Setelah membaca artikel berbahasa Sunda ini (https://kumeokmemehdipacok.blogspot.co.id/2016/04/sejarah-undak-usuk-basa-sunda.html?m=1) , berarti benarlah informasi yang saya dapat dari saudara saya, bahwa tingkatan-tingkatan dan kata-kata sedang dan halus dalam bahasa Sunda muncul karena pengaruh bahasa Jawa dan akibat pendudukan kesultanan Mataram atas beberapa daerah di timur tanah Pasundan mulai abad ke-18, seperti Ciamis, Garut, Cianjur, maupun Sukabumi.
Dari daerah-daerah di ataslah bahasa Sunda yang memiliki berbagai tingkatan diperkenalkan. Daerah-daerah di barat tanah Pasundan, seperti Banten, yang tidak pernah diduduki Mataram, menggunakan bahasa Sunda yang hanya memiliki satu tingkatan, yang oleh penutur Sunda di kawasan timur dianggap bahasa kasar. Aslinya, bahasa Sunda pra pendudukan Mataram memang hanya punya satu tingkatan saja seperti bahasa Melayu dan Indonesia. Artikel ini juga menjawab pertanyaan saya setiap kali membaca nukilan-nukilan naskah Sunda Kuno: kenapa pilihan katanya kasar semua? Bahkan ketika seorang bawahan berkata kepada raja. Undak usuk (tingkatan-tingkatan penggunaan) yang kini ada dalam bahasa Sunda pun bukannya tidak menimbulkan masalah bagi generasi muda Sunda. Banyak anak-anak muda Sunda yang tumbuh besar di kota-kota Sunda namun tidak kental kebudayaan Sundanya, seperti Bandung, memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara kepada yang lebih tua daripada bahasa Sunda, karena takut menggunakan pilihan kata Sunda yang salah dan dianggap kurang ajar. Masalah yang sama juga ditemui para orang tuanya. Mereka sudah tidak menguasai undak usuk bahasa Sunda dan lebih memilih mengajarkan bahasa Indonesia ke anaknya. Di antara para ahli bahasa Sunda sendiri, sampai saat ini saya tidak menemukan kesepakatan mengenai ada berapa jumlah tingkatan sebenarnya dalam bahasa Sunda. Artikel lain, sebagai contoh, menyebutkan bahwa dalam Kongres Bahasa Sunda tahun 1986 di Cipayung, Bogor, disebutkan bahwa bahasa Sunda sebetulnya memiliki 6 tingkatan dalam bahasa halus dan 2 dalam bahasa loma (sedang & kasar). Belum lagi tidak adanya buku yang ditetapkan sebagai standar tata bahasa dan pengajaran bahasa Sunda yang akan makin menyulitkan orang-orang non-Sunda yang ingin belajar bahasa Sunda. Beberapa penganut Sunda Wiwitan bahkan menolak penggunaan undak usuk bahasa Sunda, karena menilai hal tersebut sebagai produk kolonialisme budaya lain dan bukan merupakan bagian kebudayaan Sunda asli. Hemat saya, bahasa Sunda memang harus segera distandarisasi dan dibakukan dalam bentuk buku jika kita ingin melestarikan bahasa ini.
2 Comments
Rizki Luthfiah Aziz
24/9/2017 09:22:21 am
Sebelum tulisan ini dibuat sebenarnya dulu sudah pernah mention ketika ngobrol santai di Bandung bahwa undak-usuk Basa Sunda dipengaruhi oleh pengaruh budaya Jawa terutama masa pemerintahan Mataram Islam pimpinan Sultan Agung yg saat itu kekuasannya sampai ke tanah Priangan. Oleh karenanya daerah-daerah yg kini dikenal sebagai penutur Basa Sunda lemes ada kaitannya dengan "status istimewa" wilayah tersebut masa pemerintahan Mataram Islam. Contohnya Sumedang yg sempat jadi semacam ibu kota priangan ketika masih semacam vassal state. Waktu itu sempat mention referensi lisan didapat dari pengajar Sastra Sunda Unpad. Mungkin bisa ditelusuri lebih jauh lagi catatan sejarahnya agar ada simpulan ringkas terkait proses perkembangannya sehingga menarik untuk dicermati. Hehe.
Reply
7/5/2022 06:34:53 am
saya ingin bertanya, adakah referensi atau hasil kongres bahasa sunda 1986 itu?
Reply
Leave a Reply. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|