ARIEF ONLINE
  • Home
  • Curriculum Vitae
  • Thoughts
  • Photographs
  • Poems
  • Languages Learning
    • Indonesian Phrases
    • Persian Phrases
    • French Phrases
    • German Phrases
    • Dutch Phrases
    • Learning Materials
  • Contact

5 Tahap Seseorang Menjadi Teroris Menurut Moghaddam

27/7/2017

1 Comment

 
Picture
​Sebagai pemeluk salah satu agama Abrahamik, sudah sering saya mendengarkan tuduhan bahwa adalah wajar untuk melihat teroris-teroris lahir dari tengah-tengan kalangan pemeluk agama-agama Abrahamik, karena agama-agama Abrahamik mempercayai bahwa hanya agama mereka masing-masing lah yang benar.

Anggapan tersebut perlu saya sanggah atas dasar dua hal:

(1) Sejujurnya, meskipun agama-agama lain di luar agama-agama Abrahamik tidak secara eksplisit menyatakan bahwa agama mereka adalah yang paling benar, namun umumnya terdapat juga kepercayaan di antara kalangan pemeluk agama-agama tersebut bahwa agama mereka adalah jalan spiritual paling pas menuju pencerahan berdasarkan pengalaman spiritual pendirinya. Bila tidak ada kepercayaan semacam ini, secara logika tidak akan pernah ada hal yang membuat seseorang menjadi penganut setia suatu agama.

(2) Sejarah membuktikan bahwa kekerasan dan terorisme dapat dan telah dilakukan oleh umat dari berbagai agama. Saya merasa tidak perlu untuk menuliskan daftar kekerasan yang pernah dilakukan umat setiap agama dalam sejarah di sini. Cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa tidak ada satupun umat beragama (dan juga kaum tidak beragama) yang dapat mengatakan bahwa sejarah umatnya bebas noda.

Bila keyakinan bahwa agama kita adalah agama yang paling benar bukan merupakan motif melakukan tindak kekerasan, maka apa motif melakukan tindak kekerasan?

Untuk menjawab itu, saya berusaha melihat masa muda saya (SMP) ketika saya sangat dipenuhi perasaan keagamaan dan, sayangnya, juga kebencian yang meluap-luap terhadap pemeluk agama lain. Dalam definisi saya saat ini, saya pada saat itu dapat dikatakan cukup radikal.

Apa yang menyebabkan kebencian saya saat itu yang begitu meluap-luap? Pada saat itu, melalui pergaulan saya dan media-media yang saya baca, saya memiliki keyakinan bahwa umat agama saya selalu menjadi korban intimidasi dan ketidakadilan umat beragama lain dimana-mana. Kemudian timbul rasa dendam pada diri saya.

Pada saat itu saya belumlah paham bahwa meskipun memang ada bagian dari umat-umat beragama lain yang tindakannya tidak baik, namun sisanya adalah manusia persis seperti saya yang juga menginginkan hidup yang damai dan bahagia dengan manusia lainnya. Ini baru saya pahami ketika saya mulai banyak bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda dengan saya.

Selain itu, setelah saya banyak membaca sejarah, saya pun mulai mengetahui bahwa di beberapa tempat dan kesempatan, ada bagian umat beragama saya juga yang melakukan tindakan tidak adil terhadap umat beragama lainnya. Ternyata umat beragama saya pun tidak bebas noda.

Dari pengalaman saya, saya menyimpulkan bahwa seseorang bisa memiliki kebencian dan motif untuk melakukan tindak agresif terhadap kelompok lain, bila ia merasa bahwa ia adalah bagian dari kelompok tertindas (victim) dan tidak mengetahui/tidak bisa melihat bahwa kelompoknya sendiri juga tidak bebas noda dan barangkali malah pernah melakukan hal tidak adil/benar terhadap kelompok lain.

Kesimpulan saya ini kemudian diperdalam ketika kemudian saya mengetahui tentang teori "Staircase to Terrorism" (Tahap-tahap Menjadi Teroris) yang dikemukakan oleh Fathali M. Moghaddam, seorang psikolog senior Amerika yang selama ini meneliti motif orang-orang yang melakukan tindakan terorisme.

