Hal menarik yang saya temukan setelah mempelajari linguistik (ilmu yang mempelajari struktur, proses munculnya, evolusi dan persebaran bahasa) sekian lama adalah bahwa berbagai partikel, awalan, ataupun akhiran yang sering kita temui pada suatu bahasa dan kita duga tidak memiliki arti ternyata dulunya berasal dari suatu kata utuh yang memiliki arti. Terkait ini, saya selalu penasaran tentang asal-usul berbagai imbuhan yang jumlahnya melimpah pada bahasa Melayu/Indonesia dan tidak banyak kita temukan pada bahasa lain, misalnya Inggris. Untuk mengetahui asal-usul imbuhan tersebut, saya berusaha mempelajari jurnal-jurnal hasil riset tentang bahasa Melayu ataupun Proto-Austronesia (bahasa nenek moyang seluruh suku di Indonesia bagian barat dan tengah, Madagaskar, Filipina, penduduk asli Taiwan, dan pulau-pulau Pasifik). Dari jurnal-jurnal yang saya pelajari sejauh ini, saya berhasil menemukan tentang asal-usul imbuhan "di-", "-i", dan kata ganti "-nya". A. Asal-Usul Awalan "di-" Awalan "di-" untuk membentuk kalimat pasif di bahasa Melayu/Indonesia baru ada pasca periode kerajaan Sriwijaya . Pada masa kerajaan Sriwijaya, awalan ini berbentuk "ni-". Lihat kata-kata berawalan "ni-" pada prasasti-prasasti peninggalan Sriwijaya: "nivunuh" (dibunuh), "nivuat" (dibuat), "nisuruh" (disuruh) dll. Pada masa sebelumnya lagi, yaitu saat nenek moyang orang Melayu masih berada di tanah yang diduga para ahli bahasa sebagai asal-muasalnya, yaitu Kalimantan bagian barat, dan menuturkan bahasa yang lebih tua dari bahasa Melayu periode Sriwijaya, awalan "ni-" aslinya bukanlah untuk membuat kalimat pasif. Awalan "ni-" merupakan kontraksi (kependekan) dari "niya" yang berarti "dia". Sebagai contoh: - "Aku nivunuh" = "Aku niya vunuh" (aku dia bunuh) - "Itu nivuat" = "Itu niya vuat" (itu dia buat) Ini bisa dibandingkan dengan awalan "ku-" yang merupakan kontraksi dari "aku" dan masih kita gunakan saat ini. Sebagai contoh: - Mangga itu kuambil - Buah itu kupetik Ketika migrasi para penutur awal Melayu ke Sumatra dan semenanjung Malaka, awalan "ni-" yang semula merupakan kontraksi dari "niya" berubah fungsi menjadi pembentuk kalimat pasif yang sebelumnya tidak ada. B. Asal-Usul Kata Ganti "-nya" Mari kita amati. Dalam bahasa Melayu/Indonesia: - Mobil + aku = Mobilku - Buku + kamu = Bukumu Tapi kenapa "baju" + "dia" = "bajunya"? Dari mana asal usul kata ganti "-nya"? Pada masa kerajaan Sriwijaya, kata "dia" belum ada. Yang ada adalah "niya", yang berarti "dia". Sehingga "baju" + "niya" = "bajunya". Pada masa akhir Sriwijaya, kata "dia" mulai muncul dan perlahan-lahan kata "niya" mulai tidak digunakan. Meski demikian, kata ganti "-nya" yang digunakan pada kata benda untuk menunjukan kepemilikan orang ketiga tetap digunakan masyarakat, tidak seperti kata "niya" yang berdiri sendiri. Inilah yang membuat kata ganti "-nya" tetap ada hingga saat ini. C. Asal-Usul Akhiran "-i" Bahasa Melayu/Indonesia mempunyai akhiran "-i" yang digunakan pada kata kerja, seperti misalnya "menulisi", "menggambari", "menduduki", "menggarami", dll. Penelitian linguistik menunjukan bahwa akhiran ini muncul pada saat bahasa Proto Austronesia mulai pecah menjadi bahasa Proto Malayo-Polynesia (nenek moyang semua bahasa turunan Austronesia, kecuali bahasa-bahasa Austronesia yang berada di Taiwan). Diketahui "-i" merupakan kontraksi dari kata depan "di" yang masih bisa ditemukan pada bahasa Melayu dan menunjukan lokasi. Sebagai contoh: - Saya