INTRO
Kalo gw ngajuin pertanyaan k temen2, „Etnis apa di Indonesia yg sering diperlakuin secara diskriminatif oleh masyarakat kebanyakan?“, pasti temen2 bakalan stuju kalo salah satuny adalah etnis Cina. Etnis yang sering juga disebut „Cokin“ [berasal dari kebiasaan bhs prokem tahun 70-an bwt nyelipin huruf „k“ dan ngeganti huruf vokal di setiap kata, sperti „bokap“ (dari bapak), „nyokap“ (nyak), „bokep“ (dari BF)], „Amoy“ (krn byk org Cina di Indonesia abad ke-18 yg emg brasal dari Amoy), „Chinese“ (buat ngehindarin kata „Cina“ yang sering kedenger kasar), or „Tionghoa“ (bwt nekenin aspek budayany) ini, menurut gw, sering dapet perilaku apriori dari orang pribumi karena hal2 berikut: 1. Secara umum etnis Cina memiliki perekonomian yang lebih baik daripada masyarakat pribumi. 2. Secara etnologis etnis Cina tidak terhubung dengan etnis2 pribumi. 3. Agama kebanyakan orang Cina berbeda dengan agama orang pribumi. Hal2 di atas adalah hasil telaah gw secara objektif en gw susun berdasar prioritas. Katakanlah (1) etnis Cina dan orang pribumi ada di tingkat ekonomi yang hampir sama, maka bisa dipastiin gak akan ada banyak masalah serius yang timbul. Orang pribumi sendiri toh umumnya gak musuhin orang2 Cina yang kemampuan ekonominy kurang (lihat kasus orang Cina Benteng di Tangerang). Atau lihat point (2) en (3). Bisa saja etnis Cina beda agama dengan orang pribumi, tapi andaikan mereka masih punya kesamaan etnologis, maka bisa dipastiiin perilaku apriori dari orang pribumi berkurang. Kita bisa lihat orang Batak sebagai contoh kasus. Walo kebanyakan dari mereka memeluk agama yang berlainan dengan orang pribumi kebanyakan (Islam), tapi mereka gak lantas dianggap sebagai orang asing karna masih punya kesamaan latar belakang sejarah dan hubungan etnologis dgn etnis2 lainnya di Indonesia. ASAL MUASAL KEDATANGAN ORANG CINA DI INDONESIA Sebenernya etnis Cina hadir sudah lumayan lama di Indonesia, yaitu sejak kedatangan para pedagang Cina u/ berdagang ke nusantara dan kedatangan pendeta2 Cina u/ menyebarkan agama Buddha di Indonesia di abad ke-5. Pada saat ini gak ada konflik yang terjadi. Bahkan orang Indonesia nunjukin perilaku menghargai, terlihat dari disambut dan dipeluknya kemudian agama Buddha oleh banyak masyarakat Indonesia. Hubungan Indo-Cina pun berkembang. Waktu zaman berkuasanya kerajaan2 besar Hindu-Buddha di Indonesia, banyak perempuan dari Cina yang diperistri atau dijadikan selir oleh raja Indonesia. Lihat contoh kasus Prabu Brawijaya, raja Hindu dari Majapahit. Istri resminya adalah seorang putri dari Campa (Vietnam), sedangkan selirnya adalah seorang perempuan dari Cina. Dari rahim wanita Cina ini lahir seorang putra yang kemudian diasuh oleh salah seorang Wali Songo, yakni Sunan Bonang, dan akhirnya menjadi pendiri kerajaan Islam pertama di Indonesia –Demak-, yang menggulingkan kekuasaan ayahnya sendiri (Prabu Brawijaya). Anak itu dikenal dgn nama Raden Patah. Pada saat yang bersamaan, banyak pula para pedagang Cina yang mulai menetap di Indonesia. Karena gak ikut membawa istrinya dari Cina, mereka menikahi perempuan2 Indonesia. Anak2 yang dilahirkan dari keturunan mereka gak lantas jadi orang Cina. Melihat sejarah, di bawah didikan ibunya yang notabene berbudaya lokal, anak2 itu malah terasimilasi ke penduduk pribumi. Hubungan Indo-Cina berkembang menjadi harmonis waktu agama Islam masuk ke Indonesia. Satu hal yang jarang banget diketahui orang umum adalah bahwa agama Islam di Indonesia sebenernya gak cuma dikenalin oleh pedagang2 India dari Gujarat, tapi juga oleh banyak pedagang Cina dari Guangzhou. Ketika daerah Gujarat di India mengalami Islamisasi, pada saat yang bersamaan daerah Guangzhou di Cina yang notabene bersebelahan dengan Persia juga mengalami Islamisasi. Bahkan para pendakwah Islam awal di Indonesia adalah