ARIEF ONLINE
  • Home
  • Curriculum Vitae
  • Thoughts
  • Photographs
  • Poems
  • Languages Learning
    • Indonesian Phrases
    • Persian Phrases
    • French Phrases
    • German Phrases
    • Dutch Phrases
    • Learning Materials
  • Contact

Memahami Kebenaran

8/3/2013

0 Comments

 
A. Pencarian Kebenaran
            SMP adalah masa saya pertama kali melakukan studi terhadap keyakinan-keyakinan di luar keyakinan yang dianut orang tua saya. Studi tersebut saya mulai dari Kristen dan berbagai denominasinya, Yahudi, Zoroastrianisme, Buddhisme, Hindu, hingga Atheisme. Tiga hal yang saya sebut terakhir ini belakangan menjadi objek telaah saya kembali.
            Saya sendiri dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang dipimpin oleh seorang figur ayah yang sangat mengunggulkan rasionalitas, membenci segala hal yang bersifat takhayul, dan mempunyai buku-buku seperti “Para Pencari Tuhan” dan “Manunggaling Kawula Gusti” di rak-rak bukunya. Beberapa buku ini sudah menjadi bahan bacaan saya, bahkan ketika saya masih belia sekali.
            Ketika menelaah keyakinan-keyakinan tersebut, menjadi hal yang menarik bagi saya ketika saya melihat beberapa keyakinan mengklaim dirinya sebagai yang paling tahu tentang kebenaran. Saya juga melihat begitu banyak konflik di dunia manusia yang terjadi atas nama pembelaan terhadap kebenaran. Akhirnya saya pun mempertanyakan beberapa hal yang paling mendasar: Sebetulnya apakah kebenaran itu? Apakah kebenaran itu memang ada? Dapatkah kita, manusia, menemukan kebenaran?
            Di dalam artikel yang singkat ini saya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Meskipun penjelasan-penjelasan yang diberikan di artikel ini terbilang singkat, namun dapat saya katakan bahwa proses pencarian jawaban dan pemahaman yang saya lakukan sama sekali tidak singkat.
 
B. Pengertian Benar dan Kebenaran
            Untuk setiap pertanyaan yang saya miliki dalam hidup saya, saya selalu berusaha mencari jawabannya seorang diri dulu dengan mengandalkan kemampuan berpikir saya tanpa langsung mencari jawaban kepada orang lain. Begitu juga untuk pertanyaan pertama saya: Apa itu kebenaran?
            Melalui proses pencarian, saya menemukan bahwa kebenaran adalah keadaan yang sesungguhnya (realitas). Sesuatu dikatakan benar bila ia sesuai dengan realitas. Barulah akhir-akhir ini saya melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. Disana ditulis bahwa kebenaran adalah hal yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Melihat hasil pencarian saya sama dengan definisi yang diajukan oleh para ahli bahasa dan filsafat bahasa Indonesia, saya merasa puas.
            Karena kebenaran terkait erat dengan realitas, dapat dikatakan bahwa kebenaran terkait erat dengan keadaan yang sesungguhnya dari suatu benda (identitas). Dari situ, saya melihat sebagai suatu kesalah kaprahan di tengah-tengah masyarakat ketika kata “benar” dikaitkan dengan suatu perbuatan. Contoh: “Mencuri itu tidak benar” atau “Menabung itu benar”.
            Kalau kita kembali kepada definisi kata “benar”, maka dapat kita lihat bahwa pernyataan-pernyataan di atas sebenarnya absurd. Karena ketika kata “benar” di kalimat-kalimat tersebut kita gantikan dengan makna katanya, kalimat-kalimat di atas menjadi “Mencuri itu tidak sesuai dengan realitas” dan “Menabung itu sesuai dengan realitas”. Dapat kita lihat keabsurdan yang timbul.
            Menurut saya, kata yang seharusnya digunakan di kalimat-kalimat di atas bukanlah benar melainkan betul atau dibenarkan. Saya melihat bahwa sementara “benar” (Bahasa Inggris: true) terkait dengan identitas sesungguhnya dari suatu benda, “betul” (Bahasa Inggris: correct) atau “dibenarkan” (Bahasa Inggris: allowed) terkait dengan kesesuaian suatu hal dengan tata nilai tertentu.
            Kalimat-kalimat di atas menjadi lebih logis ketika kita rubah menjadi “Mencuri itu tidak betul/tidak dibenarkan” atau “Menabung itu betul/dibenarkan”. Karena “betul” dan “dibenarkan” terkait dengan tata nilai tertentu, maka saya memandang bahwa penggunaan kedua kata ini sebaiknya diikuti oleh kata “menurut ..”. Contoh: “Mencuri itu tidak betul menurut syariat Islam” atau “Menabung itu betul untuk mencapai kekayaan”.
            Saya melihat bahwa banyak perdebatan terkait nilai moral suatu perbuatan menjadi sia-sia karena tidak disebutkan tata nilai yang menjadi rujukan. Contoh: perdebatan tentang free sex, aborsi, peperangan, dan lain-lain. Bila sejak awal perdebatan tata nilai yang berbeda sudah digunakan, maka perdebatan tidak perlu dilanjutkan. Karena debat tersebut hanya akan menjadi debat kusir, dimana masing-masing pihak akan menggunakan tata nilainya sendiri-sendiri.
            Sebaliknya, perdebatan akan lebih terarah jika sejak awal disepakati tata nilai yang menjadi acuan bersama. Dalam hal ini, perdebatan kemudian akan berkisar pada pertanyaan, apakah hal yang diperdebatkan dibenarkan oleh tata nilai tersebut. Contoh: Perdebatan “Apakah aborsi itu betul menurut asas kesehatan?”
 
