#Blusukan2Minggu Hari ke-2 blusukan untuk mempelajari arsitektur kota-kota kuno dan bangunan-bangunan kuno di Thailand dan Kamboja. Posisi masih di Chiang Mai, Thailand Utara, kota kuno berdinding dan berparit keliling bekas ibukota kerajaan Lanna. Foto-foto yang lebih representatif akan menyusul
0 Comments
Ada perasaan sedih yang melanda ketika melihat dua tempat ini di dalam hutan keramat Astanagede milik kerajaan Galuh di Kawali kemarin.
Teman-teman mungkin masih ingat soal Perang Bubat yang pernah diceritakan guru sejarah di sekolah dulu? Di perang Bubat, rombongan raja Galuh, Linggabuana, dan putrinya, Dyah Citrarasmi, yang sedianya akan dinikahi oleh Hayam Wuruk, raja Majapahit, diserang oleh Patih Gajah Mada. Gajah Mada meminta raja Galuh dan putrinya menyatakan tunduk pada kekuasaan Majapahit sebelum rombongan mereka sampai di keraton. Karena mereka menolak, akhirnya terjadi peperangan di dekat lapangan Bubat, Trowulan. Raja Galuh dan putrinya yang sedianya menikah dengan Hayam Wuruk malah tewas terbunuh. Gajah Mada, tak lama setelah itupun non-aktif sebagai patih. Peristiwa ini terjadi pada 1357 M dan terekam dalam naskah kuno Sunda "Carita Parahyangan", naskah kuno Jawa "Pararaton", dan naskah kuno Bali "Kidung Sundayana". Ketika saya berkunjung ke hutan keramat Astanagede milik kerajaan Galuh di Kawali tempo hari, tanpa saya duga sebelumnya saya menemui dua buah menhir yang, menurut keterangan di situs, di bawahnya ditanam abu putri Dyah Citrarasmi dan raja Linggabuana. Di dalam hutan keramat tersebut juga banyak menhir-menhir dan makam-makam tokoh lainnya. Sayang hari sudah sore dan hujan turun dengan deras. Kalau tidak, saya ingin meluangkan waktu lebih lama lagi di situs ini untuk mengeksplorasi dan menghayati sejarah di balik tempat ini. Masih terkait postingan saya sebelumnya. Hayam Wuruk, raja Majapahit, sendiri memperingati wafatnya Dyah Citrarasmi, putri dari tanah Pasundan yang sedianya dinikahinya namun terbunuh dalam perang Bubat, dengan mendirikan telaga buatan berukuran 0,8 km x 0,5 km ini di ibukota kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, saat ini.
Diduga, nama Trowulan sendiri berasal dari Telaga ini. "Trowulan" berasal dari kata "Citra Wulan" yang secara makna selaras dengan "Citra Rasmi". Konon, para bangsawan Majapahit selalu datang ke telaga ini pada saat bulan purnama untuk menghayati keindahan pantulan rembulan di permukaan telaga ini. Hal-hal di atas dan detail lebih lanjut dapat dibaca di buku "Tidak Ada Kanal di Trowulan" karya Prof. Agus Aris Munandar. Sumber foto: travpacker_indo Beberapa waktu yang lalu, tak lama setelah saya membuat postingan tentang arkeologi Hindu Buddha di Nusantara, ada seorang kawan bertanya, "Kenapa era Hindu Buddha di Nusantara hanya meninggalkan candi? Kemana sisa keraton dan permukimannya?". Mengingat ini adalah hal yang sering ditanyakan orang awam, saya ingin berbagi jawabannya disini.
