![]() Entah kenapa, sudah sejak agak lama saya mencurigai bahwa nenek moyang kita sebenarnya tidak mengenal sistem orientasi absolut sebagaimana yang sekarang kita kenal dengan "utara", "selatan", "timur", dan "barat". Kecurigaan ini terbukti ketika saya mulai menggali tentang sistem orientasi pada peradaban Austronesia (sebutan dalam ilmu linguistik untuk nenek moyang orang Indonesia bagian barat dan tengah, Madagaskar, kepulauan Pasifik, Filipina dan penduduk asli Taiwan) dan Indo-Eropa (sebutan dalam ilmu linguistik untuk nenek moyang sebagian besar orang Eropa modern, juga India dan Iran). Ternyata, sistem orientasi absolut (empat mata angin) yang kini kita kenal adalah hasil penyerapan dari kebudayaan India ketika Hindu pertama kali masuk ke Nusantara, lalu diperkuat oleh kebudayaan Arab dan Belanda (pada masa penjajahan). Aslinya, sistem orientasi nenek moyang kita sebelum bersentuhan dengan kebudayaan India tidak seperti ini. Alih-alih absolut, nenek moyang kita menggunakan sistem orientasi relatif relatif. Sistem ini sangat menunjukkan ciri nenek moyang kita yang merupakan bangsa pengarung lautan. Nenek moyang kita menamai berbagai arah berdasarkan letak dataran tempat mereka bermukim, letak lautan lepas, dan arah bertiupnya angin Muson Timur dan Barat. Di bawah ini adalah nama-nama arah asli pada kebudayaan nenek moyang Austronesia:
- Daya = arah daratan tempat bermukim berada - Lahut = arah lautan lepas berada - Sabarat = arah datangnya angin Muson Barat - Timur = arah datangnya angin Muson Timur - Qamis = arah datangnya angin utara Contoh penggunaan nama-nama arah di atas: Dimanapun nenek moyang kita berada di lautan, arah menuju dataran tempat mereka bermukim selalu mereka sebut dengan "daya". Sementara bila mereka ada di darat, seluruh arah yang menuju lautan lepas akan disebut "lahut". Begitu juga bila mereka ada di darat ataupun laut, arah datangnya angin Muson Barat (di Indonesia bertiup pada bulan Oktober-April) akan mereka sebut dengan "sabarat", sementara arah datangnya angin Muson Timur (di Indonesia bertiup pada bulan April-Oktober) akan mereka sebut "timur". Nama-nama arah tersebut tentu saja bisa dikombinasikan. Misalnya bila mereka berada di laut, arah datangnya angin Muson Timur yang akan membawa mereka ke arah daratan tempat mereka bermukim akan disebut "timur daya". Begitu juga bila mereka ada di darat, arah datangnya angin Muson Barat yang akan membawa mereka menuju laut akan mereka sebut "sabarat lahut". Angin Muson menjadi satu kesatuan dalam sistem orientasi nenek moyang kita, karena di kawasan katulistiwa angin inilah yang menjadi penggerak kapal mereka di lautan. Nama-nama arah ini mulai menjadi absolut ketika anak keturunan peradaban Austronesia mulai bersentuhan dengan kebudayaan India dan Barat. Kebudayaan India memang mengenal sistem orientasi absolut yang merupakan bawaan dari peradaban Indo-Eropa yang menjadi nenek moyangnya. Di Sumatera yang menjadi tempat mayoritas penutur awal bahasa Melayu (yang menjadi asal-usul bahasa Indonesia) berasal, "barat laut" dan "timur laut" akhirnya menunjukkan arah yang seperti saat ini, sementara "barat daya" menunjukkan arah pulang ke pulau Sumatera bila Anda berada di Selat Malaka. Di daerah penutur bahasa Kavalan, Amis, dan Tagalog (Filipina), kata "timur" justru berarti selatan, dikarenakan letak geografis mereka terhadap arah datangnya angin Muson Timur. Sementara di daerah penutur bahasa Ilocano (Filipina), kata "daya" dan "lahut" menunjukkan "timur" dan "barat" secara berurutan karena posisi mereka terhadap lautan. Nama-nama arah mulai menjadi absolut di Filipina sejak Filipina berada di bawah kolonialisasi Spanyol dan setiap daerah di sana memiliki pemahaman berbeda terhadap makna kata "timur", "sabarat", "daya" dan "lahut" sebelum Tagalog akhirnya menjadi bahasa nasional. Di Bali, kasusnya agak unik. Karena pusat Bali modern berada di selatan, kata "kaja" dan "kelod" dalam bahasa Bali bagi mayoritas orang Bali menunjuk pada utara dan selatan secara berurutan. Tapi aslinya, kata "kaja" berarti "gunung" dan "kelod" berarti "ke laut". Oleh karena itu bila Anda ke Singaraja di utara Bali, disana "kaja" berarti "selatan" dan "kelod" berarti "utara". Karena bila Anda disana, Gunung Agung memang berada di selatan. Lantas bagaimana asal-usul sistem orientasi peradaban Indo-Eropa yang absolut? Sebenarnya pada awalnya, sistem orientasi orang Indo-Eropa bersifat relatif, dilihat dari letak geografis mereka bermukim. Ini bisa kita lihat dari asal-usul nama-nama arah mata angin dalam bahasa mereka. Kata "east" (bhs. Inggris) atau "ost" (bhs. Jerman dan Perancis) berasal dari kata "austos" dalam bahasa nenek moyang Indo-Eropa (Proto Indo-Eropa) yang berarti "bersinar". Maksudnya, tempat bersinar matahari. Kata "west" (bhs. Inggris dan Jerman) atau "ouest" (bhs. Perancis) berasal dari kata "uestos" dalam bahasa Proto Indo-Eropa yang berarti "malam". Maksudnya, arah ketika hari menjadi malam. Sementara itu kata "north" (bhs. Inggris) atau "nord" (bhs. Jerman dan Perancis) berasal dari kata "nortos" yang berarti "tenggelam'. Dan kata "south" (bhs. Inggris) atau "süd" (bhs. Jerman) ataupun "sud" (bhs.Perancis) berasal dari kata "suntos" yang berarti "wilayah matahari ("sun"). Maksudnya, tempat dimana matahari selalu bersinar (daerah Mediterrania). Seandainya saja orang Indo-Eropa bermukim di bagian selatan Bumi, tentulah kata "north", "south", "east" dan "west" di atas akan menunjuk pada penjuru Bumi yang berbeda. Silakan mengacu ke: - Blust, Robert; Australian National University. Pacific Linguistics (2009). The Austronesian languages. Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University. ISBN 978-0-85883-602-0. - Indogermanisches etymologisches Wörterbuch - Arismunandar, Agus; "Ibukota Majapahit, Masa Jaya, dan Pencapaian", Penerbit Komunitas Bambu
0 Comments
Leave a Reply. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|