Hal yang menarik tentang teori Moghaddam ini adalah bahwa siapapun yang pada awalnya tidak memiliki pemikiran teroris, termasuk Anda, pada akhirnya bisa menjadi seseorang yang berpemikiran teroris, bila orang tersebut berada pada kondisi yang tepat dan menempuh jalan-jalan tertentu yang pada akhirnya akan mengubah dirinya.

Jalan-jalan tersebut diibaratkan oleh Moghaddam bagaikan anak-anak sebuah tangga. Ketika seseorang menaiki satu anak tangga, maka terjadi suatu transformasi pada dirinya yang lebih memudahkan ia untuk melakukan tindakan terorisme. Total ada 5 anak tangga menurut Moghaddam untuk mengubah seseorang menjadi teroris.

Hal menarik lainnya tentang penelitian Moghaddam adalah, berseberangan dengan pendapat umum, para pelaku teroris sebagian besar ternyata tidak memiliki masalah ekonomi dan bukan merupakan orang berpendidikan rendah.

Lantas apa saja tahap-tahap yang bisa membuat seseorang melakukan tindakan terorisme terhadap pihak tertentu dan diibaratkan sebagai 5 anak tangga oleh Moghaddam?

Perlu diingat lagi bahwa, sebagaimana telah disampaikan di bagian-1 dari tulisan ini, ketika seseorang naik tingkat, maka orang tersebut akan semakin agresif dan semakin mungkin melakukan tindakan terorisme.

Berikut adalah rangkuman saya dengan nama masing-masing tingkat sesuai yang diberikan oleh Moghaddam.

(1) "Ground Floor: Psychological Interpretations of Material Conditions"

Tahap ini merupakan prasayarat melakukan tindakan terorisme. Pada tahap ini muncul perasaan (subyektif) pada satu/sekelompok orang bahwa mereka telah mendapatkan perlakuan tidak adil di bawah suatu sistem.

(2) "First Floor: Perceived Options to Fight Unfair Treatment"

Orang-orang yang naik ke tahap ini adalah mereka yang melihat bahwa hanya ada sedikit atau malah sama sekali tidak ada jalan yang diakui di dalam sistem dimana mereka bisa menyuarakan ketidakpuasan atas ketidakadilan yang mereka terima ataupun memperbaiki ketidakadilan tersebut.

(3) "Second Floor: Displacement of Agression"

Mereka yang naik ke tingkat ini adalah mereka yang telah memiliki pandangan bahwa hanya ada sedikit atau malah satu pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas ketidakadilan yang mereka alami.

(4) "Third Floor: Moral Engagement"

Orang-orang yang naik ke tingkat ini adalah segelintir orang yang telah memandang pihak yang menyebabkan ketidakadilan yang mereka terima sebagai musuh nyata dan meyakini bahwa harus diambil suatu tindakan fisik terhadap musuh ini.

Ini tidak ubahnya seperti pandangan orang awam yang melihat bahwa pihak/negara luar yang menginvasi negara mereka dan menyebabkan kekacauan di dalam negeri sebagai musuh yang harus diperangi balik.

Moghaddam juga menyebutkan bahwa di tahap inilah biasanya repertoar tentang moralitas bergaung di kalangan teroris. Sementara pihak oposisi melihat para teroris tersebut sebagai orang-orang tidak bermoral (karena melakukan tindakan tidak manusiawi), para teroris justru melihat bahwa pihak musuhlah yang sebenarnya tidak bermoral.

Kezaliman-kezaliman yang dilakukan pihak musuh sentiasa disebut berulang-ulang di dalam lingkaran para teroris, disertai pesan bahwa tindakan memerangi musuh adalah tindakan yang harus dilakukan untuk mengembalikan segala sesuatu ke keteraturan yang seharusnya.

Di tahap ini pula, orang-orang yang telah direkrut oleh organisasi-organisasi teroris akan mulai diisolasi dan dibatasi interaksinya dengan dunia luar, untuk menjamin bahwa mereka memiliki idealisme yang sama seperti organisasi perekrutnya dan terjaga "kemurnian" idealismenya dari pengaruh-pengaruh luar.