orang Cina. Sebagai contoh adalah para Wali Songo, yang sebagian dari mereka sebenernya adalah beretnis Cina [baca buku “Menggali Latar Belakang Stereotip dan Persoalan Etnis Cina di Jawa” karya Paulus Hariyono! Dijamin menarik! =)]. Intense-nya kedatangan para pedagang Cina Muslim ke nusantara kala itu didukung oleh sikap kaisar Tiongkok sendiri yang pro-Islam. Waktu itu, kaisar dari dinasti yang berkuasa, yaitu dinasti Ming, banyak dibantu oleh orang2 Cina Muslim yang berkontribusi besar kepada kekaisaran. Salah satu yang terkenal adalah Cheng Ho, yang kemudian menjadi laksamana angkatan laut kekaisaran Tiongkok. Waktu dia minta sebuah armada untuk ngunjungin negeri2 yang mungkin belum “aware” ttg keberadaan kekaisaran Tiongkok, kaisar langsung membekalinya dengan 62 kapal dan 27.800 awak, dimana kapal terbesar berbobot 2.500 ton (bandingkan dengan pelayaran Colombus yang hanya terdiri dari 3 kapal dan 87 awak, dengan bobot kapal terbesar 100 ton)! Sambil menyebarkan Islam, Cheng Ho dan armadanya berlayar dari Tiongkok ke nusantara hingga ke negeri2 di pesisir Afrika Barat. PANGKAL KONFLIK ETNIS CINA DAN INDO Perubahan arah hubungan orang Cina-Indonesia mulai terjadi di abad ke-16. Waktu itu terjadi 2 peristiwa politik yang sangat penting. Peristiwa pertama terjadi di Tiongkok dimana dinasti Ming yang pro-Islam diruntuhkan oleh dinasti Ch’ing yang TIDAK pro-Islam. Dinasti Ch’ing ini sendiri sebenarnya bukan dinasti Cina, melainkan dinasti Manchuria (Mongol) yang sukses menaklukan Cina di bawah komando Kubilai Khan. Peristiwa kedua sendiri terjadi di tanah air, dimana orang2 Belanda sebagai penjajah mulai memperkuat kolonialisasinya dengan mengembangkan kota2 jajahan. Pada saat itu, orang2 Belanda melihat kota2 di Indonesia sepi dari aktivitas perdagangan, sehingga untuk mengembangkannya orang2 Belanda membuka kesempatan seluas2nya kepada orang2 asing untuk bermukim dan mengembangkan perdagangan di Indonesia. Mereka yang langsung merespon hal ini adalah orang2 Cina. Waktu itu, orang2 Cina yang masuk bukanlah orang2 Cina yang beragama Islam. Di negeri asalny sendiri, orang2 Cina Muslim sudah dibatasi pergerakannya oleh kaisar yang baru. Orang2 Cina yang masuk kini beragama Buddha, Tao, dan Konghucu. Oleh orang Belanda, mereka difasilitasi pemukiman2 khusus di dalam kota dan digolongkan sebagai masyarakat kelas-2, disamping orang Belanda sendiri sebagai orang kelas-1 dan bangsa pribumi sebagai warga kelas-3. Mulai saat inilah terjadi jarak antara orang pribumi dan orang Cina. Dilatari oleh gak adanya hubungan sejarah dan agama dengan orang2 Cina yang baru masuk ini, dan dibuat berbeda oleh kemampuan ekonomi mereka, hubungan etnis pribumi-Cina mulai tidak harmonis. Seiring waktu, hubungannya berkembang menjadi hubungan yang ada seperti sekarang ini. Orang Cina seringkali dianggap oleh orang pribumi sebagai bukan orang Indonesia dan orang Cina pun banyak yang enggan berinteraksi dengan orang pribumi. Orang2 pribumi dianggap rese: sering diskriminatif, suka memungut sumbangan, dan suka menjadikan orang Cina sebagai objek pemerasan. MENYELESAIKAN MASALAH Kalo kita katakan bahwa ada disparitas antara etnis Cina dan pribumi di Indonesia, itu emang bener. Tapi sebenernya disparitas itu gak separah yang terjadi di Malaysia ataupun Singapur. Disana, masing2, orang bumiputera (sebutan di Malaysia bwt pribumi) dan Cina sudah terlanjur menganggap dirinya sebagai entitas yang berbeda. Di banyak kesempatan, mereka lebih suka make bahasa etnis mereka masing2 ketimbang bahasa nasional. Mereka juga gak mau dianggap sebagai satu entitas yang sama. Hal di atas kelihatan waktu dulu gw pernah keliling2 KL (Kuala Lumpur) pake taksi. Dengan sopir taksinya gw ngobrol. Dia ngasi tau gw (setelah diterjemahin ke bhs Indo), ”Kadang2 saya bisa merasakan betapa bangganya jadi orang Indonesia. Meskipun pembangunan infrastruktur disana sekarang kalah dengan kami, tapi nasionalitas orang Indonesia sepertinya kuat sekali. Dulu saya pernah mengantarkan orang Cina dari Indonesia dengan keluarganya belanja di sini. Saya dengarkan pembicaraan mereka di dalam mobil. Ternyata mereka ngomong satu sama lain dengan bahasa Indonesia, bukan bahasa Cina! Nama mereka dan anak2 mereka pun ternyata nama2 Indonesia, bukan nama2 Cina! Hebat!”