Dalam ranah studi agama, ada 2 teori saling bertolak belakang yang berusaha menjelaskan kemunculan agama monoteis. Teori pertama menyatakan bahwa agama monoteis pada awalnya berwujud sebagai kepercayaan animisme (ruh leluhur) dan dinamisme (kekuatan alam) yang kemudian berkembang menjadi politeisme dan berakhir sebagai agama monoteis. Yang diambil sebagai contoh biasanya adalah kasus agama Yahudi, dimana sebelum orang Yahudi hanya menyembah Yahweh seperti saat ini, Yahweh dulunya hanyalah salah satu dari beberapa dewa-dewi orang Yahudi sebelum migrasi orang Yahudi ke tanah Kanaan. Keesaan Yahweh baru dikukuhkan di tanah Kanaan melalui nabi-nabi Yahudi, seperti Yesaya, Hosea dan Ezekiel. Cerita lengkap soal ini dapat dibaca di buku "The History of God"-nya Karen Armstrong. Teori kedua, terutama yang dianut agama-agama Abrahamik, utamanya Islam, menyatakan bahwa pada awalnya kepercayaan pertama umat manusia justru bersifat monoteis, karena kepercayaan ini bersumber langsung dari Ilahi yang, dalam versi agama Abrahamik, adalah monoteis. Yang justru kemudian terjadi adalah ketika manusia berpencar ke segala penjuru Bumi, di beberapa tempat kepercayaan awal ini justru "luntur" menjadi kepercayaan-kepercayaan politeis karena "melemahnya" hubungan dengan sumber awal dan masuknya pemahaman-pemahaman manusia. Oleh karena itulah maka Tuhan mengirimkan nabi-nabiNya untuk mengingatkan lagi tentang isi pesan asli sumber awal ini dan meneguhkan lagi hubungan dengannya. Demikianlah versi Islam. Setiap orang tentunya boleh memilih teori yang diyakininya berdasarkan data-data yang ia miliki dan observasi yang sudah dilakukannya. Tapi pada kesempatan ini saya ingin membahas tentang teori kedua. Sejak masa awal SMP sampai dengan masa pertengahan kuliah, saya sendiri dapat dikatakan sebagai orang yang suka menelaah agama-agama import, seperti Kristen (dan segala denominasinya), Yahudi, Baha'i, Zoroastrianisme, agama Mesir Purba ataupun Yunani Kuno. Saya sama sekali tidak menaruh minat pada agama-agama tradisional, baik yang ada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Segalanya berubah ketika pada masa akhir kuliah saya mendapatkan buku "Dialog dengan Atheis" yang ditulis oleh Mustafa Mahmud dan buku-buku seri "Mengenal Islam" yang diterbitkan Pustaka Mizan. Di buku "Dialog dengan Atheis", Mahmud menuliskan tentang perdebatan nyata antara temannya, seorang sarjana Muslim di Perancis, dengan seorang professor Perancis yang atheis. Segala argumentasi dikeluarkan masing-masing pihak, mulai dari yang bersifat ontologis, etis, ataupun saintifik, untuk membuktikan kebenaran keyakinannya masing-masing. Sementara itu di buku-buku "Mengenal Islam", yang keseluruhan serinya terdiri dari 7 buku (seingat saya), dibahas konteks kemunculan akidah dan fikih Islam. Nah, ada hal menarik yang sebelumnya belum pernah saya ketahui sama sekali ketika kedua judul buku di atas membahas persoalan Tauhid. Sebagaimana diketahui umat Islam pada umumnya, ketauhidan Tuhan adalah hal esensial dalam Islam. Demi mengingatkan tentang ketauhidan ini, dalam versi Islam, Tuhan tidak henti-hentinya mengirimkan utusan ke segala bangsa untuk mengingatkan mereka soal ketauhidan ini dan menyadarkan tentang penyimpangan-penyimpangan yang telah berkembang terkait pemahaman soal Tuhan ataupun praktek penyembahan kepada-Nya. Ada bangsa yang menerima utusan tersebut; ada yang menentangnya; dan ada yang menerima namun kemudian keturunannya kembali menyimpang. Biasanya, kalau memberi contoh soal utusan-utusan Tuhan tersebut, kebanyakan buku Islam akan menyebutkan nabi-nabi yang diutus kepada umat agama-agama Samawi selain Islam. Tapi tidak halnya dengan kedua judul seri buku yang saya sebut di atas. Kedua buku tersebut menegaskan bahwa karena Tuhan sendiri menyebutkan bahwa utusan-utusanNya dikirim kepada segala bangsa, jejak-jejak ajaran ketauhidan yang diwartakan para utusan Tuhan tersebut seharusnya bisa ditemukan pada banyak agama lokal di berbagai tempat di dunia; tidak hanya pada