(5) "Fourth Floor: Solidification of Categorical Thinking and the Perceived Legitimacy of the Terrorist Organization"

Moghaddam menyebutkan bahwa mereka yang sudah masuk ke tahap ini hanya memiliki kesempatan kecil sekali atau sudah tidak akan bisa lagi keluar hidup-hidup.

Mereka yang berada di sini sudah memiliki program-program pasti yang akan mereka jalankan untuk memerangi musuh. Untuk menjalankan program-program tersebut, akan dibentuk kelompok-kelompok kecil (disebut sel-sel teroris) yang terdiri dari 4-5 orang, dimana setiap orang memiliki peranan.

Pembagian menjadi kelompok-kelompok kecil ini lazim dilakukan oleh organisasi-organisasi teroris, agar bila satu sel teroris terbongkar oleh musuh, maka sebagian besar struktur dan agenda organisasi teroris tersebut tetap tidak dapat diketahui.

Moghaddam juga menyebutkan bahwa setiap sel teroris tersebut umumnya dipimpin oleh seorang yang karismatik dan akan memberikan perhatiannya kepada para anggotanya yang telah direkrut hingga tahap ini. Pada saat yang sama, mereka terus diisolasi dan mengalami indoktrinasi bahwa apa yang sedang dan akan mereka lakukan adalah untuk mencapai tujuan yang mulia.

(6) Fifth Floor: The Terrorist Act and Sidestepping of Inhibitory Mechanisms

Pada tahap ini dilakukan persiapan-persiapan final sebelum tindakan terorisme dilakukan.

Hal-hal yang dianggap sebagai penghalang, menurut Moghaddam, akan disingkirkan. Termasuk rasa kemanusiaan dan belas kasih terhadap warga sipil, bila warga sipil tersebut harus menjadi target mereka. Ditanamkan pemahaman bahwa warga sipil hanya bisa dianggap sebagai teman bila warga sipil tersebut mendukung organisasi teroris mereka.

Menurut Moghaddam pula, rasa belas kasih otomatis terpinggirkan melalui mekanisme dan alat-alat yang dipilih para teroris untuk melakukan aksi terorisme mereka.

Organisasi-organisasi teroris umumnya memilih alat-alat atau metode-metode yang akan menimbulkan kematian seketika, baik pada target maupun pelaku. Hal ini menyebabkan mereka yang telah direkrut untuk melakukan aksi terorisme tidak dapat menyaksikan ketakutan pada wajah calon korban, permohonan mereka agar mereka diijinkan hidup (seandainya mereka tahu akan menjadi korban), ataupun kesusahan dan kedukaan mendalam yang akan ditinggalkan pada keluarga para korban; yang mana bila kesemuanya itu dapat disaksikan oleh para pelaku teror maka sesungguhnya bisa menimbulkan rasa belas kasih pada diri pelaku teror dan menyebabkan mereka mengurungkan niatnya.

Moghaddam mengatakan bahwa rasa belas kasih sebenarnya merupakan bagian alami dari jiwa manusia sebagai binatang. Bahkan seekor serigala yang pada dasarnya bersifat agresif pun, dalam contoh yang diberikan Moghaddam, akan merasakan iba dan mengijinkan serigala yang menjadi lawannya untuk pergi, bila setelah lawan tanding serigala yang menjadi lawan tersebut menderita luka hebat dan memberikan tanda-tanda bahwa ia mengaku kalah.

Untuk menutup teorinya, Moghaddam menyampaikan bahwa memburu para teroris dan menghancurkan organisasi mereka sebenarnya tidak akan pernah bisa mengakhiri terorisme. Karena terorisme dilahirkan melalui berbagai keadaan yang telah disebutkan, maka langkah terbaik untuk mengakhiri terorisme, menurut Moghaddam, adalah dengan merubah/memperbaiki keadaan-keadaan tersebut.

Selain memperbaiki ketidakadilan yang dapat dirasakan sebagian kalangan masyarakat, pemerintah, Moghaddam menyontohkan, harus memberi kesempatan kepada semua pihak untuk menyampaikan ketidakpuasannya dan turut serta memperbaiki keadaan yang ada.

