A. Apa Tujuan Hidup? Seingat saya, SMP adalah saat saya mulai merenungkan dan bertanya tentang tujuan hidup manusia terlepas dari apa yang telah dikatakan agama saya. Memang periode SMP itulah saat saya mulai mencari jawaban saya sendiri atas berbagai pertanyaan, karena saya ingin melihat berbagai hal secara obyektif terlepas dari latar belakang suku, agama, ataupun tingkatan ekonomi tempat saya dilahirkan, meskipun berbagai hal yang telah diajarkan kepada saya hingga saat itu tetap saya pertimbangkan. Pada dasarnya, sejak SMP itulah saya mulai meyakini bahwa sebagai manusia kita harus bersikap kritis dan tidak mudah mengamini apa yang dikatakan lingkungan sekitar kita. Bila kita mudah mengamini, maka manakala kita dilahirkan di lingkungan yang tidak baik, maka kita pun pasti akan dengan mudah meyakini dan mengikuti hal-hal salah yang sudah terlanjur dianggap benar di lingkungan tersebut. Berbagai jawaban saya temui atas pertanyaan kenapa manusia tercipta di dunia ini dan apa tujuan hidup manusia sesuai jumlah buku yang saya baca. Mulai dari jawaban Islami yang mengatakan bahwa makhluk hidup diciptakan Tuhan agar mereka tahu bahwa Tuhan itu ada; jawaban Hindu dan Buddhis yang mengatakan bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk membebaskan dirinya dari lingkaran reinkarnasi dan penderitaan hidup tanpa henti; sampai dengan jawaban yang tidak mengandung unsur spiritual seperti bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memenuhi hal-hal yang dirasakan oleh manusia itu sendiri sebagai kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup menjadi Tuhan bagi manusia itu sendiri karena pemenuhannya akan selalu menjadi tujuan hidup manusia yang bersangkutan, demikian jawaban Aristoteles. Meski demikian, dari perjalanan hidup saya sendiri dan dari pengamatan saya terhadap banyak kehidupan orang lain, saya kemudian menemukan bahwa, setidaknya bagi saya, tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Sederhana saja. Karena saya mengamati dalam kehidupan banyak orang, bahwa bila kita hidup -bahkan bila kita memiliki semua harta yang ada di dunia ini- namun kita tidak bahagia, maka hidup kita adalah percuma, sia-sia. Melalui pengamatan saya lebih lanjut, saya bahkan menyimpulkan bahwa sebenarnya, sadar atau tidak sadar, motif (penggerak) dari semua tindakan manusia adalah untuk mencari kebahagiaan ini, bahkan ketika manusia melakukan suatu tindak kejahatan. Coba kita amati. Ketika seseorang berselingkuh dan melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya, dalam pikirannya ia melakukan itu demi kesenangan -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan bagi manusia tersebut, terlepas dari kenyataan berikutnya bahwa pasangan nikahnya dapat menderita bila mengetahui hal ini. Ketika seorang psikopat menculik ataupun menyiksa korbannya, ia melakukan itu untuk melepaskan dirinya dari derita yang mungkin diakibatkan trauma masa lalunya -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan juga. Bahkan ketika seseorang bunuh diri, ia pun melakukan itu karena ingin melepaskan diri dari hidupnya yang penuh derita -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan lagi. Hampir semua tindakan manusia bisa dikaitkan dengan pencarian kebahagiaan ini, bahkan ketika seseorang melakukan suatu tindakan baik (benevolent) bukan untuk tujuan apa-apa (ikhlas). Bukankah tetap saja ia mendapatkan kepuasan, dengan kata lain kebahagiaan, dengan melakukan tindakan yang didasarkan atas keikhlasan tersebut? B. Perbedaan Kesenangan dan Kebahagiaan Setelah merasa menemukan jawaban tentang