Pertama, perlu dikoreksi kesalahpahaman yang terlanjur meluas di publik bahwa era Hindu Buddha hanya meninggalkan candi yang umumnya dipahami sebagai bangunan untuk peribadatan. Pada kenyataannya, era Hindu Buddha di Nusantara juga meninggalkan bangunan-bangunan lain, seperti petirtaan (pemandian raja/bangsawan, contoh: Jalatunda, Belahan, Tikus), sisa dinding keliling komplek pemukiman (contoh: Ratu Boko, Lumajang, Liyangan), gapura (contoh: Wringin Lawang, Bajang Ratu), dan bangunan asrama bhiksu (contoh: Plaosan, Sari). Karena ketidakpahaman orang awam, semua bangunan di atas disebut sebagai candi. Contoh: gapura Wringin Lawang dan Bajang Ratu disebut candi Wringin Lawang dan Bajang Ratu. Petirtaan Tikus disebut candi Tikus. Kedua, pada era Hindu Buddha di Nusantara, hanya bangunan-bangunan di atas sajalah, yang sebagian besar terkait proses peribadatan, yang menggunakan material batu atau bata seperti material asli bangunan-bangunan tersebut di negeri asalnya, India. Bentuk bangunannya pun masih didasarkan pada bentuk di negeri asalnya, meskipun kemudian nenek moyang kita segera mengembangkan gaya-gaya bangunannya sendiri. Bangunan-bangunan lain yang sifatnya profan, seperti rumah, bangunan keraton, ataupun pasar, menggunakan material-material organik dan bentuk arsitektur lokal yang sama seperti sebelum agama Hindu Buddha masuk ke Nusantara. Bentuk-bentuk beberapa bangunan profan pada zaman itu masih bisa kita lihat penggambarannya di relief berbagai candi. Melalui relief-relief candi kita juga mengetahui konsep penataan pemukiman pada saat itu, dimana rumah-rumah rakyat jelata berdiri sendiri-sendiri, sementara hunian bangsawan berupa gugusan beberapa bangunan yang ada di dalam sebuah tembok keliling dan disebut "pakuwuan". Pakuwuan ini tertata menurut sistem grid. Karena bangunan-bangunan profan terbuat dari material organik yang hancur dimakan waktu, maka sisa-sisa bangunan tersebut tidak bisa kita jumpai lagi saat ini. Yang masih bisa kita temui hanyalah umpak atau batur (platform) untuk meninggikan bangunan, potongan-potongan genting atap bangunan, tembok keliling, gapura masuk, ataupun sisa-sisa lapisan perkerasan di area komplek bangunan tersebut. Dari semua bangunan profan itu, kita masih bisa membayangkan wujud keraton Majapahit, kerajaan Hindu Buddha terakhir di tanah Jawa, berkat catatan perjalanan Ma Huan, seorang musafir Cina Muslim yang berkunjung ke ibukota Majapahit pada saat itu. Catatannya mengungkapkan: "Ibukota Majapahit terletak di pedalaman Jawa. Istana raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang, pada salah satu sisinya terdapat “pintu gerbang yang berat” (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap). Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan ke mana pun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu." Sayangnya, menurut saya selama ini perhatian pemerintah terlalu terfokus pada upaya pencarian dan pemugaran bangunan-bangunan dari era Hindu Buddha yang berupa candi. Barangkali karena hasil pemugaran candi bisa langsung dilihat dan dinikmati masyarakat. Padahal bangunan-bangunan non-candi, terutama sisa-sisa pemukiman, juga layak dieksplorasi dan dipelajari karena justru akan mengungkap banyak hal tentang kehidupan sosial di masa itu. Dari semua kerjaan Hindu Buddha besar yang pernah ada di Nusantara dan menjadi kekuatan regional, baru Majapahit sajalah yang sebagian besar ahli cukup yakin untuk menunjuk lokasi sisa keratonnya (Trowulan, Jawa Timur). Sisa-sisa keraton kerajaan lain masih tersimpan di dalam Bumi dan menunggu untuk kita temukan. Sumber foto: Internet Sisa-sisa dinding keliling keraton kerajaan Hindu