Bila pihak yang merasa tidak mendapat ketidakadilan tersebut telah berubah menjadi organisasi teroris, maka, Moghaddam mengutarakan, bukanlah tidak mungkin untuk mengajak mereka berdialog dan ikut serta memperbaiki kondisi yang ada dengan mengasimilasi mereka ke dalam politik secara perlahan. Hal ini telah terjadi pada IRA (organisasi pemberontak di Irlandia Utara) (dan juga GAM, menurut hemat penulis).

Pada akhirnya, dalam perspektif Moghaddam, adalah lebih baik untuk mencegah kemunculan suatu penyakit daripada hanya terus menerus berusaha mengatasi gejalanya.

​
1 Comment

Budaya Kebebasan Berpendapat di Eropa dan Bagaimana Muslim Diharapkan Bersikap Oleh Budaya Mereka

9/1/2015

0 Comments

 
Picture

Saya jadi ingin menulis ini tak lain karena insiden penembakan terhadap para staf koran Charlie Hebdo baru-baru ini yang dipandang sebagai salah satu corong kebebasan berpendapat di Eropa.

Sebenarnya kalau kita lihat, budaya kebebasan berekspresi yang ada di Eropa saat ini adalah respon atas masa lalu mereka sendiri, ketika institusi agama pernah memegang wewenang yang terlalu besar, aparat institusi menyeleweng, dan akhirnya memberangus hal-hal yg dapat mengancam eksistensi mereka, termasuk pihak-pihak yang tidak sepandangan dengan mereka.

Di dunia Barat, memang Eropa lah yang paling bersikap kritis dan sering cenderung melecehkan eksistensi agama. Bukan cuma Muslim dan Muhammad yg sering jadi bulan-bulanan. Kristen dan Yesus pun jadi korban. Karena seperti yg kita tahu, masyarakat Eropa saat ini sebenarnya sudah cenderung agnostik dan atheis.

Di dunia Barat, orang-orang Amerika cenderung berbeda. Dibandingkan orang-orang Eropa, saya bisa katakan bahwa mereka cenderung masih lebih religius. Hal ini terlihat jelas dari masih sengitnya penentangan terhadap diajarkannya teori Evolusi di sekolah-sekolah di Amerika. Di Eropa, penentangan-penentangan seperti ini bisa dikatakan sudah mati.

Karena sebab di ataslah maka pelecehan terhadap eksistensi agama tidak terlalu sering mencuat di Amerika. Ini tak lain karena sejarah Amerika itu sendiri, dimana para imigran awal ke Amerika termasuk kelompok-kelompok agama yang tertindas di Eropa.

Zaman Pencerahan (Age of Enlightment) adalah titik balik dalam sejarah Eropa, dimana wewenang institusi agama mulai dibatasi, sekularisme mulai dipromosikan, begitu pula kebebasan berpendapat. Sejak mulai diperkenalkan, sekularisme dan kebebasan berpendapat seakan-akan selalu menjadi kebanggan masyarakat Eropa; sebuah cerminan 'kemenangan' atas masa lalu mereka sendiri.

Selama ini kebebasan berpendapat ini bukannya tidak mendapatkan penentangan dari dalam masyarakat Eropa itu sendiri. Lantas kenapa kebebasan berpendapat ini dipertahankan?

Berdasarkan apa yang saya pelajari selama ini, argumen yang paling sering digunakan untuk mendukung kebebasan berpendapat adalah kebebasan berpendapat dianggap bagus untuk membuka wawasan dan mendidik masyarakat.

Menurut argumen ini, bila pendapat yang dikemukakan adalah benar, maka bagus bagi masyarakat untuk mengetahuinya. Sementara bila pendapat yang dikemukakan ternyata salah, maka pihak yang tidak menerima pasti akan melakukan 'counter argument'. Melalui 'counter argument' inilah masyarakat dapat mengetahui alasan dari pihak yang tidak setuju dan mendapat proses pembelajaran.

Dalam budaya kebebasan berpendapat yang seperti ini, saya membayangkan bahwa respon yang diharapkan dari komunitas Muslim ketika Islam diserang adalah komunitas Muslim diharapkan tidak kebakaran jenggot, bersikap 'cool' dan melakukan 'counter argumen' secara intelektual melalui alat-alat publikasi.