tujuan hidup manusia, dalam pencarian saya pertanyaan saya yang berikutnya adalah, keadaan manusia seperti apakah yang dapat dikatakan bahagia? Ketika seorang pecandu narkoba sedang menghisap ganja dan merasakan "fly", dapatkah ia dikatakan bahagia? Ketika seseorang mendapatkan kenikmatan ketika meminum alkohol untuk melupakan kesulitan hidup yang melilit dirinya, dapatkah ia dikatakan bahagia? Entah kenapa, meskipun orang-orang di atas merasakan kelepasan dari derita mereka ketika tengah melakukan hal-hal di atas, berat bagi saya untuk mengatakan bahwa mereka bahagia. Pertanyaannya adalah, bila tidak melakukan hal-hal di atas, akankah mereka merasa bahagia? Bahkan jika mereka mendapatkan pasokan "kebahagiaan" dengan terus menerus menggunakan narkoba ataupun meminum alkohol sepanjang hidupnya, dapatkah sebenarnya mereka dikatakan bahagia? Bagi saya, sulit rasanya. Bila hal-hal di atas tidak menunjukkan kebahagiaan, maka keadaan hidup manusia seperti apakah yang dapat dikatakan bahagia? Ketika merenungkan hal tersebut, sebuah terminologi (kata) kunci lagi memasuki pikiran saya dan harus dibedakan dengan kebahagiaan: kesenangan. Ya, kesenangan. Manusia-manusia di atas, yang menggunakan narkoba ataupun meminum alkohol untuk melepaskan dirinya dari lilitan derita, adalah manusia-manusia yang memperoleh kesenangan (ketika melakukan hal-hal tersebut), tapi bukan kebahagiaan. Kesenangan adalah kenikmatan yang bisa membuat Anda melupakan derita Anda. Bila kesenangan Anda tergantung kepada hal-hal yang bersifat fisik, maka Anda tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari hal-hal fisik tersebut sepanjang hidup Anda untuk membuat diri Anda lupa dengan derita. Kebahagiaan, secara kualitas, berada di atas kesenangan. Kebahagiaan, melalui berbagai pengalaman dalam kehidupan saya pribadi dan perenungan saya, akhirnya saya pahami sebagai sebuah kesejahteraan batin yang Anda rasakan ketika Anda merasa puas terhadap keadaan diri Anda sendiri. Hal yang ingin saya garis bawahi disini adalah, ketika seseorang bahagia, bukan berarti ia terbebas dari berbagai kesulitan hidup ataupun ia hidup dalam kegelimangan harta. Ia bisa saja mengalami berbagai kesulitan hidup dan ia bisa saja bukan seseorang yang kaya raya. Namun ketika ia merasakan puas atas keadaan dirinya, ia dapat dikatakan bahagia. Pada kenyataannya, orang-orang yang bahagia di dunia ini sesungguhnya ada. Saya sudah pernah menemui mereka melalui berbagai buku yang mereka tulis dan saya baca ataupun menemuinya langsung. Kalau menemuinya, kebahagiaan itu bisa Anda rasakan melalui pancaran wajah dan matanya. Mata, kata orang, tidak pernah berbohong. Kebahagiaan bisa berwujud seorang petani, yang meskipun tidak bergelimang harta, namun penuh rasa syukur; seorang kyai yang menjalani kehidupannya yang sederhana di desa; ataupun seorang bhikhu yang gigih menempa spiritualitasnya dan rajin mengayomi umat. Kebahagiaan itu bebas agama dan tingkatan sosial. C. Halangan-halangan Mencapai Kebahagiaan Bila seseorang baru akan memperoleh kebahagiaan hidup ketika ia merasa puas dengan keadaan dirinya, maka ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya, tentunya ia belum akan benar-benar bahagia. Dan banyak faktor yang bisa membuat kita tidak puas atas keadaan diri kita. Ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena belum berada dalam kelimpahan harta yang begitu diinginkannya, maka ia belum benar-benar akan bahagia. Ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena belum mendapatkan jawaban yang ia cari atas pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya, maka ia belum benar-benar akan merasa bahagia. Juga ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena masih terbelenggu oleh berbagai kebiasaan jelek yang sebenarnya sangat ingin ia hilangkan, maka ia belum benar-benar akan merasa bahagia. Karena setiap orang memiliki kepingan hilang yang berbeda dalam hidupnya yang ia rasa harus ia lengkapi sebelum ia bisa merasa puas dengan dirinya sendiri, maka lika-liku perjalanan yang ditempuh setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan utuh pun berbeda. Dan karena tingkat kesulitan yang harus ditempuh setiap orang untuk melengkapi kepingan yang hilang itu juga berbeda, maka waktu yang akan diperlukan setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan utuh juga berbeda. Perjalanan memperoleh kebahagiaan utuh itulah yang tampaknya akan selalu menjadi tema dasar bagi cerita setiap anak manusia. Meski demikian, ada hal lain juga yang ingin saya sampaikan. Perjuangan kita untuk memperoleh kebahagiaan utuh itu jangan sampai membuat kita menafikkan semua hal yang saat ini sudah ada pada diri kita dan seharusnya sudah bisa membuat kita merasa bahagia. Itulah yang hendak dikatakan ungkapan bijak "Tidak ada jalan menuju kebahagiaan. Justru kebahagiaan itulah jalannya". Meskipun pada prakteknya, memperoleh kebahagiaan tidak semudah itu, tapi ungkapan ini mengajarkan bahwa kita tidak boleh menunggu untuk mulai berbahagia. Kenapa? Karena menjalani hidup tanpa kebahagiaan sama sekali terasa sengsara. Ada berbagai karunia pada diri kita saat ini, yang tidak dimiliki setiap orang, yang seharusnya bisa membuat kita bersyukur. Anda, sebagaimana makhluk hidup lain yang bisa merasakan (sentient being), berhak untuk berbahagia. Jalan untuk memperoleh kebahagiaan utuh dalam hidup itu harus mulai dititi saat ini juga. Meski demikian, jangan lupa untuk mensyukuri dan berbahagia atas berbagai karunia yang sekarang sudah dimiliki dan diperoleh sepanjang jalan. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, Perkataan dalam bahasa Pali yang berarti "semoga semua makhluk hidup berbahagia". Amin. Sumber foto: Internet
1 Comment
Terima kasih kepada Editor-in-chief, Karina Ayu Budiani, yang telah memilih foto-foto dan artikel saya tentang Banten Lama untuk mengisi rubrik "Journey" majalah in-flight Sriwijaya Air edisi Lebaran (Juli 2016) ini sebanyak 8 halaman
Dalam ranah studi agama, ada 2 teori saling bertolak belakang yang berusaha menjelaskan kemunculan agama monoteis. Teori pertama menyatakan bahwa agama monoteis pada awalnya berwujud sebagai kepercayaan animisme (ruh leluhur) dan dinamisme (kekuatan alam) yang kemudian berkembang menjadi politeisme dan berakhir sebagai agama monoteis. Yang diambil sebagai contoh biasanya adalah kasus agama Yahudi, dimana sebelum orang Yahudi hanya menyembah Yahweh seperti saat ini, Yahweh dulunya hanyalah salah satu dari beberapa dewa-dewi orang Yahudi sebelum migrasi orang Yahudi ke tanah Kanaan. Keesaan Yahweh baru dikukuhkan di tanah Kanaan melalui nabi-nabi Yahudi, seperti Yesaya, Hosea dan Ezekiel. Cerita lengkap soal ini dapat dibaca di buku "The History of God"-nya Karen Armstrong. Teori kedua, terutama yang dianut agama-agama Abrahamik, utamanya Islam, menyatakan bahwa pada awalnya kepercayaan pertama umat manusia justru bersifat monoteis, karena kepercayaan ini bersumber langsung dari Ilahi yang, dalam versi agama Abrahamik, adalah monoteis. Yang justru kemudian terjadi adalah ketika manusia berpencar ke segala penjuru Bumi, di beberapa tempat kepercayaan awal ini justru "luntur" menjadi