Lumajang, sekutu Majapahit. Keratonnya berukuran besar. Diapit sungai alami di satu sisi dan sungai buatan di tiga sisi lainnya. Sekarang jadi perkebunan penduduk. Indraprasta, benteng kerajaan Hindu Lamuri abad ke-7 di Aceh. Sumber foto: Internet Apa kerajaan Hindu pertama di Nusantara? Kalau merujuk pada buku teks sekolah, maka jawabannya adalah kerajaan Kutai di pesisir timur Kalimantan yang peninggalannya kini hanyalah berupa belasan dolmen. Tapi kalau kita merujuk sebuah naskah kuno, yaitu Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara, maka jawabannya sama sekali berbeda. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara sendiri berisikan sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara dan dituliskan pada 1698 M oleh sebuah panitia di bawah Pangeran Wangsakerta yang mendapat perintah untuk menghimpun sejarah awal Nusantara dari ayahnya, Panembahan Girilaya, penguasa Kesultanan Cirebon. Panitia ini kemudian bekerja dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, termasuk babad-babad rakyat. Menurut naskah ini, kerajaan tertua di Nusantara adalah Salakanagara yang terletak di pulau Jawa bagian barat. Kerajaan ini didirikan pada tahun yang bila dikonversi ke Masehi adalah 130 M (Kutai sendiri didirikan pada 400-an M) oleh Dewawarman, seorang pangeran pelarian dari India yang menikahi Pwahaci (Pohaci) Larasati, anak dari Aki Tirem, seorang penguasa setempat. Raja ini memerintah dari pusat pemerintahannya di Rajatapura dan dilanjutkan anak-anaknya hingga Dewawarman VIII. Dewawarman VIII sendiri tidak memiliki anak laki-laki. Putrinya menikah dengan Jayasingawarman, seorang pangeran India pelarian juga yang mendirikan kerajaan Tarumanagara di tanah Sunda, Pasca Jayasingawarman, Salakanagara menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara. Beberapa arkeolog menolak keberadaan Salakanagara ini, karena informasi yang memuat tentang keberadaan kerajaan ini hanyalah sebuah naskah, bukan prasasti. Sebagai pembanding, kerajaan Kutai memang memiliki prasasti yang mengukuhkan pendiriannya, sementara hingga saat ini belum pernah ditemukan prasasti yang memuat nama Salakanagara (dan mungkin tidak akan pernah ditemukan bila kerajaan ini memang didirikan awal sekali). Meski demikian, banyak pula para arkeolog senior yang meyakini keberadaan Salakanagara, seperti Edi Sedyawati atau Saleh Danasasmita, Bagi para arkeolog yang meyakini Salakanagara, keberadaan kerajaan ini tidak hanya bisa dibuktikan oleh sumber-sumber lokal, namun juga internasional. Ptolomeus, seorang sejarahwan Yunani, mencatat bahwa di pulau Iabadiou (diduga lafal Yunani untuk "Jawadwipa" alias pulau Jawa) ada negeri kaya bernama Argyre. Dalam bahasa Yunani, Argyre berarti "perak" dan selaras dengan Salakanagara dalam bahasa Sansekerta yang juga berarti "negeri perak". Selain itu, catatan-catatan kekaisaran Tiongkok mencatat bahwa pada 132 M datang seorang utusan dari raja Tiao Pien yang bertempat di Ye Tiao. Menurut G. Ferrand, arkeolog asal Perancis, Tiao Pien adalah terjemahan langsung dari nama Dewawarman (Tiao=dewa, Pien=warman) dan Ye Tiao, sebagaimana didukung banyak arkeolog, adalah Jawa. Bila kerajaan ini memang ada, maka dimanakah pusatnya? Terdapat berbagai pendapat di kalangan arkeolog terkait lokasi pusat kerajaan ini. Tapi apapun pendapatnya, semuanya setuju bahwa pusat kerajaan ini berada di kabupaten Pandeglang. Secara toponim (asal-usul nama tempat), Pandeglang sendiri sangat cocok bila diduga menjadi pusat Salakanagara. "Pandeglang" berarti "pandai gelang" dan dulunya merupakan tempat para pandai besi. Bila Salakanagara merupakan tempat yang kaya akan perak, maka pasti di dalamnya terdapat