Sebagai pemeluk salah satu agama Abrahamik, sudah sering saya mendengarkan tuduhan bahwa adalah wajar untuk melihat teroris-teroris lahir dari tengah-tengan kalangan pemeluk agama-agama Abrahamik, karena agama-agama Abrahamik mempercayai bahwa hanya agama mereka masing-masing lah yang benar.
Anggapan tersebut perlu saya sanggah atas dasar dua hal: (1) Sejujurnya, meskipun agama-agama lain di luar agama-agama Abrahamik tidak secara eksplisit menyatakan bahwa agama mereka adalah yang paling benar, namun umumnya terdapat juga kepercayaan di antara kalangan pemeluk agama-agama tersebut bahwa agama mereka adalah jalan spiritual paling pas menuju pencerahan berdasarkan pengalaman spiritual pendirinya. Bila tidak ada kepercayaan semacam ini, secara logika tidak akan pernah ada hal yang membuat seseorang menjadi penganut setia suatu agama. (2) Sejarah membuktikan bahwa kekerasan dan terorisme dapat dan telah dilakukan oleh umat dari berbagai agama. Saya merasa tidak perlu untuk menuliskan daftar kekerasan yang pernah dilakukan umat setiap agama dalam sejarah di sini. Cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa tidak ada satupun umat beragama (dan juga kaum tidak beragama) yang dapat mengatakan bahwa sejarah umatnya bebas noda. Bila keyakinan bahwa agama kita adalah agama yang paling benar bukan merupakan motif melakukan tindak kekerasan, maka apa motif melakukan tindak kekerasan? Untuk menjawab itu, saya berusaha melihat masa muda saya (SMP) ketika saya sangat dipenuhi perasaan keagamaan dan, sayangnya, juga kebencian yang meluap-luap terhadap pemeluk agama lain. Dalam definisi saya saat ini, saya pada saat itu dapat dikatakan cukup radikal. Apa yang menyebabkan kebencian saya saat itu yang begitu meluap-luap? Pada saat itu, melalui pergaulan saya dan media-media yang saya baca, saya memiliki keyakinan bahwa umat agama saya selalu menjadi korban intimidasi dan ketidakadilan umat beragama lain dimana-mana. Kemudian timbul rasa dendam pada diri saya. Pada saat itu saya belumlah paham bahwa meskipun memang ada bagian dari umat-umat beragama lain yang tindakannya tidak baik, namun sisanya adalah manusia persis seperti saya yang juga menginginkan hidup yang damai dan bahagia dengan manusia lainnya. Ini baru saya pahami ketika saya mulai banyak bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda dengan saya. Selain itu, setelah saya banyak membaca sejarah, saya pun mulai mengetahui bahwa di beberapa tempat dan kesempatan, ada bagian umat beragama saya juga yang melakukan tindakan tidak adil terhadap umat beragama lainnya. Ternyata umat beragama saya pun tidak bebas noda. Dari pengalaman saya, saya menyimpulkan bahwa seseorang bisa memiliki kebencian dan motif untuk melakukan tindak agresif terhadap kelompok lain, bila ia merasa bahwa ia adalah bagian dari kelompok tertindas (victim) dan tidak mengetahui/tidak bisa melihat bahwa kelompoknya sendiri juga tidak bebas noda dan barangkali malah pernah melakukan hal tidak adil/benar terhadap kelompok lain. Kesimpulan saya ini kemudian diperdalam ketika kemudian saya mengetahui tentang teori "Staircase to Terrorism" (Tahap-tahap Menjadi Teroris) yang dikemukakan oleh Fathali M. Moghaddam, seorang psikolog senior Amerika yang selama ini meneliti motif orang-orang yang melakukan tindakan terorisme. Hal yang menarik tentang teori Moghaddam ini adalah bahwa siapapun yang pada awalnya tidak memiliki pemikiran teroris, termasuk Anda, pada akhirnya bisa menjadi seseorang yang berpemikiran teroris, bila orang tersebut berada pada kondisi yang tepat dan menempuh jalan-jalan tertentu yang pada akhirnya akan mengubah dirinya. Jalan-jalan tersebut diibaratkan oleh Moghaddam bagaikan anak-anak sebuah tangga. Ketika seseorang menaiki satu anak tangga, maka terjadi suatu transformasi pada dirinya yang lebih memudahkan ia untuk melakukan tindakan terorisme. Total ada 5 anak tangga menurut Moghaddam untuk mengubah seseorang menjadi teroris. Hal menarik lainnya tentang penelitian Moghaddam adalah, berseberangan dengan pendapat umum, para pelaku teroris sebagian besar ternyata tidak memiliki masalah ekonomi dan bukan merupakan orang berpendidikan rendah. Lantas apa saja tahap-tahap yang bisa membuat seseorang melakukan tindakan terorisme terhadap pihak tertentu dan diibaratkan sebagai 5 anak tangga oleh Moghaddam? Perlu diingat lagi bahwa, sebagaimana telah disampaikan di bagian-1 dari tulisan ini, ketika seseorang naik tingkat, maka orang tersebut akan semakin agresif dan semakin mungkin melakukan tindakan terorisme. Berikut adalah rangkuman saya dengan nama masing-masing tingkat sesuai yang diberikan oleh Moghaddam. (1) "Ground Floor: Psychological Interpretations of Material Conditions" Tahap ini merupakan prasayarat melakukan tindakan terorisme. Pada tahap ini muncul perasaan (subyektif) pada satu/sekelompok orang bahwa mereka telah mendapatkan perlakuan tidak adil di bawah suatu sistem. (2) "First Floor: Perceived Options to Fight Unfair Treatment" Orang-orang yang naik ke tahap ini adalah mereka yang melihat bahwa hanya ada sedikit atau malah sama sekali tidak ada jalan yang diakui di dalam sistem dimana mereka bisa menyuarakan ketidakpuasan atas ketidakadilan yang mereka terima ataupun memperbaiki ketidakadilan tersebut. (3) "Second Floor: Displacement of Agression" Mereka yang naik ke tingkat ini adalah mereka yang telah memiliki pandangan bahwa hanya ada sedikit atau malah satu pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas ketidakadilan yang mereka alami. (4) "Third Floor: Moral Engagement" Orang-orang yang naik ke tingkat ini adalah segelintir orang yang telah memandang pihak yang menyebabkan ketidakadilan yang mereka terima sebagai musuh nyata dan meyakini bahwa harus diambil suatu tindakan fisik terhadap musuh ini. Ini tidak ubahnya seperti pandangan orang awam yang melihat bahwa pihak/negara luar yang menginvasi negara mereka dan menyebabkan kekacauan di dalam negeri sebagai musuh yang harus diperangi balik. Moghaddam juga menyebutkan bahwa di tahap inilah biasanya repertoar tentang moralitas bergaung di kalangan teroris. Sementara pihak oposisi melihat para teroris tersebut sebagai orang-orang tidak bermoral (karena melakukan tindakan tidak manusiawi), para teroris justru melihat bahwa pihak musuhlah yang sebenarnya tidak