Pada umumnya kita melihat kebudayaan Jawa era Hindu-Buddha sebagai kebudayaan yang sangat feodal dan hierarkis. Uniknya, bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan yang digunakan di era tersebut justru tidak mengenal stratifikasi. Rakyat dan bangsawan menggunakan ragam bahasa yang sama untuk berkomunikasi terhadap satu sama lain. Hanya sebutan/cara memanggil satu sama lain saja yang dibedakan, sama seperti pada bahasa Melayu.
Sebaliknya, kebudayaan Jawa era Islam (kesultanan) biasanya dianggap lebih egaliter. Namun studi linguistik menunjukkan, tingkatan-tingkatan bahasa Jawa yang saat ini kita kenal, seperti Madyo, Kromo, dll, justru muncul di era ini. Penelitian-penelitian linguistik juga menunjukkam bahwa tingkatan-tingkatan bahasa ini muncul sebagai upaya kaum bangsawan untuk membedakan dirinya dengan rakyat jelata, salah satunya melalui bahasa yang mereka gunakan. Penelitian yang dilakukan Soepomo Poedjosoedarmo (Universitas Cornell) mengungkapkan bahwa kata-kata Madyo dan Kromo sebetulnya adalah kata-kata buatan, bukan alami, yang dibuat oleh kaum bangsawan dengan menambahkan imbuhan-imbuhan tertentu pada kata-kata Ngoko ataupun menggali dan menghidupkan kembali kata-kata dari bahasa Jawa Kuno/Pertengahan. Padahal, di era Jawa Kuno/Pertengahan, kata-kata tersebut bersifat biasa-biasa saja dan digunakan rakyat jelata untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Penelitian Soepomo tersebut bisa dibaca secara detail di tautan di bawah ini. https://ecommons.cornell.edu/…/INDO_6_0_1107138592_54_81.pd… Alhasil, dengan upaya-upaya pembedaan tersebut, kini bahasa Jawa Baru memiliki total 9 tingkatan, sesuai hasil penelitian Soepomo. Di kemudian hari, ketika kesultanan Mataram melebarkan kekuasaannya ke tanah Priangan, bahasa Jawa Baru yang kini telah memiliki bermacam-macam tingkatan itu mempengaruhi bahasa Sunda yang digunakan oleh kaum bangsawan Priangan yang kemudian menjadi bawahan Mataram. Bahasa Sunda Priangan pun akhirnya memiliki setidaknya 3 tingkatan: Loma, Lemes Jang Sorangan, Lemes Jang Batur. Sementara itu, bahasa Sunda yang digunakan di luar Priangan, seperti di Banten misalnya, tetap hanya mengenal 1 tingkatan saja. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal di atas, silakan baca buku Sundanese Print Culture and Modernity in Nineteenth Century West Java oleh Mikihiro Moriyama (Singapore University Press) ataupun tautan berita berikut: http://jabarkahiji.id/…/membongkar-kemunculan-hierarki-dal…/ Untuk masyarakat Priangan, bahasa Sunda yang digunakan oleh orang Sunda non-Priangan ini seringkali terdengar kasar. Karena memang banyak kata dari bahasa Sunda luar Priangan yang lantas masuk ke kategori kasar di bahasa Sunda Priangan. Sementara itu, untuk masyarakat Sunda non-Priangan, bahasa Sunda di daerah Priangan terdengar sangat feodal dengan aneka tingkatannya. Saat ini, ada gerakan puritanisme di antara para budayawan Sunda untuk kembali menggunakan bahasa Sunda "kasar" seperti yang digunakan di daerah di luar Priangan. Bahasa inilah yang dianggap bahasa Sunda yang murni, yang mengenal semangat egaliter (kesetaraan) dan dianggap bebas dari jejak feodalisme yang ditinggalkan Jawa di sebagian negeri Pasundan. Sumber foto: Internet
0 Comments
Leave a Reply. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|