agama-agama Samawi. Seri buku "Mengenal Islam" memberi contoh tentang agama yang dipeluk oleh orang-orang Arya pertama yang masuk anak benua Asia dan kental ciri monotheismenya berdasarkan hasil penelitian Max Müller, seorang begawan antropologi Asia Selatan dari Jerman. Seri buku ini juga membahas tentang sosok Latta dan Uzza, dua dari beberapa tuhan orang Arab Jahiliyyah (Pra-Islam). Mereka sebenarnya adalah dua sosok manusia soleh yang dulunya pernah hidup di tengah-tengah masyarakat Arab Kuno. Sepeninggal keduanya, masyarakat Arab Kuno membuat patung untuk mengenang jasa mereka semasa hidup. Proses totemisasi (pembuatan patung untuk mengenang perbuatan baik) ini seiring waktu kemudian berubah menjadi deifikasi (peningkatan status menjadi Tuhan). Sementara itu, buku "Dialog dengan Atheis" memberi contoh tentang keyakinan masyarakat-masyarakat di pedalaman Afrika, semisal Himba, Igbo, ataupun Oromo, yang hingga kini bersifat monoteis. Buku ini dengan lantang menentang argumentasi bahwa setiap masyarakat primitif pasti bercorak animisme-dinamisme ataupun politeisme, seperti yang dikatakan teori arus utama (mainstream). Mengetahui hal-hal di atas membuat saya tertegun dan bertanya, bagaimana dengan keyakinan-keyakinan lokal Indonesia sendiri yang sebagian diantaranya sudah hadir lama sebelum datangnya agama Hindu dan Buddha? Seperti apa konsep ketuhanannya? Apakah betul semuanya bercorak animisme-dinamisme? Nah, karena saya memiliki darah Sunda dan literatur terkait keyakinan orang Sunda pra-Islam cukup mudah ditemui kalau dicari, maka saya pun tertarik mempelajari keyakinan Sunda Kuno. Dari sudut pandang Islam, dalam agama Sunda Kuno terdapat beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai ciri-ciri keyakinan monoteis. Di agama Sunda Kuno, hanya terdapat satu Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan ini dipanggil dengan banyak nama yang, keseluruhannya, sebenarnya merupakan sifat-sifatNya, seperti "Sang Hyang Tunggal" ("Yang Maha Esa"), "Sang Hyang Jatiniskala" ("Yang Maha Gaib"), "Sang Hyang Taya/Teu Aya" ("Yang Tidak Memiliki Kehadiran di Dunia Fisik"), ataupun "Sang Hyang Kersa" ("Yang Maha Memiliki Keinginan"). Sifat-sifat di atas dengan cepat mengingatkan saya pada sifat-sifat Tuhan yang jumlahnya ada 99 dalam agama Islam dan disebut "Asma'ul Husna". Mengenai Tuhan Yang Maha Esa ini dikatakan jelas di naskah Sunda Kuno bernama Siksa Kanda ng Karesian: "..Hanteu nu ngayuga aing Hanteu nu manggawe aing Aing ngangaranan maneh Sang Hyang Raga Dewata" "Tidak ada yang menjadikan Aku Tidak ada yang menciptakan Aku Aku menamai diriKu sendiri Sang Hyang Raga Dewata" Di bawah Tuhan ini, terdapat 7 figur yang juga gaib dan tidak pernah ditemui penggambarannya dalam kebudayaan Sunda. Ketujuh figur tersebut disebut "Tujuh Guriang" dan terdiri dari: 1. Sang Hyang Ijunajati 2. Sang Hyang Tunggal Premana 3. Sang Hyang Aci Larang 4. Sang Hyang Aci Kumara 5. Sang Hyang Aci Wisesa 6. Sang Hyang Manon 7. Bhatara Lengga Buana Karena penyebutan tujuh figur ini hanya ditemui pada naskah-naskah Sunda Kuno dan sudah sedikit sekali orang Sunda Modern yang mempraktekkan agama asli Sunda, tidak diketahui secara pasti peranan yang dipegang tiap figur di atas dalam agama Sunda masa itu. Bisa jadi tiap figur tersebut adalah manifestasi Tuhan, sebagaimana yang dikemukakan Prof. Agus Aris Munandar. Tapi mungkin juga bahwa ketujuh tokoh tersebut adalah pesuruh-pesuruh langsung Tuhan yang dikenal sebagai "malaikat" dalam konsepsi Islam. Ketika agama Hindu masuk ke tanah Jawa, masyarakat Sunda hanya menyerap sedikit sekali agama Hindu ke dalam kepercayaan masyarakatnya, tidak seperti masyarakat Jawa yang kepercayaan aslinya akhirnya tergantikan. Dari seluruh aspek agama Hindu, yang diserap ke dalam kepercayaan Sunda Kuno hanyalah para dewanya ("Bhatara Syiwa", dll), yang kedudukan keseluruhannya ditempatkan di bawah Tujuh Guriang asli Sunda Kuno. Siksa Kanda ng Karesian menyatakan hal tsb sebagai berikut: "..mangkubumi bhakti di ratu, ratu bhakti