bermoral. Kezaliman-kezaliman yang dilakukan pihak musuh sentiasa disebut berulang-ulang di dalam lingkaran para teroris, disertai pesan bahwa tindakan memerangi musuh adalah tindakan yang harus dilakukan untuk mengembalikan segala sesuatu ke keteraturan yang seharusnya. Di tahap ini pula, orang-orang yang telah direkrut oleh organisasi-organisasi teroris akan mulai diisolasi dan dibatasi interaksinya dengan dunia luar, untuk menjamin bahwa mereka memiliki idealisme yang sama seperti organisasi perekrutnya dan terjaga "kemurnian" idealismenya dari pengaruh-pengaruh luar. (5) "Fourth Floor: Solidification of Categorical Thinking and the Perceived Legitimacy of the Terrorist Organization" Moghaddam menyebutkan bahwa mereka yang sudah masuk ke tahap ini hanya memiliki kesempatan kecil sekali atau sudah tidak akan bisa lagi keluar hidup-hidup. Mereka yang berada di sini sudah memiliki program-program pasti yang akan mereka jalankan untuk memerangi musuh. Untuk menjalankan program-program tersebut, akan dibentuk kelompok-kelompok kecil (disebut sel-sel teroris) yang terdiri dari 4-5 orang, dimana setiap orang memiliki peranan. Pembagian menjadi kelompok-kelompok kecil ini lazim dilakukan oleh organisasi-organisasi teroris, agar bila satu sel teroris terbongkar oleh musuh, maka sebagian besar struktur dan agenda organisasi teroris tersebut tetap tidak dapat diketahui. Moghaddam juga menyebutkan bahwa setiap sel teroris tersebut umumnya dipimpin oleh seorang yang karismatik dan akan memberikan perhatiannya kepada para anggotanya yang telah direkrut hingga tahap ini. Pada saat yang sama, mereka terus diisolasi dan mengalami indoktrinasi bahwa apa yang sedang dan akan mereka lakukan adalah untuk mencapai tujuan yang mulia. (6) Fifth Floor: The Terrorist Act and Sidestepping of Inhibitory Mechanisms Pada tahap ini dilakukan persiapan-persiapan final sebelum tindakan terorisme dilakukan. Hal-hal yang dianggap sebagai penghalang, menurut Moghaddam, akan disingkirkan. Termasuk rasa kemanusiaan dan belas kasih terhadap warga sipil, bila warga sipil tersebut harus menjadi target mereka. Ditanamkan pemahaman bahwa warga sipil hanya bisa dianggap sebagai teman bila warga sipil tersebut mendukung organisasi teroris mereka. Menurut Moghaddam pula, rasa belas kasih otomatis terpinggirkan melalui mekanisme dan alat-alat yang dipilih para teroris untuk melakukan aksi terorisme mereka. Organisasi-organisasi teroris umumnya memilih alat-alat atau metode-metode yang akan menimbulkan kematian seketika, baik pada target maupun pelaku. Hal ini menyebabkan mereka yang telah direkrut untuk melakukan aksi terorisme tidak dapat menyaksikan ketakutan pada wajah calon korban, permohonan mereka agar mereka diijinkan hidup (seandainya mereka tahu akan menjadi korban), ataupun kesusahan dan kedukaan mendalam yang akan ditinggalkan pada keluarga para korban; yang mana bila kesemuanya itu dapat disaksikan oleh para pelaku teror maka sesungguhnya bisa menimbulkan rasa belas kasih pada diri pelaku teror dan menyebabkan mereka mengurungkan niatnya. Moghaddam mengatakan bahwa rasa belas kasih sebenarnya merupakan bagian alami dari jiwa manusia sebagai binatang. Bahkan seekor serigala yang pada dasarnya bersifat agresif pun, dalam contoh yang diberikan Moghaddam, akan merasakan iba dan mengijinkan serigala yang menjadi lawannya untuk pergi, bila setelah lawan tanding serigala yang menjadi lawan tersebut menderita luka hebat dan memberikan tanda-tanda bahwa ia mengaku kalah. Untuk menutup teorinya, Moghaddam menyampaikan bahwa memburu para teroris dan menghancurkan organisasi mereka sebenarnya tidak akan pernah bisa mengakhiri terorisme. Karena terorisme dilahirkan melalui berbagai keadaan yang telah disebutkan, maka langkah terbaik untuk mengakhiri terorisme, menurut Moghaddam, adalah dengan merubah/memperbaiki keadaan-keadaan tersebut. Selain memperbaiki ketidakadilan yang dapat dirasakan sebagian kalangan masyarakat, pemerintah, Moghaddam menyontohkan, harus memberi kesempatan kepada semua pihak untuk menyampaikan ketidakpuasannya dan turut serta memperbaiki keadaan yang ada. Bila pihak yang merasa tidak mendapat ketidakadilan tersebut telah berubah menjadi organisasi teroris, maka, Moghaddam mengutarakan, bukanlah tidak mungkin untuk mengajak mereka berdialog dan ikut serta memperbaiki kondisi yang ada dengan mengasimilasi mereka ke dalam politik secara perlahan. Hal ini telah terjadi pada IRA (organisasi pemberontak di Irlandia Utara) (dan juga GAM, menurut hemat penulis). Pada akhirnya, dalam perspektif Moghaddam, adalah lebih baik untuk mencegah kemunculan suatu penyakit daripada hanya terus menerus berusaha mengatasi gejalanya.
1 Comment
Bei Quora Deutsch habe ich eine interessante Frage gefunden "Wie hat die muslimische Welt auf die Vertreibung von Juden und Moslems aus Spanien im 15. Jahrhundert reagiert?", was mich an meine Gedanke vor einigen Jahren erinnert hat.
Auf jene Frage habe ich so geantwortet: Die meisten von Muslime, wie ich, fühlen traurig. Es gibt immer diese Nostalgie über die Blühzeit von islamischem Mittelalter Spanien in islamischen Geschichtenbüchern. Aber es sind nur sehr wenig Muslime, die Unterricht von dem Untergang des islamischen Mittelalter Spanien ziehen können. Islamisches Mittelalter Spanien war eigentlich der erste grösste Demokratieversuch in der islamischen Welt. Warum? Denn die islamische Eroberung von Mittelalter Spanien hat viele islamischen Volksstämmer eingewickelt: die Araber (die während der Eroberung als Generale agierten), die Bedouins (die als das Heer agierten), und islamische Europäer (als die besiegte Bevölkerung). Damals hat die Vielfalt der spanischen Muslime noch keine Weise gefunden, um die Macht (was das besiegte Spanien betrifft) gerecht zu verteilen. Sie haben noch nichts über Demokratie gewusst und endlich immer Krieg gegen einander geführt. Was am Anfang die Kraft das islamische Spanien geboren hat, wurde auch endlich die Ursache seines Untergangs: Menschenvielfalt. Ada hal menarik lain yang saya temukan selama saya melakukan blusukan ke berbagai kota kuno di Thailand utara, tengah, dan Kamboja. Yakni saya selalu menemukan adanya warga lokal yang Muslim. Banyak diantara mereka ikut berjejalan di bus butut yang saya naiki atau berjualan di pasar-pasar tradisional yang saya datangi.
