A. Apa Tujuan Hidup? Seingat saya, SMP adalah saat saya mulai merenungkan dan bertanya tentang tujuan hidup manusia terlepas dari apa yang telah dikatakan agama saya. Memang periode SMP itulah saat saya mulai mencari jawaban saya sendiri atas berbagai pertanyaan, karena saya ingin melihat berbagai hal secara obyektif terlepas dari latar belakang suku, agama, ataupun tingkatan ekonomi tempat saya dilahirkan, meskipun berbagai hal yang telah diajarkan kepada saya hingga saat itu tetap saya pertimbangkan. Pada dasarnya, sejak SMP itulah saya mulai meyakini bahwa sebagai manusia kita harus bersikap kritis dan tidak mudah mengamini apa yang dikatakan lingkungan sekitar kita. Bila kita mudah mengamini, maka manakala kita dilahirkan di lingkungan yang tidak baik, maka kita pun pasti akan dengan mudah meyakini dan mengikuti hal-hal salah yang sudah terlanjur dianggap benar di lingkungan tersebut. Berbagai jawaban saya temui atas pertanyaan kenapa manusia tercipta di dunia ini dan apa tujuan hidup manusia sesuai jumlah buku yang saya baca. Mulai dari jawaban Islami yang mengatakan bahwa makhluk hidup diciptakan Tuhan agar mereka tahu bahwa Tuhan itu ada; jawaban Hindu dan Buddhis yang mengatakan bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk membebaskan dirinya dari lingkaran reinkarnasi dan penderitaan hidup tanpa henti; sampai dengan jawaban yang tidak mengandung unsur spiritual seperti bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memenuhi hal-hal yang dirasakan oleh manusia itu sendiri sebagai kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup menjadi Tuhan bagi manusia itu sendiri karena pemenuhannya akan selalu menjadi tujuan hidup manusia yang bersangkutan, demikian jawaban Aristoteles. Meski demikian, dari perjalanan hidup saya sendiri dan dari pengamatan saya terhadap banyak kehidupan orang lain, saya kemudian menemukan bahwa, setidaknya bagi saya, tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Sederhana saja. Karena saya mengamati dalam kehidupan banyak orang, bahwa bila kita hidup -bahkan bila kita memiliki semua harta yang ada di dunia ini- namun kita tidak bahagia, maka hidup kita adalah percuma, sia-sia. Melalui pengamatan saya lebih lanjut, saya bahkan menyimpulkan bahwa sebenarnya, sadar atau tidak sadar, motif (penggerak) dari semua tindakan manusia adalah untuk mencari kebahagiaan ini, bahkan ketika manusia melakukan suatu tindak kejahatan. Coba kita amati. Ketika seseorang berselingkuh dan melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya, dalam pikirannya ia melakukan itu demi kesenangan -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan bagi manusia tersebut, terlepas dari kenyataan berikutnya bahwa pasangan nikahnya dapat menderita bila mengetahui hal ini. Ketika seorang psikopat menculik ataupun menyiksa korbannya, ia melakukan itu untuk melepaskan dirinya dari derita yang mungkin diakibatkan trauma masa lalunya -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan juga. Bahkan ketika seseorang bunuh diri, ia pun melakukan itu karena ingin melepaskan diri dari hidupnya yang penuh derita -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan lagi. Hampir semua tindakan manusia bisa dikaitkan dengan pencarian kebahagiaan ini, bahkan ketika seseorang melakukan suatu tindakan baik (benevolent) bukan untuk tujuan apa-apa (ikhlas). Bukankah tetap saja ia mendapatkan kepuasan, dengan kata lain kebahagiaan, dengan melakukan tindakan yang didasarkan atas keikhlasan tersebut? B. Perbedaan Kesenangan dan Kebahagiaan Setelah merasa menemukan jawaban tentang tujuan hidup manusia, dalam pencarian saya pertanyaan saya yang berikutnya adalah, keadaan manusia seperti apakah yang dapat dikatakan bahagia? Ketika seorang pecandu narkoba sedang menghisap ganja dan merasakan "fly", dapatkah ia dikatakan bahagia? Ketika seseorang mendapatkan kenikmatan ketika meminum alkohol untuk melupakan kesulitan hidup yang melilit dirinya, dapatkah ia dikatakan bahagia? Entah kenapa, meskipun orang-orang di atas merasakan kelepasan dari derita mereka ketika tengah melakukan hal-hal di atas, berat bagi saya untuk mengatakan bahwa mereka bahagia. Pertanyaannya adalah, bila tidak melakukan hal-hal di atas, akankah mereka merasa bahagia? Bahkan jika mereka mendapatkan pasokan "kebahagiaan" dengan terus menerus menggunakan narkoba ataupun meminum alkohol sepanjang hidupnya, dapatkah sebenarnya mereka dikatakan bahagia? Bagi saya, sulit rasanya. Bila hal-hal di atas tidak menunjukkan kebahagiaan, maka keadaan hidup manusia seperti apakah yang dapat dikatakan bahagia? Ketika merenungkan hal tersebut, sebuah terminologi (kata) kunci lagi memasuki pikiran saya dan harus dibedakan dengan kebahagiaan: kesenangan. Ya, kesenangan. Manusia-manusia di atas, yang menggunakan narkoba ataupun meminum alkohol untuk