Beberapa waktu yang lalu, tak lama setelah saya membuat postingan tentang arkeologi Hindu Buddha di Nusantara, ada seorang kawan bertanya, "Kenapa era Hindu Buddha di Nusantara hanya meninggalkan candi? Kemana sisa keraton dan permukimannya?". Mengingat ini adalah hal yang sering ditanyakan orang awam, saya ingin berbagi jawabannya disini.
Pertama, perlu dikoreksi kesalahpahaman yang terlanjur meluas di publik bahwa era Hindu Buddha hanya meninggalkan candi yang umumnya dipahami sebagai bangunan untuk peribadatan. Pada kenyataannya, era Hindu Buddha di Nusantara juga meninggalkan bangunan-bangunan lain, seperti petirtaan (pemandian raja/bangsawan, contoh: Jalatunda, Belahan, Tikus), sisa dinding keliling komplek pemukiman (contoh: Ratu Boko, Lumajang, Liyangan), gapura (contoh: Wringin Lawang, Bajang Ratu), dan bangunan asrama bhiksu (contoh: Plaosan, Sari). Karena ketidakpahaman orang awam, semua bangunan di atas disebut sebagai candi. Contoh: gapura Wringin Lawang dan Bajang Ratu disebut candi Wringin Lawang dan Bajang Ratu. Petirtaan Tikus disebut candi Tikus. Kedua, pada era Hindu Buddha di Nusantara, hanya bangunan-bangunan di atas sajalah, yang sebagian besar terkait proses peribadatan, yang menggunakan material batu atau bata seperti material asli bangunan-bangunan tersebut di negeri asalnya, India. Bentuk bangunannya pun masih didasarkan pada bentuk di negeri asalnya, meskipun kemudian nenek moyang kita segera mengembangkan gaya-gaya bangunannya sendiri. Bangunan-bangunan lain yang sifatnya profan, seperti rumah, bangunan keraton, ataupun pasar, menggunakan material-material organik dan bentuk arsitektur lokal yang sama seperti sebelum agama Hindu Buddha masuk ke Nusantara. Bentuk-bentuk beberapa bangunan profan pada zaman itu masih bisa kita lihat penggambarannya di relief berbagai candi. Melalui relief-relief candi kita juga mengetahui konsep penataan pemukiman pada saat itu, dimana rumah-rumah rakyat jelata berdiri sendiri-sendiri, sementara hunian bangsawan berupa gugusan beberapa bangunan yang ada di dalam sebuah tembok keliling dan disebut "pakuwuan". Pakuwuan ini tertata menurut sistem grid. Karena bangunan-bangunan profan terbuat dari material organik yang hancur dimakan waktu, maka sisa-sisa bangunan tersebut tidak bisa kita jumpai lagi saat ini. Yang masih bisa kita temui hanyalah umpak atau batur (platform) untuk meninggikan bangunan, potongan-potongan genting atap bangunan, tembok keliling, gapura masuk, ataupun sisa-sisa lapisan perkerasan di area komplek bangunan tersebut. Dari semua bangunan profan itu, kita masih bisa membayangkan wujud keraton Majapahit, kerajaan Hindu Buddha terakhir di tanah Jawa, berkat catatan perjalanan Ma Huan, seorang musafir Cina Muslim yang berkunjung ke ibukota Majapahit pada saat itu. Catatannya mengungkapkan: "Ibukota Majapahit terletak di pedalaman Jawa. Istana raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang, pada salah satu sisinya terdapat “pintu gerbang yang berat” (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap). Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan ke mana pun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu." Sayangnya, menurut saya selama ini perhatian pemerintah terlalu terfokus pada upaya pencarian dan pemugaran bangunan-bangunan dari era Hindu Buddha yang berupa candi. Barangkali karena hasil pemugaran candi bisa langsung dilihat dan dinikmati masyarakat. Padahal bangunan-bangunan non-candi, terutama sisa-sisa pemukiman, juga layak dieksplorasi dan dipelajari karena justru akan mengungkap banyak hal tentang kehidupan sosial di masa itu. Dari semua kerjaan Hindu Buddha besar yang pernah ada di Nusantara dan menjadi kekuatan regional, baru Majapahit sajalah yang sebagian besar ahli cukup yakin untuk menunjuk lokasi sisa keratonnya (Trowulan, Jawa Timur). Sisa-sisa keraton kerajaan lain masih tersimpan di dalam Bumi dan menunggu untuk kita temukan. Sumber foto: Internet
0 Comments
Leave a Reply. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|