Sebelumnya saya selalu menduga bahwa Muslim lebih banyak di bagian selatan Thailand, seperti daerah Pattani dan Surathani, yang dulunya merupakan bagian kerajaan Melayu. Tapi ternyata penemuan saya ini membuktikan saya keliru. Saya menduga bahwa orang-orang Islam yang saya temui di pelosok utara dan tengah Thailand dan Kamboja ini bukanlah keturunan Melayu seperti yang ada di daerah Pattani dan Surathani, melainkan orang-orang Champa. Ketika saya mencoba berkomunikasi dengan bahasa Melayu, seperti ustadz yang saya temui di perkampungan Muslim di Ayutthaya, yang bersangkutan tidak bisa mengerti. Bahasa Inggrisnya pun tidak lancar. Ia hanya bisa bahasa lokal. Orang-orang Islam keturunan Melayu seperti yang ada di Pattani dan Surathani umumnya masih mewariskan kemampuan bahasa Melayunya. Kerajaan Champa adalah kerajaan yang pernah berkuasa di Vietnam utara dan selatan mulai abad ke-2 hingga ke-19. Pada mulanya kerajaan ini bercorak Hindu-Buddha. Namun di abad ke-12, mulai banyak raja dan bangsawan kerajaan Champa yang memeluk agama Islam. Kita tentunya tidak boleh lupa dengan raja terakhir Majapahit yang menikah dengan putri Champa. Meski demikian, masih ada sebagian kecil orang Champa kini yang beragama Hindu/Buddha dan disebut orang Balamon Cham. Kerajaan ini mulai surut pengaruhnya semenjak kerajaan Dai Viet di utara Vietnam berkembang. Pada 1832 M, raja Dai Viet, Minh Mang, menaklukkan sisa kerajaan Champa yang terakhir di selatan Vietnam. Sejak saat itu, orang-orang Champa tidak memiliki kerajaannya sendiri dan banyak yang menyebrang ke Kamboja. Menarik untuk diketahui juga bahwa bahasa Champa memiliki hubungan yang amat dekat dengan salah satu bahasa daerah di Indonesia, yaitu Aceh. Ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian linguistik. Mungkin dulu pernah ada hubungan dekat dan migrasi manusia antara dua daerah ini. Hal ini tentu akan menarik untuk jadi obyek penelitian akademis lebih lanjut. A. Mengenal Apotheosis
Dalam ilmu antropologi, salah satu topik yang menarik minat saya adalah kepercayaan-kepercayaan primitif dunia dan sejarah agama-agama dunia. Terkait topik ini, salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah apotheosis. Apa itu apotheosis? Apotheosis (bhs. Yunani) alias deifikasi (bhs. Latin) adalah pengangkatan manusia menjadi suatu sosok adikodrati. Bila kita menilik kepercayaan-kepercayaan tua dunia, ini adalah suatu fenomena yang umum terjadi. Terkecuali kita mempelajari bukti-bukti sejarah yang ada di tiap-tiap bangsa melalui disiplin ilmu semacam antropologi, barangkali kita tidak akan mengetahui bahwa banyak sosok dewa-dewi yang kita kenal di berbagai kepercayaan kuno sebenarnya dulunya adalah sosok-sosok manusia nyata yang pernah hidup. Dikarenakan jasa-jasanya, mereka lantas diangkat menjadi dewa oleh generasi berikutnya. Di tulisan singkat ini, saya hanya akan membatasi pembahasan apotheosis pada 3 kepercayaan tua dunia: Arab Pra-Islam, Tiongkok dan India. B. Apotheosis pada Kepercayaan Arab Pra-Islam Mereka yang mempelajari sejarah Arab pra-Islam umumnya mengetahui bahwa kepercayaan Arab pra-Islam telah mengenal sosok Allah sebagai Tuhan sebagaimana Islam. Bahwasanya masyarakat Arab pra-Islam telah mengenal Allah juga dijelaskan di berbagai ayat di Al-Qur'an. Kemungkinan, sosok Allah diperkenalkan ke masyarakat Arab oleh Ismail, seorang tokoh nabi dalam agama Abrahamik, dan ayahnya, Ibrahim, ketika mereka masuk tanah Hijaz dan Ismail serta keturunannya mulai bermukim disana. Sepanjang yang saya tahu, sebagaimana diajarkan Ismail, sosok Allah tidak pernah diberi bentuk dan dibuat patungnya oleh masyarakat Arab pra-Islam. Hanya saja, sepeninggal Ismail, masyarakat Arab pra-Islam mulai mengenal berbagai dewa-dewi yang diberi kedudukan di bawah Allah. Empat diantaranya yang terkenal adalah Latta, Manat, Uzza dan Hubal. Oleh masyarakat Arab pra-Islam, Manat, Latta dan Uzza dianggap sebagi para putri Allah. Manat adalah yang tertua, diikuti Latta lalu Uzza. Sementara itu Hubal adalah suami Manat. Tentang peranan mereka dalam kepercayaan Arab pra-Islam tidak akan dibahas disini dan bisa dibaca di "Kitab al-Asnam" ("Book of Idols"), sebuah buku tentang tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang ditulis oleh Hisham ibn al-Kalbi, seorang sejarahwan Persia di awal masa Islam. Sementara ada berbagai pendapat modern soal asal-usul sosok Manat, Latta, Uzza dan Hubal, kita bisa melihat indikasi telah terjadinya apotheosis, terutama menyangkut figur Latta, bila melihat catatan para perawi hadits di awal masa Islam yang masih mengenal tradisi Arab pra-Islam. Tentang sosok Latta, Ibnu Katsir menjelaskan: وَكَانَتِ “اللَّاتُ” صَخْرَةً بَيْضَاءَ مَنْقُوشَةً، وَعَلَيْهَا بَيْتٌ بِالطَّائِفِ لَهُ أَسْتَارٌ وسَدَنة، وَحَوْلَهُ فِنَاءٌ مُعَظَّمٌ عِنْدَ أَهْلِ الطَّائِفِ “Al-Latta adalah patung putih yang berukir. Ia ditempatkan dalam sebuah rumah di Tha’if yang memiliki kelambu-kelambu dan juru kunci. Sekelilingnya terdapat halaman. Latta di agungkan oleh penduduk Tha’if” (Tafsir Ibnu Katsir 7/455) Sementara riwayat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan Abu Shalih menjelaskan lebih jauh: كان رجلا يَلُتّ السويق للحاج فلما مات عكفوا على قبره فعبدوه “Al-Latta dahulu adalah seorang lelaki yang membuat adonan roti (yang dibagikan cuma-cuma) kepada jama’ah haji. Ketika ia meninggal, orang-orang beri’tikaf di kuburannya dan menyembahnya” (Tafsir Ath Thabari 22/523). Bila kita merujuk pada keterangan para perawi hadits di awal