banyak para pandai besi. Secara sejarah, Pandeglang juga adalah tempat istimewa karena disini ditemukan banyak sekali peninggalan dari masa prasejarah dan masa Hindu. Sulit sekali menemukan tempat di Jawa Barat dimana peninggalan dari masa prasejarah dan Hindu sama melimpahnya. Bila Salakanagara merupakan kerajaan Hindu pertama yang didirkan di tengah-tengah masyarakat yang sebelumnya memeluk agama lokal, maka Pandeglang juga merupakan tempat yang pas. Di mana sajakah di Pandeglang yang menjadi dugaan pusat kerajaan Salakanagara? Yang saya ketahui hingga saat ini: Teluk Lada, puncak gunung Pulosari, situs Mandalawangi, dan Merak (dugaan Prof. Edi Sedyawati karena "Merak" dalam bahasa Sunda berarti "mengolah perak"). Saya sendiri masih mempelajari lebih lanjut bukti-bukti pendukung yang ada untuk dapat mengetahui yang manakah yang dapat menjadi kandidat kuat pusat kerajaan ini. Sumber foto: hendrajailani.blogspot.co.id Kalau merujuk bukti-bukti yang ada, memang kemungkinan besar keraton kerajaan Pajajaran dulu bertempat di sekitar situs Batu Tulis, Bogor, saat ini, seperti diamini oleh banyak arkeolog, bukan di lokasi pura Jagatkarta seperti yang diserukan sebagian orang awam. Pertama, lokasi situs Batu Tulis cocok dengan penjelasan tentang lokasi Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati, keraton Pajajaran yang disebutkan pujangga Sedamanah di kropak kuno Carita Parahyangan. Kedua, situs Batu Tulis memiliki tinggalan-tinggalan arkeologis melimpah, mulai dari prasasti-prasasti yang beberapa di antaranya menerangkan pencapaian-pencapaian raja Pajajaran seperti Sri Baduga Maharaja, tinggalan batu-batu khas Sunda Kuno, sampai dengan sisa struktur memanjang di Kota Maneuh, dekat Batu Tulis, yang diduga kuat sebagai sisa dinding komplek keraton Pajajaran. Unsur-unsur pendukung seperti di atas tidak dapat ditemukan sama sekali untuk Pura Jagatkarta yang nota bene baru dan belakangan ini juga dikatakan sebagai bekas lokasi keraton Pajajaran ataupun tempat moksanya Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja). Sumber foto: Internet Setiap dari mereka yang pernah berkunjung ke berbagai candi, setidaknya Borobudur dan Prambanan, pastilah tahu bahwa sekeliling tubuh candi di Jawa yang terbuat dari bahan andesit dihiasi oleh relief-relief yang sambung menyambung dan memiliki detail sangat tinggi. Relief-relief candi umumnya menceritakan kisah-kisah yang dikenal dalam agama Hindu dan Buddha. Ketika melihat deretan relief ini, dulu saya selalu bertanya, bagaimana cara membuat relief seperti ini? Apakah relief-relief tersebut dipahat dulu oleh sang pemahat lalu dipasang? Kalau merujuk pada praktek konstruksi modern, demikianlah cara yang biasa dilakukan ketika kita hendak menambahkan ornamen pada muka bangunan. Setelah melihat lebih banyak relief lagi melalui perjalanan-perjalanan saya berikutnya dan membaca literatur luar negeri, ternyata yang terjadi di zaman dahulu justru sebaliknya! Batu-batu panel relief tersebut dipasang dahulu di tempatnya lalu dipahat di tempat! Apa artinya ini? Artinya, tidak boleh ada kesalahan sedikitpun waktu memahat relief. Pekerjaan sang pemahat harus sempurna! Proses kerja para pemahat jaman dulu tersebut bisa kita ketahui ketika melihat relief-relief setengah jadi pada beberapa candi, seperti misalnya pada lapisan paling bawah Borobudur (disebut deretan relief Karmawibhangga) yang kemudian oleh sang arsiteknya ditutup oleh lapisan batu lain dan tidak jadi ditampilkan. Keberadaan relief ini diketahui ketika dulu Borobudur harus dibongkar dulu untuk direstorasi. Panel-panel relief Karmawibhangga yang setengah jadi menunjukkan bahwa batu-batu panel relief