melepaskan dirinya dari lilitan derita, adalah manusia-manusia yang memperoleh kesenangan (ketika melakukan hal-hal tersebut), tapi bukan kebahagiaan. Kesenangan adalah kenikmatan yang bisa membuat Anda melupakan derita Anda. Bila kesenangan Anda tergantung kepada hal-hal yang bersifat fisik, maka Anda tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari hal-hal fisik tersebut sepanjang hidup Anda untuk membuat diri Anda lupa dengan derita. Kebahagiaan, secara kualitas, berada di atas kesenangan. Kebahagiaan, melalui berbagai pengalaman dalam kehidupan saya pribadi dan perenungan saya, akhirnya saya pahami sebagai sebuah kesejahteraan batin yang Anda rasakan ketika Anda merasa puas terhadap keadaan diri Anda sendiri. Hal yang ingin saya garis bawahi disini adalah, ketika seseorang bahagia, bukan berarti ia terbebas dari berbagai kesulitan hidup ataupun ia hidup dalam kegelimangan harta. Ia bisa saja mengalami berbagai kesulitan hidup dan ia bisa saja bukan seseorang yang kaya raya. Namun ketika ia merasakan puas atas keadaan dirinya, ia dapat dikatakan bahagia. Pada kenyataannya, orang-orang yang bahagia di dunia ini sesungguhnya ada. Saya sudah pernah menemui mereka melalui berbagai buku yang mereka tulis dan saya baca ataupun menemuinya langsung. Kalau menemuinya, kebahagiaan itu bisa Anda rasakan melalui pancaran wajah dan matanya. Mata, kata orang, tidak pernah berbohong. Kebahagiaan bisa berwujud seorang petani, yang meskipun tidak bergelimang harta, namun penuh rasa syukur; seorang kyai yang menjalani kehidupannya yang sederhana di desa; ataupun seorang bhikhu yang gigih menempa spiritualitasnya dan rajin mengayomi umat. Kebahagiaan itu bebas agama dan tingkatan sosial. C. Halangan-halangan Mencapai Kebahagiaan Bila seseorang baru akan memperoleh kebahagiaan hidup ketika ia merasa puas dengan keadaan dirinya, maka ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya, tentunya ia belum akan benar-benar bahagia. Dan banyak faktor yang bisa membuat kita tidak puas atas keadaan diri kita. Ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena belum berada dalam kelimpahan harta yang begitu diinginkannya, maka ia belum benar-benar akan bahagia. Ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena belum mendapatkan jawaban yang ia cari atas pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya, maka ia belum benar-benar akan merasa bahagia. Juga ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena masih terbelenggu oleh berbagai kebiasaan jelek yang sebenarnya sangat ingin ia hilangkan, maka ia belum benar-benar akan merasa bahagia. Karena setiap orang memiliki kepingan hilang yang berbeda dalam hidupnya yang ia rasa harus ia lengkapi sebelum ia bisa merasa puas dengan dirinya sendiri, maka lika-liku perjalanan yang ditempuh setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan utuh pun berbeda. Dan karena tingkat kesulitan yang harus ditempuh setiap orang untuk melengkapi kepingan yang hilang itu juga berbeda, maka waktu yang akan diperlukan setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan utuh juga berbeda. Perjalanan memperoleh kebahagiaan utuh itulah yang tampaknya akan selalu menjadi tema dasar bagi cerita setiap anak manusia. Meski demikian, ada hal lain juga yang ingin saya sampaikan. Perjuangan kita untuk memperoleh kebahagiaan utuh itu jangan sampai membuat kita menafikkan semua hal yang saat ini sudah ada pada diri kita dan seharusnya sudah bisa membuat kita merasa bahagia. Itulah yang hendak dikatakan ungkapan bijak "Tidak ada jalan menuju kebahagiaan. Justru kebahagiaan itulah jalannya". Meskipun pada prakteknya, memperoleh kebahagiaan tidak semudah itu, tapi ungkapan ini mengajarkan bahwa kita tidak boleh menunggu untuk mulai berbahagia. Kenapa? Karena menjalani hidup tanpa kebahagiaan sama sekali terasa sengsara. Ada berbagai karunia pada diri kita saat ini, yang tidak dimiliki setiap orang, yang seharusnya bisa membuat kita bersyukur. Anda, sebagaimana makhluk hidup lain yang bisa merasakan (sentient being), berhak untuk berbahagia. Jalan untuk memperoleh kebahagiaan utuh dalam hidup itu harus mulai dititi saat ini juga. Meski demikian, jangan lupa untuk mensyukuri dan berbahagia atas berbagai karunia yang sekarang sudah dimiliki dan diperoleh sepanjang jalan. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, Perkataan dalam bahasa Pali yang berarti "semoga semua makhluk hidup berbahagia". Amin. Sumber foto: Internet
1 Comment
R. Luthfiah Aziz
24/9/2017 09:35:45 am
Ya sepakat, dalam ranah filsafat pendekatan existentialism bisa dibilang cukup relevan dan menunjang kebutuhan berpikir akan esensi mencapai apa yg diharapkan, bahkan dalam ranah praktis sekalipun, agar tidak hanya stuck dalam benak. Hehe.
Reply
Leave a Reply. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|