C. Apakah Kebenaran Itu Ada?
            Mengingat bahwa pasti terdapat sebuah kenyataan untuk setiap benda yang ada di alam semesta ini, maka dapat saya katakan bahwa pasti terdapat sebuah kebenaran terkait setiap benda.
            Sebagai contoh, terkait proses terciptanya manusia, hingga kini para ahli Biologi masih memperdebatkan beberapa mekanisme yang mungkin telah terjadi, yakni:
            a. Manusia tercipta melalui proses evolusi tanpa campur tangan Tuhan
            (dikenal sebagai Evolusi).
            b. Manusia diciptakan langsung oleh Tuhan tanpa melalui proses evolusi
            (dikenal sebaga Penciptaan).
            c. Manusia tercipta melalui sebuah proses evolusi yang dibimbing oleh Tuhan   (dikenal sebagai Evolusi Terbimbing).
            Daftar kemungkinan di atas mungkin akan bertambah seiring dengan penemuan-penemuan di lapangan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan ini akan mendorong para ahli untuk mencetuskan ide-ide baru terkait proses terciptanya manusia. Tapi terlepas dari banyaknya daftar kemungkinan yang nanti bisa muncul, tentunya dulu kita pernah menempuh suatu mekanisme tertentu sehingga bisa hadir di permukaan Bumi. Inilah yang saya maksud dengan pasti adanya suatu realitas terkait berbagai hal yang ada di alam semesta ini. Realitas ini adalah wujud dari kebenaran yang kita cari.
 
D. Hal-hal Yang Dapat Membatasi Pengetahuan Manusia Tentang Kebenaran
            Setiap manusia sejatinya selalu ingin tahu tentang kebenaran terkait berbagai hal, baik itu hal-hal kecil di dalam kehidupannya sehari-hari ataupun hal-hal besar terkait eksistensi dirinya. Tapi saya melihat bahwa terdapat kemungkinan bahwa manusia tidak bisa tahu kebenaran yang sesungguhnya, tidak lain karena manusia dibatasi kapasitas dirinya sebagai sebuah makhluk fisik. Bagaimana fisik manusia bisa menghalangi dirinya sendiri untuk mencapai pengetahuan yang sempurna tentang kebenaran? Ikuti penjelasan di bawah.
           