masa Islam sebagaimana contoh-contoh di atas, dapat diketahui bahwa Latta adalah sosok dermawan yang sering melayani jemaah haji pada masa pra-Islam. Untuk mengenangnya, orang-orang Arab pra-Islam selalu mengunjungi kuburannya setelah ritual haji dan berdoa kepadanya. Di kemudian hari, mereka membuat patungnya dan sosoknya mengalami apotheosis. Sampai saat ini sendiri saya masih mencari informasi apakah telah terjadi apotheosis juga pada sosok Manat, Uzza dan Hubal, namun belum berhasil menemukan. C. Apotheosis pada Kepercayaan Tiongkok Kepercayaan Tiongkok mengenal banyak dewa-dewi. Dua diantaranya yang cukup terkenal adalah dewi Guan Yin (bhs. Mandarin; alias Kwan Im dalam bhs. Hokkian) dan dewa Guan Yu (bhs. Mandarin; alias Kwan Kong). Guan Yin adalah dewi yang dikaitkan dengan kasih sayang. Setelah masuknya Buddhisme ke Tiongkok, Guan Yin dianggap sebagai perwujudan bodhisatwa dari sosok sejarah Avalokitesvara yang dalam Buddhisme India sebenarnya berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, Guan Yu adalah dewa pelindung dan seringkali dijadikan simbol kejujuran dan kesetiaan. Terkait Guan Yin, kita bisa melihat indikasi terjadinya apotheosis pada sosok ini bila melihat berbagai legenda Tiongkok tentang asal-usul tokohnya. Salah satunya adalah sebagaimana disampaikan biksu Buddhis dari abad ke-11, Jiang Zhiqi, dalam kitabnya 香山寶卷 (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai "Precious Scroll of Fragrant Mountain"). Berdasar penelitiannya, Jiang meyakini bahwa sosok yang dipuja masyarakat Tiongkok sebagai Guan Yin sebenarnya dulunya adalah seorang putri yang pernah hidup, bernama Miao Shan. Singkat cerita, Miao Shan ingin menjadi biarawati dan hidup selibat, sementara ayahnya, Miao Zhuang Yan menginginkan dia menikah dengan seorang penguasa tersohor. Demi mencapai keinginannya, Miao Zhuang Yan melakukan berbagai paksaan dan kekejaman terhadap putrinya sehingga putrinya melarikan diri ke sebuah gunung. Suatu hari sang ayah jatuh sakit. Tabib yang ia temui mensyaratkan agar ia mendapatkan potongan tangan dan mata manusia sebagai bagian dari ritual penyembuhan bila ingin sembuh. Ia pun mendapatkan potongan dan mata yang ternyata berasal dari putrinya sendiri yang memberikannya secara sukarela. Mengetahui itu, sang ayah pun menyesali perbuatannya selama ini. Sementara itu, menyangkut sosok Guan Yu, ia adalah jelas tokoh sejarah yang pernah hidup, bila kita membaca kronik-kronik/sejarah Tiongkok, dan telah mengalami apotheosis. Guan Yu, sebagaimana dijelaskan oleh kronik Tiongkok paling awal tentang tokoh ini, yaitu San Guo Zhi oleh penulis Chen Shou di abad ke-3, awalnya adalah seorang jenderal yang hidup pada masa Tiga Kerajaan (abad ke-3 M) di Tiongkok. Ia melayani Liu Bei, seorang pendiri dan penguasa negeri Shu Han. Guan Yu adalah seorang jenderal yang setia dan pemberani. Di akhir hidupnya, ia tewas dibunuh oleh Sun Quan, seorang penguasa yang semula merupakan sekutu Liu Bei. Sejarah Tiongkok menunjukkan bahwa naiknya Guan Yu ke peringkat dewa terjadi secara bertahap melalui pemberian gelar kehormatan kepada tokoh ini dengan derajat yang semakin meningkat dari satu dinasti kekaisaran Tiongkok ke dinasti lainnya. Dimulai dengan gelar 壯繆侯 (diterjemahkan ke bhs. Inggris sebagai "Marquis Zhuang Mou") yang diberikan oleh kaisar Liu Shan dalam waktu 40 tahun setelah Guan Yu meninggal hingga ke gelar 三界伏魔大神威遠震天尊關聖帝君 (Kaisar Suci Guan, Dewa Penakluk Iblis di Tiga Dunia dan Yang Kekuatannya Menjangkau dan Menggerakan Langit) oleh kaisar Wan Li pada 1614, masa dinasti Ming. Tahun pemberian gelar "Dewa" oleh Wan Li ini seringkali dianggap sejarahwan sebagai tahun naiknya Guan Yu ke posisi dewa secara resmi. D. Apotheosis Pada Kepercayaan India/Hindu Hindu juga adalah salah satu kepercayaan yang mengenal banyak dewa-dewi. Saya belum mempelajari apakah beberapa tokoh dewa-dewi dalam Hindu, seperti Krishna, berasal dari figur sejarah yang pernah hidup, dicatat dalam sejarah, dan meninggalkan bukti-bukti arkeologis. Fokus saya masih pada mempelajari kepercayaan asli orang-orang Indo-Arya, yang di kemudian hari menurunkan orang dan kepercayaan India, Persia, Yunani, Romawi dan berbagai bangsa di Eropa. Walau demikian, kita bisa menemui indikasi apotheosis bila melihat tradisi Hindu di Indonesia saat ini dan sejarah berbagai raja Hindu yang pernah berkuasa di Nusantara. Dalam tradisi Hindu di Indonesia yang saya ketahui, terdapat Pitra Yadnya, yaitu pelayanan dan persembahan pengorbanan kepada orang tua dan leluhur, disamping kepada dewa (Dewa Yadnya), guru suci (Rsi Yadnya), sesama manusia (Manusa Yadnya) dan unsur-unsur serta kekuatan penguasa alam (Bhuta Yadnya). Pelayanan tersebut berlaku baik ketika orang-orang tersebut masih hidup maupun sudah tiada. Ketika seorang leluhur telah tiada dan ruhnya telah distanakan di tempat pemujaan keluarga melalui upacara, maka ruh leluhur tersebut dianggap setara dengan dewa. Pemujaan terhadap leluhur tersebut tidak lagi tergolong Pitra Yadnya, melainkan Dewa Yadnya, sebagaimana dijelaskan dalam buku "Pokok-pokok Ajaran Agama Hindu" (Wayan Nurkancana). Bila kita melihat sejarah raja-raja Hindu di Nusantara pun, kita dapat menemukan apotheosis secara jelas. Setelah raja-raja tersebut wafat, mereka akan dipuja di candi-candi yang khusus dibuat untuk mereka (disebut candi pendharmaan), karena mereka dipercaya telah menyatu dengan ista dewata alias dewa pujaan mereka semasa mereka hidup. Sebagai contoh, raja Airlangga didharmakan