dipasang dulu di tempatnya, baru dipahat. Karena sesuatu hal, proses pemahatan relief-relief Karmawibhangga dihentikan di tengah jalan dan seluruh reliefnya ditutup lapisan batu lain. Di panel-panel relief Karmawihangga yang belum jadi, kita juga bisa melihat tulisan-tulisan tangan para pemahat dengan menggunakan kapur pada permukaan panel yang menjelaskan kisah apa yang harus dipahat di relief tersebut. Di beberapa tempat lainnya, kita juga bisa melihat guratan-guratan sketsa para pemahat pada permukaan relief dengan menggunakan kapur sebelum relief tersebut dipahat. Cara kerja seperti ini ternyata tidak hanya dilakukan di Nusantara, tapi juga di candi-candi lainnya yang tersebar di Asia Tenggara daratan. Sumber-sumber asing yang saya baca menunjukkan bukti-bukti bahwa relief-relief pada candi di Asia Tenggara daratan dibuat dengan cara yang sama. Gambar: relief Karmawibhangga dimana pohon yang menaungi para tokoh dan pohon pemisah adegan cerita belum dipahat. Mayoritas candi di Nusantara ditemukan dalam keadaan luluh lantak, nyaris rata dengan tanah. Bagaimana mereka bisa dibangun kembali, padahal tidak ada gambar arsitektur candi-candi tersebut yang pernah ditemukan? Jawabnya adalah dengan mencoba saling mencocokkan ribuan batu penyusun candi tersebut satu persatu, bila candi tersebut terbuat dari bahan batu andesit. Tiap batu candi memiliki tonjolan ataupun lekukan pada beberapa sisi samping dan belakangnya yang membentuk kuncian yang khas dengan batu-batu lain di sekelilingnya. Tidak ada dua batu penyusun yang memiliki bentuk kuncian yang sama! Jadi bisa dikatakan, candi adalah puzzle tiga dimensi berukuran raksasa yang dibangun nenek moyang kita. Candi-candi utama di Prambanan, sebagai contoh, memerlukan waktu hingga dua puluh tahun untuk direkonstruksi, karena setiap batu penyusunnya harus dicoba dicocokkan dengan batu-batu lain yang ditemukan berserakan di dekatnya. Lain halnya bila candi tersebut terbuat dari bahan batu bata. Karena batu bata penyusun candi tidak memiliki kuncian, mereka direkatkan dengan saling menggosok-gosokan sisi-sisinya terhadap satu sama lain, sehingga tercipta lapisan bubuk pada sisi-sisi tersebut yang lantas diperciki air. Jadi, merekonstruksi candi berbahan bata adalah jauh lebih sulit. Bahwasanya batu penyusun candi direkatkan dengan menggunakan putih telur adalah mitos, karena residu putih telur tidak pernah ditemukan selama ini. Hal menarik lainnya adalah proses rekonstruksi candi juga memakan biaya yang tinggi. Candi kecil seperti Cangkuang di Garut, menurut sebuah artikel, yang saya baca memakan biaya Rp.2 miliar untuk rekonstruksinya, seingat saya. Biaya sebesar itu habis untuk: 1. Membebaskan tanah masyarakat tempat candi tersebut ditemukan, 2. Menyewa para tukang dan tenaga ahli selama proses rekonstruksi tersebut, yang bukan hanya terdiri dari ahli arkeologi, namun juga arsitektur dan sipil. 3. Proses pembongkaran, pendataan dan perawatan setiap batu candi. 4. Proses pembongkaran tanah dan pembuatan pondasi modern di bawah candi yang ditemukan tersebut. 5. Proses pembuatan rangka struktur modern di balik bangunan candi tersebut, dan tentu saja 6. Proses pencocokkan setiap batu candi sehingga terbentuk tubuh bangunan yang utuh. Dengan memahami tenaga, waktu, dan biaya besar yang terlibat dalam proses rekonstruksi bangunan bersejarah, seperti candi, semoga kita bisa lebih peduli dan menjaga bangunan tersebut untuk generasi berikutnya. Sumber foto: pribadi Bahagia adalah ketika pulang ke rumah setelah tidak pulang dua minggu dan melihat semua pesanan buku filsafat, sejarah, arkeologi, linguistik dan antropologi dari berbagai penerbit sudah sampai rumah.