. Meskipun memang ada sentimenalitas dari orang pribumi atas orang Cina dan juga sebaliknya, untungnya masing2 pihak belum terlanjur nganggap dirinya sebagai entitas yang gak bisa dipadukan. Kita pun ternyata masih lebih suka berkomunikasi dengan bahasa nasional kita: bahasa Indonesia. Hal ini menurut gw sangat bagus, karena kalo suatu hari kita semua akhirnya sadar bahwa kita ternyata sebenernya adalah sebuah entitas: bangsa Indonesia, maka kita bener2 bakalan bisa jadi bangsa yang besar. No more discrimination. Gw ngerespon positif langkah pemerintah buat ngijinin pengekspresian budaya dan bahasa Tionghoa di sini. Tapi langkah buat ngewujudin sebuah entitas yang lebih besar, yakni bangsa Indonesia, mestinya gak berhenti sampe disini. Pemerintah masih punya PR buat ningkatin ngedongkrak perekonomian orang2 pribumi. Pemerintah mungkin juga bisa nyoba pemberlakuan komposisi wajib antara orang Cina dan pribumi di semua sekolah ataupun lingkungan perumahan yang ada di kota2 besar di Indonesia (supaya gak tercipta kata2 seperti “sekolah Cina”, “perumahan pribumi”, dll), seperti yang diberlakuin pemerintah Singapur untuk mereduksi sentimentalitas antar ras disana. Kita sendiri, sebagai orang pribumi atopun Cina, mesti ngambil langkah. Buat orang pribumi, stop saying “si ini Cina”, “si itu Cina”. Apa yang salah dengan orang Cina? Toh mereka gak minta dilahirin jadi orang Cina! Kalo mereka juga ngerasa lahir di Indonesia, pengen berkarya di Indonesia en matinya juga di Indonesia, apa salahnya menganggap mereka sodara kita juga? En buat sebagian orang Cina, gak perlu takut sama orang Indonesia. Emang ada sebagian orang Indo yang nganggap orang Cina itu pasti kaya en cocok jadi objek pemerasan. Tapi liat2 orang juga lah. Jangan pukul rata. Toh gak semua orang Indo begitu. Kalo kita ngeliat semua orang Indo begitu, kita gak bakal ngerasa nyaman tinggal di Indo: sebuah negeri dimana kita dah ditakdirin Tuhan buat hidup en mati. Mungkin kasus gw en beberapa temen gw bisa dijadiin contoh. Gw sendiri punya 2 orang temen baek yang notabenenya beretnis Cina. Yang satu co en yang satu ce. Tapi we’re so that close like brethrens. Khusus buat yg co, gw pernah nginep di rumahnya. Meskipun keluarganya terlihat lucu buat gw, karena mereka ngomong ceplas-ceplos ke satu sama lain, tapi gw bisa ngerasain bgt bahwa mereka warm en welcome bgt ke gw. Walo mereka akhirny nyadar bahwa gw gak bisa makan daging babi, kelelawar, ato pun siput yang sering terhidang di atas meja mereka, tapi tetep gw gak bakal ngelupain kebaikan mereka. Khusunya kebaikan oom-nya temen gw ini yg penampilannya sederhana bgt en setiap pagi masuk ke kamar gw bwt ngebawain kopi anget slama gw nginep dsana. Belakangan baru gw tau kalo ternyata oom-nya ini adalah seorang pendeta terkenal lulusan sekolah seminari di Amerika. Istrinya orang Amerika en juga pendeta. Astaga, bersahaja banget! Kluarga temen gw ni emang Katolik kuat. Meski gw en temen gw ini suka terlibat diskusi serius or debat masalah agama, tapi kita akur2 aja. Ujungnya kita selalu ketawa2 en maen bersama. Kadang gw jadi mikir, ”Ah, kalo aja semua orang bisa kayak gini. Nyadarin identitasnya masing2 tapi gak perlu ribut. Saling menghargai en gak usah diskriminatif..” if only.. But could it really be?
0 Comments
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|