sebagai dewa Wisnu di candi Belahan, sementara Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara di candi Simping. Menyatunya manusia dengan dewa dimungkinkan dalam Hindu karena dipercaya bahwa bila manusia wafat dan telah lolos dari samsara (lingkaran reinkarnasi), ia pasti akan bersatu dengan dewata. E. Sebab Terjadinya Apotheosis Sementara sebagian manusia dan kepercayaan dunia menganggap bahwa manusia itu lemah dan tidak mungkin menjadi sosok adikodrati, mengapa sebagian manusia dan kepercayaan lainnya meyakini bahwa manusia bisa menjadi sosok adikodrati setelah ia tiada? Pada kepercayaan-kepercayaan dimana apotheosis terjadi, pada umumnya diyakini hal-hal berikut: - Tidak semua kualitas manusia sama. Ada manusia yang semasa hidupnya dipandang lebih baik, lebih kuat, ataupun bisa memberikan perlindungan kepada lebih banyak orang dibandingkan manusia lainnya. - Setelah meninggal, manusia akan hidup di alam yang lain dan alam ini masih memiliki hubungan dengan alam manusia. Mereka yang hidup di alam ini masih bisa mempengaruhi kehidupan manusia. - Setelah meninggal, manusia akan membawa segala kualitas dan kekuatan yang ia miliki semasa ia hidup. Oleh karena itu, bila seorang tokoh mampu memberi perlindungan kepada banyak orang semasa hidup, dipercaya ia juga tetap bisa memberi perlindungan setelah ia tiada. Berlandaskan pada keyakinan-keyakinan di ataslah apotheosis sering terjadi bukan hanya pada kepercayaan-kepercayaan yang saya bahas disini, namun juga pada banyak kepercayaan tua dunia. _____________ Rujukan lanjutan: 1. "Kitab al-Asnam" ("The Book of Idols") oleh Hisham Ibn al-Kalbi 2. http://muslim.or.id/18067-al-latta-pembuat-roti-yang-disemb… 3. 香山寶卷 ("Precious Scroll of Fragrant Mountain"), oleh Zhiang Jiqi 4. "San Guo Zhi" (Catatan Tiga Kerajaan), oleh Chen Shou 5. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Guanyin 6. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Guan_Yu 7. Pokok-pokok Ajaran Agama Hindu: Pedoman untuk Umat Hindu di Seluruh Nusantara, oleh Wayan Nurkancana, penerbit Manikgeni. 8. Dewa Dewi Hindu, oleh I Wayan Maswinara, penerbit Paramita Surabaya. They often ask if Islam is compatible with the West or if it's even possible to think of a "real" Westerner who is also a Muslim. They forget that in some countries and areas of Eastern Europe, Islam is the religion of the indigenuous. To be a Westerner and a Muslim at the same time is of course possible. Although as a Western Muslim, of course you'd likely be more influenced by the Middle Eastern culture. Just like Western Europe is much influenced by the Roman culture that it looks up to. Saya membayangkan, mungkin perpecahan politik umat Islam Indonesia saat ini (yaitu pro-Jokowi vs anti-Jokowi; pro-Ahok vs anti-Ahok) bisa sedikit menggambarkan perpecahan umat Islam awal yang masih terjadi sampai sekarang (yaitu Sunni vs Syiah).
Perpecahan saat itu juga soal siapa yang berhak memimpin umat Islam kan? Syiah, yang kini jadi minoritas, menganggap hanya keturunan Nabi yang pantas. Sementara Sunni, yang kini jadi mayoritas, menganggap bahwa semua orang Islam bisa dipilih berdasarkan konsensus. Hanya saja perpecahan saat itu pasti begitu hebatnya sampai akhirnya menyentuh hal keagamaan juga. Semua sabda Nabi (hadits) yang dikumpulkan oleh mereka yang tidak yakin pada hak kepemimpinan Ali r.a. (yang diperjuangkan kelompok Syiah) ditolak dan tidak mau dijadikan landasan hukum Islam oleh Syiah. Syiah hanya menerima hadits yang dikumpulkan kalangan mereka sendiri. Kita tahu bahwa sepanjang sejarah manusia (setidaknya sampai datangnya ideologi sekularisme dari Barat), agama dan politik saling bertalian erat. Sebagaimana agama mempengaruhi politik, mungkin contoh yang saya sebut terakhir di atas juga bisa memberi contoh bagaimana politik juga bisa mempengaruhi keyakinan beragama. Tulisan ini adalah respon terhadap berita ini:
news.detik.com/berita/3377301/persoalkan-5-pahlawan-kafir-di-rupiah-baru-ini-penjelasan-dwi-estiningsih Ibu ini merasa berbicara berdasarkan fakta. Pertanyaan saya begini bu: Kenapa ibu hanya fokus membeda-bedakan para pahlawan berdasarkan agamanya? Kenapa ibu juga tidak memprotes hal-hal lainnya? Bukankah separuh populasi Indonesia adalah wanita? Kenapa ibu tidak mempersoalkan proporsi keterwakilan gender di uang kertas baru? Tidakkah harusnya ibu, sebagai wanita, merasa terhina karena uang kertas baru tidak mewakili gender secara adil? Bukankah 40% orang Indonesia beretnis Jawa? Kenapa ibu tidak memprotes proporsi keterwakilan etnis Jawa? Bukankah orang Jawa seperti saya harusnya merasa marah karena populasi saya tidak terwakili secara adil? Tentunya saya dapat memperpanjang daftar di atas, tapi inti persoalannya tetap sama: tidak ada yang membuat agama sebagai satu-satunya hal yang valid untuk membeda-bedakan manusia dan sebagai satu-satunya hal yang harus diprotes keterwakilannya di uang kertas baru. Karena ibu bicara masalah keterwakilan di uang kertas baru, saya mohon supaya ibu bisa adil dan bisa persoalkan juga ribuan hal pembeda di bangsa ini yang belum terwakili disana. Terima kasih, bu. Saya merindukan figur-figur ustadz yang fasih atau bisa memberikan pandangan tentang Kehampaan Kuantum (Quantum Vacuum) sebagai asal-muasal eksistensi, Alam Semesta Jamak (Multiverse) sebagai sumber Keselarasan Hukum-hukum Alam (Laws of Nature Fine Tuning), Migrasi Keluar Afrika (Out of Africa) umat manusia, atau barangkali rajin mendidik umat agar pintar berbisnis seperti rasulnya.