Menanggapi berita ini:
http://regional.liputan6.com/read/2513024/situs-terpendam-candi-kajangkoso-lebih-besar-dari-borobudur?utm_source=FB&utm_medium=Post&utm_campaign=FBRegional Menurut saya, kalau penemuan candi sebenarnya sudah tidak terlalu heran. Karena kalau kita blusukan ke pelosok, banyak sekali lokasi yang diketahui masyarakat sekitar mengandung candi tapi tidak bisa diekskavasi karena tidak ada dana/perhatian pemerintah. Yang masih sedikit ditemukan itu pemukiman dan kota-kota kuno dari era Hindu-Buddha. Yang baru ketemu: Trowulan (ibukota Majapahit), Lumajang Tigang Juru (keraton Majapahit Timur), Liyangan (pemukiman Mataram Kuno), dan Karanganyar (pemukiman pertama Sriwijaya). Ibukota Pajajaran, Kalingga, Mataram Kuno, Panjalu, Dhaha, Singosari, dll masih belum ditemukan. Belum puas dan harus kesini lagi. Itulah yang saya rasakan ketika selesai menjelajahi sebagian komplek percandian Muaro Jambi beberapa hari yang lalu.
Kenapa saya datang jauh-jauh dari Jakarta ke komplek candi ini? Pertama, karena saya menyukai arsitektur bangunan kuno dan kedua, karena tempat ini pernah memberi sumbangsih penting untuk dunia di era Hindu-Buddha. Komplek percandian Muaro Jambi adalah tempat pendidikan agama Buddha yang terletak di kedua sisi sungai Batanghari, Jambi. Diduga, komplek ini pertama kali didirikan oleh kerajaan Melayu Kuno pada abad ke-6, lalu dikembangkan oleh Sriwijaya. Ukuran komplek ini sangat luas, yaitu sekitar 3.900 hektar! Bagi penduduk Jakarta, ini adalah sama dengan luas BSD City, sebuah kota satelit di pinggir Jakarta! Hingga saat ini di area seluas itu telah ditemukan +/- 100 menapo (kata setempat untuk "gundukan tanah") diantara perkebunan milik penduduk yang telah berhasil diidentifikasi berisi bangunan candi. Dari seluruh menapo itu, baru beberapa belas yang sudah diekskavasi dan ada 7 yang sudah direkonstruksi total. Karena luasnya dan letak beberapa gugusan candi di komplek ini yang agak tersembunyi, sangat disarankan untuk menjelajahi komplek ini dengan menyewa seorang pemandu berikut motornya seperti yang saya lakukan. Pemandu ini bisa Anda cari di pintu masuk. Di era Hindu-Buddha, komplek candi ini memegang peranan penting. Beberapa bhiksu kuno Tiongkok, seperti I Tsing dari abad ke-7, menyebutkan bahwa bila seorang bhiksu hendak memperdalam pengetahuan agama Buddhanya, ia disarankan untuk menempuh pendidikan di Muaro Jambi dulu selama beberapa tahun sebelum menempuh pendidikan di universitas Nalanda, India. Di Muaro Jambi ini dulu terdapat beberapa guru besar terkenal seperti Dharmakirti, Sakyakirti, dan Ratnakirti. Atisha, sebelum menjadi guru besar Buddhisme di Tibet, pernah menyengaja datang ke Muaro Jambi demi belajar pada Dharmakirti. Di Tibet, Dharmakirti dari Nusantara dikenal sebagai Lama Sherlingpa. Penghormatan tokoh-tokoh Buddhisme di Tibet hingga saat ini pada Muaro Jambi dan guru-guru besar yang dulu pernah berdiam disini ditunjukkan dengan kunjungan-kunjungan Dalai Lama dan para pengikutnya kesini. Ada beberapa perbedaan yang akan teman-teman rasakan antara melihat foto-foto candi Muaro Jambi di Internet dengan melakukan kunjungan langsung ke lapangan. Pertama, ketika melihat langsung di lapangan, ternyata ukuran candi-candi utama di Muaro Jambi jauh lebih besar dari yang tampak di Internet. Kedua, foto-foto di Internet umumnya