menulisi buku = Saya menulis di/pada buku - Saya menggambari kertas kosong itu = Saya menggambar di/pada kertas kosong itu. - Dia menduduki kursi itu = Dia duduk di/pada kursi itu. - Menggarami laut tak ada gunanya = Memberi garam di/pada laut gak ada gunanya. Pada akhirnya akhiran "-i" memiliki fungsi untuk menunjukkan pekerjaan yang dilakukan dengan mengambil tempat di atas/pada suatu obyek. Sampai saat ini saya masih berusaha mencari asal-usul imbuhan-imbuhan lainnya. Saya yakin bahwa imbuhan-imbuhan tersebut juga pasti memiliki asal-usul yang serupa. Sebagai contoh, kini saya telah mengetahui melalui banyak penelitian bahwa awalan "me-" ternyata baru muncul pasca periode Sriwijaya. Pada era Sriwijaya, awalan ini berbentuk "mar-" sebagaimana pada sebagian bahasa-bahasa suku Batak. Seiring waktu, berbagai penelitian linguistik juga telah menunjukkan bahwa banyak imbuhan yang memiliki fungsi tertentu yang akhirnya punah. Pencarian asal-usul suatu elemen/bagian pada suatu bahasa seperti imbuhan ini bukan merupakan hal yang mudah bagi para ahli bahasa. Mereka harus mempelajari satu persatu bukti yang tertulis hingga ribuan tahun ke belakang sampai ke bahasa nenek moyang pertama suatu kelompok penutur bahasa untuk menelusuri perubahan bunyi ataupun fungsi elemen yang menjadi obyek penelitian mereka. Pada kasus Austronesia, sebagai contoh, bahasa nenek moyang Austronesia berada dan digunakan pada kisaran 6000-4000 SM. Ketika bukti tertulis tersebut tidak bisa lagi ditemukan, karena misalnya pada saat tersebut belum ada tulisan (peridoe Pra-Sejarah), maka para ahli bahasa harus terlebih dahulu merekonstruksi tata bahasa dan kosakata dari bahasa periode tersebut dengan meneliti unsur-unsur tata bahasa dan kosakata bahasa nenek moyang yang terserap di seluruh ataupun sebagian bahasa-bahasa turunannya. Untuk rujukan lebih lanjut terkait sejarah evolusi imbuhan ini, saya menyarankan literatur berikut: - "The Austronesian Languages of Asia and Madagascar" oleh Adelaar, K. Alexander dan Himmelmann, Nikolaus, 865 halaman. - "The Austronesian: Historical and Comparative Perspectives" oleh Bellwood, Peter dan J.Fox, James, 367 halaman - "Some Notes on The Origin of Malay -di" oleh Van den Berg, René, 23 halaman
0 Comments
Setelah saya baca terus menerus selama 2 bulan, alhamdulillah akhirnya buku ini selesai saya baca.
Buku ini adalah buku yang sangat bagus dalam membahas tentang Kekristenan periode awal. Pembahasan dimulai dari misi 12 murid Yesus, komunitas-komunitas awal Kristen yang terbentuk, kepercayaan-kepercayaan dan Injil-injil yang diyakini oleh komunitas-komunitas tersebut, figur-figur awal gereja yang penting dan ajaran-ajarannya, perseteruan-perseteruan yang terjadi antar komunitas maupun figur gereja, hingga konsili-konsili yang diadakan sebagai upaya untuk meredam perseteruan-perseteruan tersebut. Ketika saya membaca buku-buku tentang sejarah Kekristenan selama ini, biasanya periode awal Kekristenan hanya dibahas secara sekilas. Padahal, semakin lama saya semakin memahami bahwa periode tersebut adalah periode yang sangat penting. Buku ini mampu membahas periode tersebut dengan kedalaman yang cukup dan bahasa yang mengalir tanpa terkesan terlalu akademis, monoton, ataupun jelimet. * Jumlah halaman: +/- 380 * Bisa diimpor lewat Bookdepository.com ataupun Amazon.com * Harga: +/- Rp.300 ribu (untuk Amazon tidak termasuk ongkos impor) |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|