Geeta Mehta. Buku ini membahas arsitektur terkini di berbagai tempat di Jepang yang dibagi dalam beberapa kategori, diantaranya Hunian, Pendidikan, Perkantoran dan Komersial. Di buku ini, kita bisa mempelajari kelihaian para arsitek Jepang dalam menyiasati ruang-ruang sempit dan memasukkan unsur keheningan Zen yang menjadi salah satu ciri khas Jepang ke dalam berbagai bangunan. Harga: Rp.450.000 Bahagia adalah ketika pulang ke rumah setelah tidak pulang dua minggu dan melihat semua pesanan buku filsafat, sejarah, arkeologi, linguistik dan antropologi dari berbagai penerbit sudah sampai rumah.
Cham adalah suku minoritas di Vietnam dan Kamboja yang beragama Islam. Mereka adalah sisa dari kerajaan Islam Champa yang pernah berkuasa di Vietnam dan menurunkan putri-putri yang menikah dengan raja-raja di Nusantara dan menurunkan beberapa Wali Songo. Setelah menyisir setiap jengkal di bazaar buku import "Big Bad Wolf Books" (BBWB) di ICE BSD selama 3,5 jam, akhirnya sampai juga saya di rumah.
Buat teman-teman pecinta buku, pastikan jangan sampai kehilangan event langka ini! Di BBWB ada ratusan ribu (atau mungkin jutaan?) judul buku import BARU (bukan bekas) dari kategori fiksi, non-fiksi, komik, dan anak-anak yang dijual dengan diskon s/d 80%! Untuk memberi ilustrasi, 17 buah majalah dan buku tebal yang penuh foto dan warna ini saya beli 'hanya' dengan harga Rp. 1,265 juta! Walau angka ini pada awalnya mungkin terlihat besar, tapi kalau sudah dibagi 17, itu artinya tiap barang berharga rata-rata hanya Rp.75 ribu! Jangan tertipu dengan judul-judul buku yang sampai sekarang masih terus diunggah ke website event ini: www.bigbadwolfbooks.com. Jumlah judul yang akan Anda temui di event ternyata beratus-ratus kali lebih banyak! Ada buku roman, biografi, memasak, hasta karya, berkebun, golf, otomotif, militer, seni, arsitektur dan banyak topik lainnya. Hanya segelintir topik yang bukunya tidak saya temui di pameran ini: Filsafat, Agama, Astrofisika (bukan astronomi) dan Fisika Kuantum. Apakah Anda mengira bahwa Hobbit hanya ada di Middle Earthnya J.R.R. Tolkien? Keliru besar, karena sebenarnya Hobbit pernah hidup antara 95.000 - 12.000 tahun yg lalu di satu-satunya tempat di muka Bumi: Flores, Indonesia.
Terkadang saya suka mendapat pertanyaan seperti ini: "Suku bangsa manakah yang paling tua di muka Bumi saat ini?". "Apakah bangsa Arab?". Oh bukan. "Apakah orang Yahudi?". Oh bukan juga. "Ataukah orang2 Nusantara?". Apalagi itu hehe.
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|