tidak memperlihatkan candi-candi kecil yang ada di sekitar candi-candi utama. Komplek Muaro Jambi sebenarnya dapat dikatakan terdiri dari beberapa gugusan candi, dimana di setiap gugusan terdapat beberapa candi besar dan kecil dengan tata letak tertentu. Ketiga, foto-foto di Internet tidak memperlihatkan lapisan-lapisan dinding keliling, gang diantara dinding, pelataran, dan sisa-sisa bilik hunian bagi para bhiksu yang umumnya bisa ditemukan di setiap gugusan candi. Hal-hal di atas inilah yang sebenarnya menjadikan komplek Muaro Jambi ini unik. Karena sebenarnya ketika kita berada di satu lokasi candi, kita seringkali tidak bisa langsung menuju candi utamanya, melainkan harus melalui gang berkelok-kelok diantara dua dinding yang mengelilingi candi dengan pola tertentu. Gugusan candi terbesar yang ditemukan di Muaro Jambi hingga saat ini, yaitu Kedaton, bahkan memiliki dinding keliling berlapis-lapis, dimana diantara dinding tersebut terdapat pelataran besar, candi-candi kecil, dan sisa hunian para bhiksu pada tiap lapisnya. Keempat, foto-foto di Internet tidak memperlihatkan jaringan kanal buatan yang menjadi bagian integral dari komplek Muaro Jambi ini. Percaya atau tidak, Anda bisa menuju tiap gugusan candi di komplek ini dari sungai Batanghari dengan menggunakan sampan melalui kanal-kanal yang ada! Hal-hal di ataslah yang membuat saya berdecak kagum selama menelusuri komplek percandian ini. Lebih dari itu, saya merasa terharu. Dengan pepohonan tinggi dan tua di seluruh komplek ini yang menaungi saya, bagaimana pun jalur-jalur yang saya tempuh ini adalah jalur-jalur yang ditempuh manusia lebih dari 1000 tahun lalu. Mereka datang kesini, berdiam dan belajar disini untuk menemukan pencerahan dan jalan kebahagiaan dalam hidup. Setelah menyisir setiap jengkal di bazaar buku import "Big Bad Wolf Books" (BBWB) di ICE BSD selama 3,5 jam, akhirnya sampai juga saya di rumah.
Buat teman-teman pecinta buku, pastikan jangan sampai kehilangan event langka ini! Di BBWB ada ratusan ribu (atau mungkin jutaan?) judul buku import BARU (bukan bekas) dari kategori fiksi, non-fiksi, komik, dan anak-anak yang dijual dengan diskon s/d 80%! Untuk memberi ilustrasi, 17 buah majalah dan buku tebal yang penuh foto dan warna ini saya beli 'hanya' dengan harga Rp. 1,265 juta! Walau angka ini pada awalnya mungkin terlihat besar, tapi kalau sudah dibagi 17, itu artinya tiap barang berharga rata-rata hanya Rp.75 ribu! Jangan tertipu dengan judul-judul buku yang sampai sekarang masih terus diunggah ke website event ini: www.bigbadwolfbooks.com. Jumlah judul yang akan Anda temui di event ternyata beratus-ratus kali lebih banyak! Ada buku roman, biografi, memasak, hasta karya, berkebun, golf, otomotif, militer, seni, arsitektur dan banyak topik lainnya. Hanya segelintir topik yang bukunya tidak saya temui di pameran ini: Filsafat, Agama, Astrofisika (bukan astronomi) dan Fisika Kuantum. Senang sekali semalam bisa menonton program dokumenter "Rediscovering Ancient Asia" di saluran NHK TV Jepang yang khusus membahas Bagan. Bagan adalah sebuah kota kuno di Myanmar, dimana disana terhampar 3.000 buah candi berukuran besar dan kecil. Kalau Anda penyuka arsitektur candi, jelas ini adalah salah satu tempat yang harus Anda kunjungi di luar Indonesia di samping Siem Reap (Kamboja), Ayutthaya, Sukkhothai (Thailand), Indrapura, Vijaya, dan Phan Rang–Tháp Chàm (Vietnam). Itulah ibukota-ibukota kerajaan di Asia Tenggara di luar Indonesia pada era Hindu-Buddha. Saya pertama kali mengenal Bagan dua tahun lalu ketika melihat foto seperti yang saya cantumkan disini. Saya terkesima dengan jumlah candi yang ada disana. Namun saya belum pernah mendapatkan buku ataupun menonton acara TV yang khusus membahas tempat ini. Oleh karena itu, ketika menemukan NHK TV membahas kota kuno ini, saya amat senang. Melihat Bagan mengingatkan saya pada Yogyakarta pada masa Mataram Kuno. Kalau kita membaca laporan-laporan penjelajah Belanda yang pertama kali menginjakkan kaki disana pada tahun 1700-an, kita akan tahu bahwa jumlah candi yg ada disana pada saat itu jauh lebih banyak daripada yang kita lihat saat ini. Para penjelajah Belanda tsb menuliskan bahwa hampir setiap jengkal tanah disana memiliki candi, entah besar atau kecil. Mereka pada saat itu pun masih menemukan beberapa komplek kuno dengan dinding bata keliling di sekitar Prambanan yang diduga sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya. Tak ayal lagi, kata para penjelajah itu, ini pasti sebuah kota yang besar dan makmur pada masanya. Meski demikian, para penjelajah itu juga menjelaskan bahwa sebagian besar candi yang mereka lihat sudah dalam keadaan luluh lantak, jauh lebih buruk daripada keadaan sebagian dari mereka saat ini yang sudah direnovasi para arkeolog Indonesia. Para penjelajah itu pun menjelaskan bahwa banyak dari batu candi yang sudah rusak itu diambil warga sekitar untuk membuat rumah, pagar halaman, atau bahkan dinding pabrik tradisional. Hal iti menjelaskan kekurangpahaman masyarakat saat itu tentang nilai budaya dan sejarah tinggi yang sebenarnya dimiliki candi-candi yang mereka lihat sudah rusak tsb. Bahkan sebenarnya, dengan jumlah candi yang masih tersisa saat ini pun, mulai dari belasan komplek candi besar seperti Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, Plaosan, Ijo, Barong, Sambisari, Sewu, ataupun candi-candi kecil yang jumlahnya puluhan seperti candi Merak, Palgading, Bubrah, Sojiwan, sampai kemarin ini saya masih dibuat bingung: Apa yang membuat dinasti Mataram Kuno begitu bersemangat dalam membangun candi? Apalagi kalau mengingat hampir semua komplek candi besar dibangun hanya dalam kurun waktu 100 tahun. Nah, sepertinya pertanyaan itu terjawab ketika saya menonton "Ancient Asia" semalam. Di sanalah saya menemukan penjelasan kenapa para raja kuno Myanmar amat bersemangat membangun candi di Bagan, termasuk rakyatnya. Mungkin ini bisa menjelaskan hal sama yang terjadi di Yogyakarta pada era Mataram Kuno. Hanya saja, ulasan tentang Bagan di program "Rediscovering Ancient Asia" tsb masih dapat dianggap perkenalan. Di program tsb tidak dijelaskan hubungan dinasti Bagan di Myanmar dgn dinasti lainnya di Asia Tenggara, termasuk Mataram Kuno pada saat kejayaannya. Kalau kita melihat prasasti Sdok Kok Thom di Kamboja dan Laguna di Manila Filipina, kita tahu bahwa pada masa kejayaan Mataram Kuno, Kamboja dan selatan Filipina termasuk daerah kekuasaan Mataram. Kronik-kronik Cina juga mencatat bahwa kerajaan Champa beberapa kali mendapat upaya pendudukan dari Mataram Kuno. Ya, bahkan saat itu pun, persaingan kekuasaan pun sudah terjadi di Asia Tenggara. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|