di dewata, dewata bhakti di hyang.." ("mangkubumi tunduk ke raja, raja tunduk ke dewata, dan dewata tunduk ke Tuhan"). Ritual ibadah ala Hindu sendiri tidak diserap ke dalam keyakinan masyarakat Sunda dan penyembahan terhadap figur dewa-dewi Hindu tidak dilakukan meluas, jika dibandingkan dengan penyembahan langsung kepada Hyang (Tuhan). Inilah sebabnya hanya ada segelintir candi di tanah Sunda. Dikarenakan kegaibannya, Tuhan maupun ketujuh guriangNya tidak dapat ditemui penggambarannya dalam agama Sunda Kuno. Mereka biasanya hanya direpresentasikan dalam bentuk menhir (batu tinggi menyerupai monumen) yang ditancapkan di teras tertinggi tempat ibadah Sunda Kuno. Menhir itu sendiri dibiarkan berbentuk batu tanpa adanya pahatan lebih lanjut sehingga menyerupai manusia (antropomorfik). Untuk sarana ibadahnya, orang Sunda Kuno memiliki tempat ibadah berbentuk teras-teras berundak yang semakin tinggi ke belakang. Bentuk ini mewarisi tempat ibadah punden berundak yang dikenal luas pada masyarakat pra-sejarah Nusantara. Di teras tertinggilah biasanya menhir diletakkan. Bila melihat pada kasus masyarakat Baduy di pedalaman Lebak, hanya pemuka agama saja yang diperkenankan memimpin doa ataupun upacara di teras tertinggi ini dengan duduk bersila menghadap menhir. Masyarakat umum duduk bersila di belakang pemuka agama di teras yang lebih rendah. Beberapa tempat ibadah Sunda Kuno bisa berukuran kecil namun beberapa juga berukuran raksasa, seperti yang dapat ditemui di Gunung Padang, Cianjur, dimana keseluruhan bukit dibentuk menjadi teras-teras di semua sisinya sampai ke atas dengan diberi dinding penahan tanah dari batu alam dan dijadikan sarana ibadah. Prof. Agus Aris Munandar mengatakan bahwa salah satu kemungkinan besar penyebab sukses diterimanya agama Islam di masyarakat Sunda, dibandingkan keyakinan sebelumnya yang mampir di tanah Jawa, adalah karena sifat monoteis Islam yang secara kebetulan sama dengan yang ada di keyakinan Sunda Kuno dan kemudahan masyarakat Sunda Kuno untuk mengidentifikasikan ajaran monoteisme Islam dengan yang sudah ada di agamanya. Kehadiran Islam di tanah Sunda sendiri tidak disangsikan membawa pengaruh pada agama Sunda yang saat ini masih dipraktekkan di beberapa kantong masyarakat Sunda tradisional (sering disebut budayawan sebagai agama Sunda Wiwitan), seperti Baduy. Dari kunjungan saya ke kampung-kampung Baduy dan perbincangan dengan mereka ketika mereka mengunjungi rumah saya di Jakarta beberapa kali, saya mengetahui bahwa di masyarakat Baduy, figur Tuhan tertinggi sendiri saat ini "sudah" bernama "Allah". Nabi Muhammad diakui sebagai utusan Tuhan kepada semua masyarakat, termasuk Baduy. Meski demikian, teman-teman Baduy saya mengatakan bahwa syariat yang dibawa kepada mereka berbeda dengan yang dibawa ke masyarakat lainnya. Ibadah mereka tidak seperti salatnya umat Islam dan puasa mereka tidak di bulan Ramadan. Sebenarnya, ritual-ritual ibadah yang mereka katakan berbeda itu tak lain adalah ritual-ritual ibadah asli agama Sunda, yang masih mereka lakukan karena Islam tidak terserap seluruhnya di Baduy. Banyak diantara mereka sendiri yang menyebut agama mereka Islam Wiwitan. Mengenai agama Sunda Kuno sendiri, masih banyak hal yang belum bisa diungkap terkait sistem kepercayaannya secara lengkap karena selain minimnya jumlah naskah Sunda Kuno, jumlah peneliti naskah, juga karena gaya bahasa naskah-naskah tersebut yang banyak mengandung ungkapan dan tidak lugas. Hal-hal itu yang selama ini disebut sebagai kendala oleh para ahli budaya Sunda. Saya berharap, bila ada lebih banyak anak muda Sunda yang tertarik mempelajari kebudayaannya dan menjadi peneliti serta lebih banyak dilakukannya perbandingan terhadap sistem kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini, semoga segala misteri yang masih melingkupi kepercayaan Sunda Kuno bisa terungkap.
1 Comment
Shabrina
16/5/2019 04:54:09 pm
Boleh tahu dari mana keyakinan sunda kuno ini ?
Reply
Leave a Reply. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|