Di zaman kejayaan peradaban umat Islam, ustadz-ustadz yang fasih bicara dan forum-forum diskusi soal IPTEK atau filsafat di tengah-tengah umat jumlahnya melimpah. Kita masih belum bisa menyamai pencapaian para pendahulu kita. Dalam ranah studi agama, ada 2 teori saling bertolak belakang yang berusaha menjelaskan kemunculan agama monoteis. Teori pertama menyatakan bahwa agama monoteis pada awalnya berwujud sebagai kepercayaan animisme (ruh leluhur) dan dinamisme (kekuatan alam) yang kemudian berkembang menjadi politeisme dan berakhir sebagai agama monoteis. Yang diambil sebagai contoh biasanya adalah kasus agama Yahudi, dimana sebelum orang Yahudi hanya menyembah Yahweh seperti saat ini, Yahweh dulunya hanyalah salah satu dari beberapa dewa-dewi orang Yahudi sebelum migrasi orang Yahudi ke tanah Kanaan. Keesaan Yahweh baru dikukuhkan di tanah Kanaan melalui nabi-nabi Yahudi, seperti Yesaya, Hosea dan Ezekiel. Cerita lengkap soal ini dapat dibaca di buku "The History of God"-nya Karen Armstrong. Teori kedua, terutama yang dianut agama-agama Abrahamik, utamanya Islam, menyatakan bahwa pada awalnya kepercayaan pertama umat manusia justru bersifat monoteis, karena kepercayaan ini bersumber langsung dari Ilahi yang, dalam versi agama Abrahamik, adalah monoteis. Yang justru kemudian terjadi adalah ketika manusia berpencar ke segala penjuru Bumi, di beberapa tempat kepercayaan awal ini justru "luntur" menjadi kepercayaan-kepercayaan politeis karena "melemahnya" hubungan dengan sumber awal dan masuknya pemahaman-pemahaman manusia. Oleh karena itulah maka Tuhan mengirimkan nabi-nabiNya untuk mengingatkan lagi tentang isi pesan asli sumber awal ini dan meneguhkan lagi hubungan dengannya. Demikianlah versi Islam. Setiap orang tentunya boleh memilih teori yang diyakininya berdasarkan data-data yang ia miliki dan observasi yang sudah dilakukannya. Tapi pada kesempatan ini saya ingin membahas tentang teori kedua. Sejak masa awal SMP sampai dengan masa pertengahan kuliah, saya sendiri dapat dikatakan sebagai orang yang suka menelaah agama-agama import, seperti Kristen (dan segala denominasinya), Yahudi, Baha'i, Zoroastrianisme, agama Mesir Purba ataupun Yunani Kuno. Saya sama sekali tidak menaruh minat pada agama-agama tradisional, baik yang ada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Segalanya berubah ketika pada masa akhir kuliah saya mendapatkan buku "Dialog dengan Atheis" yang ditulis oleh Mustafa Mahmud dan buku-buku seri "Mengenal Islam" yang diterbitkan Pustaka Mizan. Di buku "Dialog dengan Atheis", Mahmud menuliskan tentang perdebatan nyata antara temannya, seorang sarjana Muslim di Perancis, dengan seorang professor Perancis yang atheis. Segala argumentasi dikeluarkan masing-masing pihak, mulai dari yang bersifat ontologis, etis, ataupun saintifik, untuk membuktikan kebenaran keyakinannya masing-masing. Sementara itu di buku-buku "Mengenal Islam", yang keseluruhan serinya terdiri dari 7 buku (seingat saya), dibahas konteks kemunculan akidah dan fikih Islam. Nah, ada hal menarik yang sebelumnya belum pernah saya ketahui sama sekali ketika kedua judul buku di atas membahas persoalan Tauhid. Sebagaimana diketahui umat Islam pada umumnya, ketauhidan Tuhan adalah hal esensial dalam Islam. Demi mengingatkan tentang ketauhidan ini, dalam versi Islam, Tuhan tidak henti-hentinya mengirimkan utusan ke segala bangsa untuk mengingatkan mereka soal ketauhidan ini dan menyadarkan tentang penyimpangan-penyimpangan yang telah berkembang terkait pemahaman soal Tuhan ataupun praktek penyembahan kepada-Nya. Ada bangsa yang menerima utusan tersebut; ada yang menentangnya; dan ada yang menerima namun kemudian keturunannya kembali menyimpang. Biasanya, kalau memberi contoh soal utusan-utusan Tuhan tersebut, kebanyakan buku Islam akan menyebutkan nabi-nabi yang diutus kepada umat agama-agama Samawi selain Islam. Tapi tidak halnya dengan kedua judul seri buku yang saya sebut di atas. Kedua buku tersebut menegaskan bahwa karena Tuhan sendiri menyebutkan bahwa utusan-utusanNya dikirim kepada segala bangsa, jejak-jejak ajaran ketauhidan yang diwartakan para utusan Tuhan tersebut seharusnya bisa ditemukan pada banyak agama lokal di berbagai tempat di dunia; tidak hanya pada agama-agama Samawi. Seri buku "Mengenal Islam" memberi contoh tentang agama yang dipeluk oleh orang-orang Arya pertama yang masuk anak benua Asia dan kental ciri monotheismenya berdasarkan hasil penelitian Max Müller, seorang begawan antropologi Asia Selatan dari Jerman. Seri buku ini juga membahas tentang sosok Latta dan Uzza, dua dari beberapa tuhan orang Arab Jahiliyyah (Pra-Islam). Mereka sebenarnya adalah dua sosok manusia soleh yang dulunya pernah hidup di tengah-tengah masyarakat Arab Kuno. Sepeninggal keduanya, masyarakat Arab Kuno membuat patung untuk mengenang jasa mereka semasa hidup. Proses totemisasi (pembuatan patung untuk mengenang perbuatan baik) ini seiring waktu kemudian berubah menjadi deifikasi (peningkatan status menjadi Tuhan). Sementara itu, buku "Dialog dengan Atheis" memberi contoh tentang keyakinan masyarakat-masyarakat di pedalaman Afrika, semisal Himba, Igbo, ataupun Oromo, yang hingga kini bersifat monoteis. Buku ini dengan lantang menentang argumentasi bahwa setiap masyarakat primitif pasti bercorak animisme-dinamisme ataupun politeisme, seperti yang dikatakan teori arus utama (mainstream). Mengetahui hal-hal di atas membuat saya tertegun dan bertanya, bagaimana dengan keyakinan-keyakinan lokal Indonesia sendiri yang sebagian diantaranya sudah hadir lama sebelum datangnya agama Hindu dan Buddha? Seperti apa konsep ketuhanannya? Apakah betul semuanya bercorak animisme-dinamisme? Nah, karena saya memiliki darah Sunda dan literatur terkait keyakinan orang Sunda pra-Islam cukup mudah ditemui kalau dicari, maka saya pun tertarik mempelajari keyakinan Sunda Kuno. Dari sudut pandang Islam, dalam agama Sunda Kuno terdapat beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai ciri-ciri keyakinan monoteis. Di agama Sunda Kuno, hanya terdapat