kepercayaan-kepercayaan politeis karena "melemahnya" hubungan dengan sumber awal dan masuknya pemahaman-pemahaman manusia. Oleh karena itulah maka Tuhan mengirimkan nabi-nabiNya untuk mengingatkan lagi tentang isi pesan asli sumber awal ini dan meneguhkan lagi hubungan dengannya. Demikianlah versi Islam. Setiap orang tentunya boleh memilih teori yang diyakininya berdasarkan data-data yang ia miliki dan observasi yang sudah dilakukannya. Tapi pada kesempatan ini saya ingin membahas tentang teori kedua. Sejak masa awal SMP sampai dengan masa pertengahan kuliah, saya sendiri dapat dikatakan sebagai orang yang suka menelaah agama-agama import, seperti Kristen (dan segala denominasinya), Yahudi, Baha'i, Zoroastrianisme, agama Mesir Purba ataupun Yunani Kuno. Saya sama sekali tidak menaruh minat pada agama-agama tradisional, baik yang ada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Segalanya berubah ketika pada masa akhir kuliah saya mendapatkan buku "Dialog dengan Atheis" yang ditulis oleh Mustafa Mahmud dan buku-buku seri "Mengenal Islam" yang diterbitkan Pustaka Mizan. Di buku "Dialog dengan Atheis", Mahmud menuliskan tentang perdebatan nyata antara temannya, seorang sarjana Muslim di Perancis, dengan seorang professor Perancis yang atheis. Segala argumentasi dikeluarkan masing-masing pihak, mulai dari yang bersifat ontologis, etis, ataupun saintifik, untuk membuktikan kebenaran keyakinannya masing-masing. Sementara itu di buku-buku "Mengenal Islam", yang keseluruhan serinya terdiri dari 7 buku (seingat saya), dibahas konteks kemunculan akidah dan fikih Islam. Nah, ada hal menarik yang sebelumnya belum pernah saya ketahui sama sekali ketika kedua judul buku di atas membahas persoalan Tauhid. Sebagaimana diketahui umat Islam pada umumnya, ketauhidan Tuhan adalah hal esensial dalam Islam. Demi mengingatkan tentang ketauhidan ini, dalam versi Islam, Tuhan tidak henti-hentinya mengirimkan utusan ke segala bangsa untuk mengingatkan mereka soal ketauhidan ini dan menyadarkan tentang penyimpangan-penyimpangan yang telah berkembang terkait pemahaman soal Tuhan ataupun praktek penyembahan kepada-Nya. Ada bangsa yang menerima utusan tersebut; ada yang menentangnya; dan ada yang menerima namun kemudian keturunannya kembali menyimpang. Biasanya, kalau memberi contoh soal utusan-utusan Tuhan tersebut, kebanyakan buku Islam akan menyebutkan nabi-nabi yang diutus kepada umat agama-agama Samawi selain Islam. Tapi tidak halnya dengan kedua judul seri buku yang saya sebut di atas. Kedua buku tersebut menegaskan bahwa karena Tuhan sendiri menyebutkan bahwa utusan-utusanNya dikirim kepada segala bangsa, jejak-jejak ajaran ketauhidan yang diwartakan para utusan Tuhan tersebut seharusnya bisa ditemukan pada banyak agama lokal di berbagai tempat di dunia; tidak hanya pada agama-agama Samawi. Seri buku "Mengenal Islam" memberi contoh tentang agama yang dipeluk oleh orang-orang Arya pertama yang masuk anak benua Asia dan kental ciri monotheismenya berdasarkan hasil penelitian Max Müller, seorang begawan antropologi Asia Selatan dari Jerman. Seri buku ini juga membahas tentang sosok Latta dan Uzza, dua dari beberapa tuhan orang Arab Jahiliyyah (Pra-Islam). Mereka sebenarnya adalah dua sosok manusia soleh yang dulunya pernah hidup di tengah-tengah masyarakat Arab Kuno. Sepeninggal keduanya, masyarakat Arab Kuno membuat patung untuk mengenang jasa mereka semasa hidup. Proses totemisasi (pembuatan patung untuk mengenang perbuatan baik) ini seiring waktu kemudian berubah menjadi deifikasi (peningkatan status menjadi Tuhan). Sementara