1.Keterbatasan Tempat dan Waktu Manusia
            Seseorang hanya dapat berada di satu tempat pada suatu waktu. Oleh karena itu, bila seseorang berada di tempat A ketika sebuah kejadian terjadi di tempat B, maka orang tersebut tidak dapat memiliki pengetahuan yang sempurna tentang hal yang sudah terjadi di tempat B. Hanya orang yang ada di tempat B sajalah yang mengetahui secara sempurna tentang apa yang sudah terjadi.
            Bila orang di tempat A ingin tahu tentang hal yang sudah terjadi di tempat B, maka upaya-upaya yang bisa dilakukannya antara lain adalah mengumpulkan informasi dari berbagai saksi mata, mengumpulkan bukti-bukti fisik, dan membuat kesimpulan. Tapi seringkali pula terjadi, dimana terdapat informasi-informasi palsu ataupun kekurangan bukti fisik, sehingga kesimpulan yang kuat sulit ditarik. Bila ini yang terjadi, pihak yang memiliki pengetahuan paling sempurna tentang apa yang sudah terjadi tetaplah orang yang ada di tempat B ketika kejadian tersebut terjadi.
            Dari penjelasan sederhana di atas, saya berharap para pembaca bisa memahami sebab terjadinya berbagai perdebatan sengit di bidang Ilmu Pengetahuan, seperti: Apa yang hadir di Alam Semesta ini sebelum Big Bang terjadi? Bagaimanakah manusia pertama tercipta? Apa yang akan terjadi setelah Alam Semesta berakhir? Tidak ada satu pun manusia yang hadir pada kejadian-kejadian tersebut sehingga dapat menjelaskan kepada kita apa yang sesungguhnya terjadi!
            Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, manusia hanya dapat mencoba mengumpulkan bukti-bukti. Seringkali kemudian muncul berbagai pendapat yang berbeda tentang apa yang sesungguhnya terjadi, karena setiap pendapat didasarkan pada bukti-bukti yang berbeda dan lalu menuntun pada kesimpulan yang berbeda pula. Setiap ditemukan bukti baru, dapat terjadi koreksi terhadap pendapat-pendapat sebelumnya ataupun munculnya pendapat baru. Inilah dilema yang sesungguhnya terdapat di bidang Ilmu Pengetahuan –sebuah upaya makhluk fana bernama manusia untuk mencari kebenaran tentang alam semesta.
 
2. Keterbatasan Panca Indera Manusia
            Pengetahuan manusia akan alam yang ada di sekitarnya dibatasi oleh jumlah dan kemampuan panca indera yang dimiliki manusia. Bisa jadi ada hal-hal di alam semesta ini yang keberadaannya tidak dapat dideteksi oleh penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, ataupun sentuhan manusia. Karena indera manusia tidak dapat menjangkau hal-hal ini, bukan dengan sendirinya hal-hal ini tidak ada.
            Memang selama ini manusia sudah berupaya meningkatkan kemampuan panca inderanya dengan menciptakan berbagai macam alat. Sebagai contoh, untuk meningkatkan kemampuannya dalam melihat benda-benda yang kecil ataupun jauh, manusia telah menciptakan mikroskop, teropong, dan teleskop. Juga untuk meningkatkan kepekaannya dalam merasakan sesuatu, manusia telah menciptakan sensor gerak. Tapi perlu diingat bahwa hingga saat ini manusia belum pernah menciptakan sebuah indera baru di luar panca indera yang sudah ada untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mengetahui dunia di luar dirinya.
            Sebagai contoh, indera pengecap manusia hanya dapat mengenali 4 rasa: manis, asin, asam, dan pahit. Bila saja sebuah makanan mengandung rasa diluar rasa yang dapat dikenali lidah, maka keberadaan rasa ini dengan sendirinya tidak dapat diketahui manusia. Saya seringkali berangan-angan, jika saja manusia memiliki lebih banyak indera, maka bisa jadi dunia yang dilihat manusia jauh lebih ”berwarna”.
            Di dalam Al-Qur’an orang-orang Islam dikatakan bahwa untuk orang-orang yang berbuat kebajikan semasa hidupnya, maka Allah menyediakan bagi mereka surga yang penuh kenikmatan seteleh mereka meninggal. Surga ini bentuknya tidak dapat dibayangkan dan tidak pernah tersirat di hati manusia manapun yang masih hidup. Saya berfikir bahwa mungkin saja Tuhan menambah jumlah indera manusia ketika berada di surga nanti. Dengan demikian, secara otomatis bentuk utuh surga tidak dapat dipersepsi oleh manusia yang masih hidup. Meski demikian, ini hanya spekulasi saya saja.
 