Tentu saja komunitas Muslim tidak diharapkan untuk selalu merespon terhadap semua serangan, apalagi terhadap serangan-serangan yang 'berintelektualitas rendah', termasuk dalam bentuk pelecehan-pelecehan melalui karikatur. Inilah bagaimana pihak gereja Eropa saya perhatikan selama ini merespon serangan-serangan dari beberapa media Eropa selama ini.

Tentu saja sebagaimana ide ciptaan manusia lainnya, 'kebebasan berpendapat' ini belum tentu benar. Apalagi ketika dihadapkan pada tradisi masyarakat Timur, sebuah tradisi dimana Islam, sebagaimana Kristen pada awalnya, dilahirkan.

Melalui masyarakat Jawa dan Jepang, saya belajar bahwa dalam masyarakat Timur, kita dianggap tidak perlu menonjolkan perbedaan-perbedaan (termasuk perbedaan pendapat), bila perbedaan-perbedaan ini hanya akan membuat masyarakat menjadi tidak koheren dan tidak harmonis. Disini yang diutamakan adalah keharmonisan dalam masyarakat. Sisi buruknya adalah suara-suara individu seringkali tidak bisa terdengar dalam masyarakat Timur.

Sebagai kesimpulan, pada akhirnya kita bisa melihat bahwa cara bersikap yang berbeda yang dimiliki masyarakat Timur dan Barat saat ini tak lain adalah karena permasalahan dan proses pembelajaran yang pernah dialami masing-masing masyarakat di masa lalu.

Bagi saya pribadi, hal yg seharusnya dilakukan saat ini adalah menjembatani perbedaan cara pandang dan sikap antara masyarakat Barat dan Timur.

Masyarakat Barat harus belajar bahwa karena peradaban mereka saat ini sedang memimpin dalam hal iptek dan ekonomi, bukan berarti seluruh idealisme yang mereka miliki adalah benar dan harus diterima semua pihak. Masyarakat Timur punya cara-caranya sendiri.

Sebaliknya, masyarakat Timur juga mungkin bisa belajar dari semangat obyektivitas dan keterbukaan informasi yg dimiliki masyarakat Barat; sebuah tujuan awal dari diusungnya idealisme 'kebebasan berpendapat' yang meskipun pada akhirnya juga lumayan sering menimbulkan gesekan.

​Wallahu a'lam bish shawaab 

0 Comments

Living Islam: From Samarkand to Stornoway

29/12/2014

0 Comments

 

Sampai saat ini, buku sosiologi karya Akbar S. Ahmed terbitan Mizan yang saya beli ketika SMP kelas 2 ini bagi saya masih merupakan buku terbaik yang menjelaskan secara ringkas dan padat lika-liku perkembangan peradaban Islam dari zaman nabi Muhammad hingga abad ke-20. Gaya bahasanya sangat mengalir dan foto-fotonya bagus. Sangat direkomendasikan.

Picture
0 Comments

Kenapa Saya Tak Lagi Tergila-gila dengan Peradaban Barat?

8/1/2014

0 Comments

 

​Ketika kita mencintai atau membenci sebuah kebudayaan, baik asing maupun lokal, bisa jadi itu adalah karena kita belum mendapatkan gambaran seutuhnya tentang kebudayaan tersebut.

Melihat kasus saya sendiri. Sampai awal masa kuliah saya adalah seorang pengagum Eropa dengan sejarahnya dan produk-produk sejarah masa silamnya. Kekaguman ini adalah sebab kenapa saya akhirnya tertarik untuk mempelajari beberapa bahasa Eropa. Tapi, setelah saya mengenal Eropa lebih dalam dengan membaca literatur-literatur tentang sejarah, perkembangan agama, sains dan permasalahan sosial disana, juga dengan berteman dan banyak berdiskusi dengan orang-orang Eropa, Eropa kini menjadi benua yang kering bagi saya dan tidak tampak semenarik dulu lagi, meski ada beberapa aspek budayanya yang masih saya hargai.

Eropa kering akan nilai-nilai agama. Manusia-manusia Eropa banyak yang terjebak dalam kehidupan individualistis; kehilangan kehangatan kehidupan bersama dan berujung pada kesepian dan kejengahan di tengah-tengah keberlimpahan materi, walau hal ini juga mulai merosot di Eropa belakangan ini.