itu, buku "Dialog dengan Atheis" memberi contoh tentang keyakinan masyarakat-masyarakat di pedalaman Afrika, semisal Himba, Igbo, ataupun Oromo, yang hingga kini bersifat monoteis. Buku ini dengan lantang menentang argumentasi bahwa setiap masyarakat primitif pasti bercorak animisme-dinamisme ataupun politeisme, seperti yang dikatakan teori arus utama (mainstream). Mengetahui hal-hal di atas membuat saya tertegun dan bertanya, bagaimana dengan keyakinan-keyakinan lokal Indonesia sendiri yang sebagian diantaranya sudah hadir lama sebelum datangnya agama Hindu dan Buddha? Seperti apa konsep ketuhanannya? Apakah betul semuanya bercorak animisme-dinamisme? Nah, karena saya memiliki darah Sunda dan literatur terkait keyakinan orang Sunda pra-Islam cukup mudah ditemui kalau dicari, maka saya pun tertarik mempelajari keyakinan Sunda Kuno. Dari sudut pandang Islam, dalam agama Sunda Kuno terdapat beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai ciri-ciri keyakinan monoteis. Di agama Sunda Kuno, hanya terdapat satu Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan ini dipanggil dengan banyak nama yang, keseluruhannya, sebenarnya merupakan sifat-sifatNya, seperti "Sang Hyang Tunggal" ("Yang Maha Esa"), "Sang Hyang Jatiniskala" ("Yang Maha Gaib"), "Sang Hyang Taya/Teu Aya" ("Yang Tidak Memiliki Kehadiran di Dunia Fisik"), ataupun "Sang Hyang Kersa" ("Yang Maha Memiliki Keinginan"). Sifat-sifat di atas dengan cepat mengingatkan saya pada sifat-sifat Tuhan yang jumlahnya ada 99 dalam agama Islam dan disebut "Asma'ul Husna". Mengenai Tuhan Yang Maha Esa ini dikatakan jelas di naskah Sunda Kuno bernama Siksa Kanda ng Karesian: "..Hanteu nu ngayuga aing Hanteu nu manggawe aing Aing ngangaranan maneh Sang Hyang Raga Dewata" "Tidak ada yang menjadikan Aku Tidak ada yang menciptakan Aku Aku menamai diriKu sendiri Sang Hyang Raga Dewata" Di bawah Tuhan ini, terdapat 7 figur yang juga gaib dan tidak pernah ditemui penggambarannya dalam kebudayaan Sunda. Ketujuh figur tersebut disebut "Tujuh Guriang" dan terdiri dari: 1. Sang Hyang Ijunajati 2. Sang Hyang Tunggal Premana 3. Sang Hyang Aci Larang 4. Sang Hyang Aci Kumara 5. Sang Hyang Aci Wisesa 6. Sang Hyang Manon 7. Bhatara Lengga Buana Karena penyebutan tujuh figur ini hanya ditemui pada naskah-naskah Sunda Kuno dan sudah sedikit sekali orang Sunda Modern yang mempraktekkan agama asli Sunda, tidak diketahui secara pasti peranan yang dipegang tiap figur di atas dalam agama Sunda masa itu. Bisa jadi tiap figur tersebut adalah manifestasi Tuhan, sebagaimana yang dikemukakan Prof. Agus Aris Munandar. Tapi mungkin juga bahwa ketujuh tokoh tersebut adalah pesuruh-pesuruh langsung Tuhan yang dikenal sebagai "malaikat" dalam konsepsi Islam. Ketika agama Hindu masuk ke tanah Jawa, masyarakat Sunda hanya menyerap sedikit sekali agama Hindu ke dalam kepercayaan masyarakatnya, tidak seperti masyarakat Jawa yang kepercayaan aslinya akhirnya tergantikan. Dari seluruh aspek agama Hindu, yang diserap ke dalam kepercayaan Sunda Kuno hanyalah para dewanya ("Bhatara Syiwa", dll), yang kedudukan keseluruhannya ditempatkan di bawah Tujuh Guriang asli Sunda Kuno. Siksa Kanda ng Karesian menyatakan hal tsb sebagai berikut: "..mangkubumi bhakti di ratu, ratu bhakti di dewata, dewata bhakti di hyang.." ("mangkubumi tunduk ke raja, raja tunduk ke dewata, dan dewata tunduk ke Tuhan"). Ritual ibadah ala Hindu sendiri tidak diserap ke dalam keyakinan masyarakat Sunda dan penyembahan terhadap figur dewa-dewi Hindu tidak dilakukan meluas, jika dibandingkan dengan penyembahan langsung kepada