3. Keterbatasan Daya Pikir dan Khayal Manusia
            Saya memandang bahwa daya pikir manusia dibatasi oleh volume otak yang ada di dalam kepalanya. Volume otak ini kemudian menjadi penentu kapasitas manusia untuk memahami alam di luar dirinya.  
            Untuk memahami hal ini lebih baik, saya menjadikan seekor semut sebagai contoh. Semut adalah makhluk hidup yang berukuran sangat kecil, termasuk ukuran syaraf-syaraf berpikirnya (semut tidak memiliki otak dengan kompleksitas seperti milik manusia). Ukuran syaraf-syaraf berpikir ini mempengaruhi kemampuan semut untuk mengenal dunia di luar dirinya. Walau semut menghadapi dunia fisik yang persis sama seperti manusia, tapi hanya manusia sajalah yang bisa mengetahui keberadaan hukum-hukum Fisika di Alam Semesta ini, mengetahui bahwa benda-benda terdiri dari berbagai atom, dan lain sebagainya. Dunia luar yang diketahui semut hanya sebatas pada apa yang syaraf-syaraf berpikir seekor semut mampu tangkap dan proses.
            Saya melihat hal yang sama juga berlaku pada manusia. Meskipun manusia seringkali merasa memiliki kemampuan berpikir yang begitu hebat, saya tetap yakin bahwa kemampuan berpikir ini memiliki batasan terkait volume otak yang dimiliki manusia. Bila saja ada makhluk hidup lain yang ukuran otaknya berada di atas milik manusia, saya menduga bahwa makhluk tersebut mampu lebih banyak memahami dan menjelaskan fenomena yang terjadi di alam semesta.
 
            Sejauh ini, keterbatasan tempat dan waktu, panca indera, daya pikir dan khayal manusia adalah apa yang sudah terpikirkan oleh saya dapat mengurangi kemampuan manusia untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Para pembaca dapat saja menemukan hal-hal lain yang juga dapat membatasi kemampuan manusia untuk mengetahui kebenaran.
            Melihat berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh manusia terkait wujudnya sebagai sebuah tubuh fisik, maka saya berpendapat bahwa bila kita mengharapkan adanya sebuah sosok yang bisa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, maka sosok tersebut haruslah terlepas dari ikatan tempat, waktu, panca indera, dan juga kemampuan berpikir. Berbagai tradisi masyarakat dunia sudah mengenal sosok ini sebagai Tuhan.
 