satu Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan ini dipanggil dengan banyak nama yang, keseluruhannya, sebenarnya merupakan sifat-sifatNya, seperti "Sang Hyang Tunggal" ("Yang Maha Esa"), "Sang Hyang Jatiniskala" ("Yang Maha Gaib"), "Sang Hyang Taya/Teu Aya" ("Yang Tidak Memiliki Kehadiran di Dunia Fisik"), ataupun "Sang Hyang Kersa" ("Yang Maha Memiliki Keinginan"). Sifat-sifat di atas dengan cepat mengingatkan saya pada sifat-sifat Tuhan yang jumlahnya ada 99 dalam agama Islam dan disebut "Asma'ul Husna". Mengenai Tuhan Yang Maha Esa ini dikatakan jelas di naskah Sunda Kuno bernama Siksa Kanda ng Karesian: "..Hanteu nu ngayuga aing Hanteu nu manggawe aing Aing ngangaranan maneh Sang Hyang Raga Dewata" "Tidak ada yang menjadikan Aku Tidak ada yang menciptakan Aku Aku menamai diriKu sendiri Sang Hyang Raga Dewata" Di bawah Tuhan ini, terdapat 7 figur yang juga gaib dan tidak pernah ditemui penggambarannya dalam kebudayaan Sunda. Ketujuh figur tersebut disebut "Tujuh Guriang" dan terdiri dari: 1. Sang Hyang Ijunajati 2. Sang Hyang Tunggal Premana 3. Sang Hyang Aci Larang 4. Sang Hyang Aci Kumara 5. Sang Hyang Aci Wisesa 6. Sang Hyang Manon 7. Bhatara Lengga Buana Karena penyebutan tujuh figur ini hanya ditemui pada naskah-naskah Sunda Kuno dan sudah sedikit sekali orang Sunda Modern yang mempraktekkan agama asli Sunda, tidak diketahui secara pasti peranan yang dipegang tiap figur di atas dalam agama Sunda masa itu. Bisa jadi tiap figur tersebut adalah manifestasi Tuhan, sebagaimana yang dikemukakan Prof. Agus Aris Munandar. Tapi mungkin juga bahwa ketujuh tokoh tersebut adalah pesuruh-pesuruh langsung Tuhan yang dikenal sebagai "malaikat" dalam konsepsi Islam. Ketika agama Hindu masuk ke tanah Jawa, masyarakat Sunda hanya menyerap sedikit sekali agama Hindu ke dalam kepercayaan masyarakatnya, tidak seperti masyarakat Jawa yang kepercayaan aslinya akhirnya tergantikan. Dari seluruh aspek agama Hindu, yang diserap ke dalam kepercayaan Sunda Kuno hanyalah para dewanya ("Bhatara Syiwa", dll), yang kedudukan keseluruhannya ditempatkan di bawah Tujuh Guriang asli Sunda Kuno. Siksa Kanda ng Karesian menyatakan hal tsb sebagai berikut: "..mangkubumi bhakti di ratu, ratu bhakti di dewata, dewata bhakti di hyang.." ("mangkubumi tunduk ke raja, raja tunduk ke dewata, dan dewata tunduk ke Tuhan"). Ritual ibadah ala Hindu sendiri tidak diserap ke dalam keyakinan masyarakat Sunda dan penyembahan terhadap figur dewa-dewi Hindu tidak dilakukan meluas, jika dibandingkan dengan penyembahan langsung kepada Hyang (Tuhan). Inilah sebabnya hanya ada segelintir candi di tanah Sunda. Dikarenakan kegaibannya, Tuhan maupun ketujuh guriangNya tidak dapat ditemui penggambarannya dalam agama Sunda Kuno. Mereka biasanya hanya direpresentasikan dalam bentuk menhir (batu tinggi menyerupai monumen) yang ditancapkan di teras tertinggi tempat ibadah Sunda Kuno. Menhir itu sendiri dibiarkan berbentuk batu tanpa adanya pahatan lebih lanjut sehingga menyerupai manusia (antropomorfik). Untuk sarana ibadahnya, orang Sunda Kuno memiliki tempat ibadah berbentuk teras-teras berundak yang semakin tinggi ke belakang. Bentuk ini mewarisi tempat ibadah punden berundak yang dikenal luas pada masyarakat pra-sejarah Nusantara. Di teras tertinggilah biasanya menhir diletakkan. Bila melihat pada kasus masyarakat Baduy di pedalaman Lebak, hanya pemuka agama saja yang diperkenankan memimpin doa ataupun upacara di teras tertinggi ini dengan duduk bersila menghadap menhir. Masyarakat umum duduk bersila di belakang pemuka agama di teras yang lebih rendah. Beberapa tempat ibadah Sunda Kuno bisa berukuran kecil namun beberapa juga berukuran raksasa, seperti yang dapat ditemui di Gunung Padang, Cianjur, dimana keseluruhan bukit dibentuk menjadi teras-teras di semua sisinya sampai ke atas dengan diberi dinding penahan tanah dari batu alam dan dijadikan sarana ibadah. Prof. Agus Aris Munandar mengatakan bahwa salah satu kemungkinan besar penyebab sukses diterimanya agama Islam di masyarakat Sunda, dibandingkan keyakinan sebelumnya yang mampir di tanah Jawa, adalah karena sifat monoteis Islam yang secara kebetulan sama dengan yang ada di keyakinan Sunda Kuno dan kemudahan masyarakat Sunda Kuno untuk mengidentifikasikan ajaran monoteisme Islam dengan yang sudah ada di agamanya. Kehadiran Islam di tanah Sunda sendiri tidak disangsikan membawa pengaruh pada agama Sunda yang saat ini masih dipraktekkan di beberapa kantong masyarakat Sunda tradisional (sering disebut budayawan sebagai agama Sunda Wiwitan), seperti Baduy. Dari kunjungan saya ke kampung-kampung Baduy dan perbincangan dengan mereka ketika mereka mengunjungi rumah saya di Jakarta beberapa kali, saya mengetahui bahwa di masyarakat Baduy, figur Tuhan tertinggi sendiri saat ini "sudah" bernama "Allah". Nabi Muhammad diakui sebagai utusan Tuhan kepada semua masyarakat, termasuk Baduy. Meski demikian, teman-teman Baduy saya mengatakan bahwa syariat yang dibawa kepada mereka berbeda dengan yang dibawa ke masyarakat lainnya. Ibadah mereka tidak seperti salatnya umat Islam dan puasa mereka tidak di bulan Ramadan. Sebenarnya, ritual-ritual ibadah yang mereka katakan berbeda itu tak lain adalah ritual-ritual ibadah asli agama Sunda, yang masih mereka lakukan karena Islam tidak terserap seluruhnya di Baduy. Banyak diantara mereka sendiri yang menyebut agama mereka Islam Wiwitan. Mengenai agama Sunda Kuno sendiri, masih banyak hal yang belum bisa diungkap terkait sistem kepercayaannya secara lengkap karena selain minimnya jumlah naskah Sunda Kuno, jumlah peneliti naskah, juga karena gaya bahasa naskah-naskah tersebut yang banyak mengandung ungkapan dan tidak lugas. Hal-hal itu yang selama ini disebut sebagai kendala oleh para ahli budaya Sunda. Saya berharap, bila ada lebih banyak anak muda Sunda yang tertarik mempelajari kebudayaannya dan menjadi peneliti serta lebih banyak dilakukannya perbandingan terhadap sistem kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini, semoga segala misteri yang masih melingkupi kepercayaan Sunda Kuno bisa terungkap. Menanggapi tulisan di bawah ini:
http://finance.yahoo.com/news/muslims-see-anti-mosque-bias-landmarking-decision-135704147.html?soc_src=mediacontentsharebuttons&soc_trk=fb Di Amerika dan Eropa, bangun ataupun renovasi masjid itu susah. Padahal katanya masyarakat Barat itu liberal. Di Indonesia, bangun ataupun renovasi gereja juga susah. Padahal UUD kita bicara soal kebebasan beragama. Ini semua menunjukkan apa? Pertama, "liberalisme" dan "kebebasan beragama" itu cuma jargon; gak ada masyarakat yang benar-benar bebas bias. Kedua, ini sebenarnya bukan masalah Muslim atau Kristiani. Ini lebih condong ke kecurigaan, kekhawatiran atau ketakutan masyarakat mayoritas terhadap masyarakat minoritas dan bisa terjadi ke umat agama manapun; indikasi masih buruknya komunikasi, informasi dan pemahaman yang ada. Toleransi yang sering didengung-dengungkan banyak pihak masih sebatas formalitas di permukaan; belum menyentuh akar rumput. Perlu kerja keras semua pihak supaya umat mayoritas dan minoritas bisa saling memahami niat ataupun kekhawatiran masing-masing pihak dan menjaga kepercayaan. Cham adalah suku minoritas di Vietnam dan Kamboja yang beragama Islam. Mereka adalah sisa dari kerajaan Islam Champa yang pernah berkuasa di Vietnam dan menurunkan putri-putri yang menikah dengan raja-raja di Nusantara dan menurunkan beberapa Wali Songo. Senang sekali semalam bisa menonton program dokumenter "Rediscovering Ancient Asia" di saluran NHK TV Jepang yang khusus membahas Bagan. Bagan adalah sebuah kota kuno di Myanmar, dimana disana terhampar 3.000 buah candi berukuran besar dan kecil. Kalau Anda penyuka arsitektur candi, jelas ini adalah salah satu tempat yang harus Anda kunjungi di luar Indonesia di samping Siem Reap (Kamboja), Ayutthaya, Sukkhothai (Thailand), Indrapura, Vijaya, dan Phan Rang–Tháp Chàm (Vietnam). Itulah ibukota-ibukota kerajaan di Asia Tenggara di luar Indonesia pada era Hindu-Buddha. Saya pertama kali mengenal Bagan dua tahun lalu ketika melihat foto seperti yang saya cantumkan disini. Saya terkesima dengan jumlah candi yang ada disana. Namun saya belum pernah mendapatkan buku ataupun menonton acara TV yang khusus membahas tempat ini. Oleh karena itu, ketika menemukan NHK TV membahas kota kuno ini, saya amat senang. Melihat Bagan mengingatkan saya pada Yogyakarta pada masa Mataram Kuno. Kalau kita membaca laporan-laporan penjelajah Belanda yang pertama kali menginjakkan kaki disana pada tahun 1700-an, kita akan tahu bahwa jumlah candi yg ada disana pada saat itu jauh lebih banyak daripada yang kita lihat saat ini. Para penjelajah Belanda tsb menuliskan bahwa hampir setiap jengkal tanah disana memiliki candi, entah besar atau kecil. Mereka pada saat itu pun masih menemukan beberapa komplek kuno dengan dinding bata keliling di sekitar Prambanan yang diduga sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya. Tak ayal lagi, kata para penjelajah itu, ini pasti sebuah kota yang besar dan makmur pada masanya. Meski demikian, para penjelajah itu juga menjelaskan bahwa sebagian besar candi yang mereka lihat sudah dalam keadaan luluh lantak, jauh lebih buruk daripada keadaan sebagian dari mereka saat ini yang sudah direnovasi para arkeolog Indonesia. Para penjelajah itu pun menjelaskan bahwa banyak dari batu candi yang sudah rusak itu diambil warga sekitar untuk membuat rumah, pagar halaman, atau bahkan dinding pabrik tradisional. Hal iti menjelaskan kekurangpahaman masyarakat saat itu tentang nilai budaya dan sejarah tinggi yang sebenarnya dimiliki candi-candi yang mereka lihat sudah rusak tsb. Bahkan sebenarnya, dengan jumlah candi yang masih tersisa saat ini pun, mulai dari belasan komplek candi besar seperti Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, Plaosan, Ijo, Barong, Sambisari, Sewu, ataupun candi-candi kecil yang jumlahnya puluhan seperti candi Merak, Palgading, Bubrah, Sojiwan, sampai kemarin ini saya masih dibuat bingung: Apa yang membuat dinasti Mataram Kuno begitu bersemangat dalam membangun candi? Apalagi kalau mengingat hampir semua komplek candi besar dibangun hanya dalam kurun waktu 100 tahun. Nah, sepertinya pertanyaan itu terjawab ketika saya menonton "Ancient Asia" semalam. Di sanalah saya menemukan penjelasan kenapa para raja kuno Myanmar amat bersemangat membangun candi di Bagan, termasuk rakyatnya. Mungkin ini bisa menjelaskan hal sama yang terjadi di Yogyakarta pada era Mataram Kuno. Hanya saja, ulasan tentang Bagan di program "Rediscovering Ancient Asia" tsb masih dapat dianggap perkenalan. Di program tsb tidak dijelaskan hubungan dinasti Bagan di Myanmar dgn dinasti lainnya di Asia Tenggara, termasuk Mataram Kuno pada saat kejayaannya. Kalau kita melihat prasasti Sdok Kok Thom di Kamboja dan Laguna di Manila Filipina, kita tahu bahwa pada masa kejayaan Mataram Kuno, Kamboja dan selatan Filipina termasuk daerah kekuasaan Mataram. Kronik-kronik Cina juga mencatat bahwa kerajaan Champa beberapa kali mendapat upaya pendudukan dari Mataram Kuno. Ya, bahkan saat itu pun, persaingan kekuasaan pun sudah terjadi di Asia Tenggara. Bicara etimologi, kata "rejeki" atau "rizki" di bhs. Indo itu berasal dari kata "rizqan" di bhs. Arab dengan akar kata "r-z-q" yg artinya "pemberiaan".
Kalau sudah meminta "rejeki" kepada Yang Maha Kuasa, lalu diberi tubuh yang sehat, keluarga yg rukun, atau ilmu yg bermanfaat, apa bukan rejeki namanya? Dengan akar kata r-z-q ini, orang Islam suka berdoa "Warzuqni fahman" sebelum belajar apapun yang artinya "Berikan aku pemahaman (daya tangkap)". Wajah Islam yang sering saya rindukan saat ini adalah Islam yang ramah dan merangkul semua ciri lokal (selama tidak bertentangan dengan akidah), seperti saat Islam pertama disebarkan di negeri ini. Bagi saya, para penyebar Islam pertama adalah orang-orang yang sangat menghargai keanekaragaman negeri ini.
Di bawah adalah foto masjid masyarakat yang saya ambil di Kampung Naga, sebuah kampung di Garut yang dikenal karena masih melestarikan adat istiadat Sunda, namun pada saat yang bersamaan juga beragama Islam.
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|