Hyang (Tuhan). Inilah sebabnya hanya ada segelintir candi di tanah Sunda. Dikarenakan kegaibannya, Tuhan maupun ketujuh guriangNya tidak dapat ditemui penggambarannya dalam agama Sunda Kuno. Mereka biasanya hanya direpresentasikan dalam bentuk menhir (batu tinggi menyerupai monumen) yang ditancapkan di teras tertinggi tempat ibadah Sunda Kuno. Menhir itu sendiri dibiarkan berbentuk batu tanpa adanya pahatan lebih lanjut sehingga menyerupai manusia (antropomorfik). Untuk sarana ibadahnya, orang Sunda Kuno memiliki tempat ibadah berbentuk teras-teras berundak yang semakin tinggi ke belakang. Bentuk ini mewarisi tempat ibadah punden berundak yang dikenal luas pada masyarakat pra-sejarah Nusantara. Di teras tertinggilah biasanya menhir diletakkan. Bila melihat pada kasus masyarakat Baduy di pedalaman Lebak, hanya pemuka agama saja yang diperkenankan memimpin doa ataupun upacara di teras tertinggi ini dengan duduk bersila menghadap menhir. Masyarakat umum duduk bersila di belakang pemuka agama di teras yang lebih rendah. Beberapa tempat ibadah Sunda Kuno bisa berukuran kecil namun beberapa juga berukuran raksasa, seperti yang dapat ditemui di Gunung Padang, Cianjur, dimana keseluruhan bukit dibentuk menjadi teras-teras di semua sisinya sampai ke atas dengan diberi dinding penahan tanah dari batu alam dan dijadikan sarana ibadah. Prof. Agus Aris Munandar mengatakan bahwa salah satu kemungkinan besar penyebab sukses diterimanya agama Islam di masyarakat Sunda, dibandingkan keyakinan sebelumnya yang mampir di tanah Jawa, adalah karena sifat monoteis Islam yang secara kebetulan sama dengan yang ada di keyakinan Sunda Kuno dan kemudahan masyarakat Sunda Kuno untuk mengidentifikasikan ajaran monoteisme Islam dengan yang sudah ada di agamanya. Kehadiran Islam di tanah Sunda sendiri tidak disangsikan membawa pengaruh pada agama Sunda yang saat ini masih dipraktekkan di beberapa kantong masyarakat Sunda tradisional (sering disebut budayawan sebagai agama Sunda Wiwitan), seperti Baduy. Dari kunjungan saya ke kampung-kampung Baduy dan perbincangan dengan mereka ketika mereka mengunjungi rumah saya di Jakarta beberapa kali, saya mengetahui bahwa di masyarakat Baduy, figur Tuhan tertinggi sendiri saat ini "sudah" bernama "Allah". Nabi Muhammad diakui sebagai utusan Tuhan kepada semua masyarakat, termasuk Baduy. Meski demikian, teman-teman Baduy saya mengatakan bahwa syariat yang dibawa kepada mereka berbeda dengan yang dibawa ke masyarakat lainnya. Ibadah mereka tidak seperti salatnya umat Islam dan puasa mereka tidak di bulan Ramadan. Sebenarnya, ritual-ritual ibadah yang mereka katakan berbeda itu tak lain adalah ritual-ritual ibadah asli agama Sunda, yang masih mereka lakukan karena Islam tidak terserap seluruhnya di Baduy. Banyak diantara mereka sendiri yang menyebut agama mereka Islam Wiwitan. Mengenai agama Sunda Kuno sendiri, masih banyak hal yang belum bisa diungkap terkait sistem kepercayaannya secara lengkap karena selain minimnya jumlah naskah Sunda Kuno, jumlah peneliti naskah, juga karena gaya bahasa naskah-naskah tersebut yang banyak mengandung ungkapan dan tidak lugas. Hal-hal itu yang selama ini disebut sebagai kendala oleh para ahli budaya Sunda. Saya berharap, bila ada lebih banyak anak muda Sunda yang tertarik mempelajari kebudayaannya dan menjadi peneliti serta lebih banyak dilakukannya perbandingan terhadap sistem kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini, semoga segala misteri yang masih melingkupi kepercayaan Sunda Kuno bisa terungkap. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|