E. Perlukah Mempertahankan Apa yang Kita Yakini Benar?
            Setelah mengetahui adanya kemungkinan bahwa manusia tidak dapat betul-betul mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, maka kini apakah masih perlu bagi kita untuk mempertahankan apa yang kita yakini benar? Menurut saya, ya.
            Walaupun manusia mungkin tidak bisa betul-betul tahu kebenaran yang sesungguhnya terkait suatu hal, tapi itu tidak berarti bahwa manusia sama sekali tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang hal tersebut. Manusia tetap dapat memiliki pengetahuan tentang suatu hal sejauh yang dimungkinkan oleh panca inderanya, keterikatan manusia pada ruang dan waktu, dan juga kemampuan berpikirnya.        Manusia tetap boleh berdebat satu sama lain dalam hal-hal yang sama-sama masih dapat mereka fahami sebagai manusia. Yang tidak boleh kita lakukan adalah menyatakan bahwa kita mengetahui seluruhnya terkait suatu hal. Atau dengan kata lain, bahwa kita tahu wujud yang sebenarnya dari suatu hal. Seperti yang telah dijelaskan di bagian C, pengetahuan sempurna terkait suatu hal mungkin tidak akan pernah dimiliki oleh manusia yang merupakan tubuh fisik. Pengetahuan manusia kemungkinan selalu hanya sebagian saja.
            Selain hal-hal di atas, perlu saya nyatakan juga bahwa meskipun kita mungkin tidak akan pernah tahu yang sesungguhnya terkait suatu hal, tapi kita dapat memilih untuk menjadi orang yang berada lebih dekat dengan kebenaran atau menjadi orang yang sama sekali tidak tahu kebenaran terkait suatu hal. Yang terakhir ini dapat terjadi bila kita tidak pernah mencoba mencari tahu ataupun belajar tentang hal yang dimaksud.
            Sebagai contoh, walaupun tidak mungkin menyebutkan secara pasti kapan sebuah gunung akan meletus, tapi seorang Vulkanolog memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang perilaku gunung berapi dibanding orang awam. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa seorang Vulkanolog mengetahui lebih banyak hal yang benar tentang gunung berapi dibandingkan orang awam. Ini dimungkinkan karena seorang Vulkanolog senantiasa melakukan studi tentang gunung berapi dibandingkan orang awam.
            Hal di atas juga terjadi pada bidang lainnya di dunia nyata. Yakni akan selalu ada beberapa orang yang berdiri lebih dekat dengan kebenaran dibandingkan orang-orang lainnya, karena beberapa orang memang lebih rajin dalam mengumpulkan dan mengkaji fakta dengan pikiran yang terbuka dibandingkan orang-orang lainnya.
            Tentu saja pada akhirnya hanya Tuhan yang bisa menunjuk secara jelas, siapa yang berdiri lebih dekat kepada kebenaran diantara kita terkait suatu hal. Tapi bagi saya, yang penting adalah adanya semangat untuk mencari kebenaran terkait apa saja dengan pikiran yang terbuka.
            Kita tidak boleh berhenti bertanya, mencari tahu, saling berdebat, dan saling belajar dari satu sama lain. Bukti-bukti yang telah dikumpulkan orang lain untuk membangun pendapatnya seharusnya dapat kita kaji pula sehingga kita bisa membangun gambaran yang lebih utuh tentang suatu hal.          Dalam hal ini, pertanyaan ”Dapatkah kita menemukan kebenaran?” tidak lagi menjadi penting. Yang penting adalah”Maukah kita mengetahui kebenaran?” ataupun ”Maukah kita mengkaji segala sesuatunya secara objektif?”.
            Saya menghargai apa yang tertulis di kitab Bhagavad Gita milik teman-teman Hindu:
            Ye yatha mam prapadyante tams tathaiva bhajamy aham, mama vartmanuvartante manusyah partha sarvasah.
 
            ”Jalan manapun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya         anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan wahai         putera Partha (Arjuna).” (Bhagavad Gita 4:11).           
0 Comments



Leave a Reply.

    TOPICS

    All
    Anthropology
    Archaeology
    Architecture
    Astronomy & Cosmology
    Biology
    Book Recommendation
    Business & Property
    Economy
    Education
    Film Recommendation
    General Science
    Geography
    Geology
    Geopolitics
    History
    Life
    Linguistics
    Others
    Philosophy
    Photography
    Place Recommendation
    Poem
    Politics
    Psychology
    Quantum Physics
    Religion
    Sociology

    RSS Feed

    MONTHS

    December 2019
    November 2019
    October 2019
    June 2019
    May 2019
    March 2019
    February 2019
    November 2018
    October 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014
    May 2014
    April 2014
    March 2014
    February 2014
    January 2014
    December 2013
    November 2013
    September 2013
    August 2013
    June 2013
    May 2013
    April 2013
    March 2013
    February 2013
    January 2013
    December 2012
    November 2012
    October 2012
    September 2012
    August 2012
    July 2012
    June 2012
    May 2012
    March 2012
    February 2012
    November 2011
    December 2009
    November 2009
    January 2009
    May 2008
    March 2008
    January 2008
    December 2007

  • Home
  • Curriculum Vitae
  • Thoughts
  • Photographs
  • Poems
  • Languages Learning
    • Indonesian Phrases
    • Persian Phrases
    • French Phrases
    • German Phrases
    • Dutch Phrases
    • Learning Materials
  • Contact