Sebaliknya, saya malah mulai menghargai dan mempelajari negeri saya sendiri dan kebudayaannya. Justru teman-teman Eropa saya yang mengajari saya. Dari merekalah saya belajar bagaimana negeri ini tampak begitu istimewa di mata mereka. Barangkali, kita memang harus lebih sabar. Sabar untuk tidak cepat tertarik dengan apa yang kelihatan di depan mata. Dan juga sabar untuk lebih menghargai apa yang sudah terasa sangat biasa untuk kita a.k.a things that we take for granted.

0 Comments

Apa yang Biasanya Disukai Bule dari Indonesia?

8/1/2014

0 Comments

 

Berdasar pengamatan saya, apa yang umumnya dicintai para bule yang pernah berkunjung atau menetap di Indonesia?

1) Orang Indo sangat ramah dan terbuka. Walau para bule ini jauh dari keluarganya, dengan cepat mereka bisa menemukan keluarga baru disini.

2) Alam Indonesia punya segalanya: hutan-hutan perawan yang menunggu untuk dijelajahi di Kalimantan, sungai-sungai yang panjang dan berarus deras di Sumatera, gunung-gunung berapi di Jawa, dan pantai-pantai yang indah di Bali dan Lombok. Semuanya adalah tujuan yang menggiurkan untuk para bule yang gila backpacking.

3) Di Indonesia, modernitas dan tradisionalisme hidup berdampingan. Beberapa ratus kilometer dari Jakarta, ibukota RI yang penuh modernitas dan keglamoran, masih ada suku Baduy di Banten yang mengisolasi diri dan hidup seperti ratusan tahun yg lalu. Jangan lupakan juga teman-teman Dayak kita atau teman-teman di Toraja dan Papua. Di Eropa, banyak hal sudah menjadi modern dan tampak sangat membosankan.

4) Banyak peninggalan kebudayaan Indonesia yang mengagumkan. Apakah ada yang bisa menahan decak kagum ketika menyaksikan Borobudur atau Prambanan sendiri secara langsung?

5) Wanita Indonesia cantik-cantik. Kulit mereka yg sawo matang membuat mereka sangat eksotis dibanding kulit wanita-wanita bule yang pucat pasi.

6) Di Indonesia, semua serba murah. Terkadang ini berlaku juga buat wanita-wanita nakalnya. Ya tentu buat bule-bule nakal jg.

​Hal-hal di atas bukan kata-kata saya sendiri, tapi pengakuan dari banyak temen bule. Negeri ini adalah surga, a paradise on the equator. Sayang sekali kalau kita, putra putri bangsa, tidak bisa menghargai negeri ini sebagaimana bangsa-bangsa luar menghargai negeri kita.

0 Comments

    TOPICS

    All
    Anthropology
    Archaeology
    Architecture
    Astronomy & Cosmology
    Biology
    Book Recommendation
    Business & Property
    Economy
    Education
    Film Recommendation
    General Science
    Geography
    Geology
    Geopolitics
    History
    Life
    Linguistics
    Others
    Philosophy
    Photography
    Place Recommendation
    Poem
    Politics
    Psychology
    Quantum Physics
    Religion
    Sociology

    RSS Feed

    MONTHS

    December 2019
    November 2019
    October 2019
    June 2019
    May 2019
    March 2019
    February 2019
    November 2018
    October 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014
    May 2014
    April 2014
    March 2014
    February 2014
    January 2014
    December 2013
    November 2013
    September 2013
    August 2013
    June 2013
    May 2013
    April 2013
    March 2013
    February 2013
    January 2013
    December 2012
    November 2012
    October 2012
    September 2012
    August 2012
    July 2012
    June 2012
    May 2012
    March 2012
    February 2012
    November 2011
    December 2009
    November 2009
    January 2009
    May 2008
    March 2008
    January 2008
    December 2007

  • Home
  • Curriculum Vitae
  • Thoughts
  • Photographs
  • Poems
  • Languages Learning
    • Indonesian Phrases
    • Persian Phrases
    • French Phrases
    • German Phrases
    • Dutch Phrases
    • Learning Materials
  • Contact