Sejak saya sering membaca buku-buku geopolitik, saya semakin paham bahwa rona sejarah, karakter dan masa depan suatu bangsa banyak ditentukan oleh aspek geografisnya. Buku-buku geopolitik seperti "The Revenge of Geography" dan "The World in 100 Years" membahas bagaimana kekuatan-kekuatan besar dan konflik-konflik di dunia selama ini dan ke depannya selalu muncul dari konteks-konteks geografis. Bila kita ingin membahas masa depan Indonesia, menurut saya kita harus melihat posisi Indonesia dalam peta jalur perkapalan internasional seperti yang saya lampirkan disini. Kita bisa melihat bahwa Indonesia adalah titik penghubung antara negara-negara Asia Timur dan kawasan Timur Tengah serta Eropa dalam jalur kapal kargo (barang-barang perdagangan) dan tanker minyak internasional. Untuk mengirimkan barang-barang hasil produksinya ke Timur Tengah, kapal-kapal kargo negara-negara Asia Timur harus melewati Indonesia. Begitu juga untuk mengirimkan supplai minyak bumi untuk menjalankan roda perindustrian di Tiongkok, Jepang dan Korea, Timur Tengah harus mengirimkan kapal-kapal tankernya melewati Indonesia. Untuk proses pengiriman barang-barang antara Asia Timur dan Eropa, jalur terpendeknya pun adalah melalui Indonesia dan terusan Suez. Sebenarnya ada pilihan jalur-jalur lain, seperti (1) Ke arah timur melewati terusan Panama, (2) Laut pesisir utara Russia (disebut "Northern Sea Route"), dan (3) Rel kereta api trans Siberia. Meski demikian, hingga saat ini jalur-jalur alternatif tersebut terlalu jauh (untuk no.1), seringkali dihadang gleiser dan memerlukan iringan kapal pemecah es sehingga mengurangi waktu perjalanan (no. 2), ataupun tidak terhubung dari ujung ke ujung (no. 3). Dengan demikian, kita bisa bayangkan, apa yang akan terjadi bila akses kapal-kapal melalui Indonesia ditutup: (1) Roda perindustrian di Jepang dan Korea akan terhenti sementara roda perindustrian di Tiongkok akan terhambat (Tiongkok juga mengandalkan batu bara domestik), karena kapal-kapal minyak dari Timur Tengah tidak bisa datang. Atau minimal, biaya industri di negara-negara Asia Timur akan melonjak karena kapal-kapal tanker dari Timur Tengah harus menempuh jalur lebih jauh menuju Asia Timur, yaitu mengitari pesisir selatan Afrika atau melewati terusan Suez lalu terusan Panama. (2) Produk-produk Asia Timur akan memiliki harga terlalu mahal untuk dijual di pasar Eropa, apalagi Timur Tengah. Karena selain harga minyak yang datang dari Timur Tengah untuk memproduksi barang-barang tersebut sudah mahal, jarak yang harus ditempuh kapal-kapal kargo dari Asia Timur juga lebih jauh. Mereka harus menuju benua Amerika dan melewati terusan Panama. (3) Produk-produk Eropa akan memiliki harga yang lebih mahal daripada sebelumnya untuk dijual di Asia Timur (karena harus melewati terusan Panama), meskipun harganya akan tetap sama di pasar Timur Tengah dan India. Melihat potensi masalah-masalah di atas, sudah seharusnya kita paham bahwa berbagai negara di dunia selalu mengawasi dan memiliki kepentingan pada negara-negara yang ada di Semenanjung Malaka, termasuk Indonesia. Sebagai konsekuensinya, lebih lanjut, kita harus menyadari hal-hal berikut ini: (1) Negara-negara pemilik kepentingan akan selalu mengharapkan supaya di Semenanjung Malaka tidak tercipta satu negara tunggal. Bahwasanya Semenanjung Malaka berada di bawah Indonesia, Malaysia dan Singapura, seperti saat ini, lebih mereka sukai. (2) Sebagai negara terbesar dari 3 negara yang menguasai Semenanjung Malaka, negara-negara pemilik kepentingan tidak akan menyukai bila Indonesia memiliki kekuatan maritim yang terlalu kuat, karena ini dapat menjadi ancaman bagi perdagangan mereka bila di kemudian hari mereka memiliki konflik dengan Indonesia. Untuk mencegah Indonesia menjadi kekuatan maritim, menurut dugaan saya, negara-negara pemilik kepentingan akan selalu berusaha membuat keadaan politik di Indonesia berada di antara stabil dan kacau. Sebagaimana stabilnya Indonesia berbahaya bagi negara-negara tersebut, kacaunya Indonesia juga akan berbahaya. Bila pemerintahan Indonesia kolaps, dapat tumbuh perompak-perompak di Semenanjung Malaka yang akan membuat kondisi disana tidak kondusif. (3) Karena jalur diantara terusan Suez dan Semenanjung Malaka adalah jalur kritis bagi perdagangan Eropa-Timur Tengah-Asia Timur, maka bila Indonesia mau membangun kekuatan maritimnya, poros maritim ini harus berdiri di atas suatu aliansi dengan negara-negara besar yang ada di pesisir laut antara terusan Suez dan Semenanjung Malaka. Kemunculan perompak-perompak laut Somalia dapat menjadi ancaman bagi keterpilihan jalur perdagangan ini di antara jalur-jalur lainnya. Ingat bagaimana dulu Jalur Sutera akhirnya ditinggalkan karena munculnya banyak perompak di jalur tersebut? Mereka yang mempelajari sejarah Indonesia sejak dahulu kala paham bahwa adalah amat berbahaya bila Indonesia menjadi suatu kekuatan maritim raksasa. Dulu, kerajaan Sriwijaya yang menguasai kedua sisi Semenanjung Malaka dan kerajaan Mataram Kuno pernah bersatu di bawah pemerintahan suatu dinasti yang sama, yaitu Syailendra. Ketika dua kerajaan ini bersatu, wilayah kekuasaannya meliputi Kamboja di barat dan selatan Filipina di timur. Berdasarkan prasasti Sdok Kok Thom, dikatakan bahwa kota kuno Angkor didirikan untuk merayakan pembebasan dari kekuasaan "Jawa", sementara prasasti Laguna di Manila Bay mengatakan bahwa penguasa setempat wajib membayar upeti tahunan kepada raja "Jawa". Di saat yang sama, kronik-kronik Cina juga mencatat bahwa selama itu pesisir selatan Cina selalu mendapat serbuan dari "Jawa" yang tampaknya berusaha meluaskan pengaruhnya. Mendaratnya orang-orang Indonesia di Madagaskar dan menjadi nenek moyang orang Madagaskar saat ini juga terjadi pada periode waktu yang sama. Apakah Indonesia akan menjadi kekuatan maritim lagi? Ini semua kembali kepada rakyat dan pemerintah Indonesia itu sendiri.
0 Comments
Leave a Reply. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|