What I believe: Bravery is not the absence of fear. It's the persistence to hold ground and push through the storm because we know we have to do it. The scars left on our face, then, are what make us human, fully taught.
0 Comments
Kalau kita memperhatikan, hampir di setiap pertandingan olahraga, tim Selandia Baru pasti akan selalu melakukan ritual tari perang sebelum bertanding. Tari ini dilakukan oleh seluruh anggota tim, tak peduli etnis asal-usulnya. Tari perang ini disebut Haka dan merupakan bagian kebudayaan Maori, penduduk asli Selandia Baru yang juga merupakan saudara serumpun kita dan kini menjadi minoritas di negerinya sejak kedatangan bangsa Eropa. Selain untuk menunjukkan kekuatan dan nafsu membunuh, Haka juga bertujuan untuk meningkatkan semangat tim. Haka juga sering dilakukan di lingkungan dan acara-acara militer Selandia Baru. Pasar Gambir adalah asal muasal Pekan Raya Jakarta saat ini. Pasar ini merupakan bazar yang pertama kali diadakan pemerintah kolonial Belanda pada 1906 dan diadakan rutin per tahun sejak 1921 hingga 1942. Pada saat itu pasar ini hanya dapat dikunjungi oleh orang Belanda maupun pribumi dan Tionghoa kalangan atas. Bagi saya sebagai arsitek, yang unik dalam penyelenggaraan Pasar Gambir ini adalah para arsitek Belanda selalu mendesain kios-kios yang bentuknya terinspirasi dari arsitektur Nusantara. Kios-kios tersebut berukuran besar, menggunakan bahan organik layaknya arsitektur Nusantara, dan selalu dibongkar dan berganti desain pada setiap penyelenggaraan Pasar Gambir. Penyelenggaraan pasar ini terhenti pada jaman kolonial Jepang dan meninggalkan ciri khas berupa kios-kios yang bentuknya terinspirasi arsitektur Nusantara sejak diselenggarakan lagi setelah kemerdekaan Indonesia. Seluruh bahasa dunia memiliki keunikannya masing-masing. Apalagi menurut Sapir-Whorf (yang hipotesanya dijadikan landasan film "Arrival"), bahasa dapat menunjukkan cara berpikir dan pandang para penuturnya terhadap lingkungan di sekitarnya. Dengan +/- 7.000 bahasa dunia yang ada sekarang, maka saat ini ada +/- 7.000 cara berbeda memandang dunia.
Apa saja contoh keunikan bahasa-bahasa dunia? Pertama, tidak semua bahasa memiliki kata benda. Contohnya adalah bahasa Navajo (suku Indian di Amerika) yang hanya memiliki kata benda dalam jumlah sangat sedikit. Untuk menyatakan "tank", sebagai contoh, orang Navajo mengatakan "chidi naa naʼi bee ʼeldǫǫh tsoh, bikaaʼ dah naazniligii" yang dalam bahasa Indonesia berarti "yang berjalan, mampu meledakkan dan diduduki di atasnya". Ada juga bahasa yang tidak memiliki kata-kata yang menunjukkan posisi seperti "depan", "belakang", dll. Contohnya adalah bahasa Guugu Yimithirr (salah satu bahasa Aborigin Australia). Di dalam bahasa Yimithirr, untuk menunjukkan posisi kita menggunakan arah mata angin. Sebagai contoh: "Bola itu persis ada di utara kamu", "Rumah saya ada di tenggara diri saya". Sedari kecil, anak-anak penutur bahasa Yimithirr sudah menerima pemahaman dan memiliki kesadaran tentang arah mata angin di alam bebas. Masih banyak contoh keunikan bahasa-bahasa dunia lainnya. Akan saya bahas dalam artikel yang lebih panjang ketika nanti saya ada waktu lagi. Was persönlich für mich als einen Architekt seit einigen Jahren eine wichtige Frage geworden ist, ist wie moderne indonesische Architektur aussehen müsste? In dieser Zeit, wo Modernismus in Architektur ein Trend und dem überall, einschließlich Indonesien, gefolgt wird, habe ich Sorge, dass indonesische Architektur der anderer Länder ähneln und ihre Einzigartigkeit verlieren würde. Wie kann indonesische Architektur modern und, gleichzeitig, einzigartig bleiben? Um die Antwort auf jene Frage zu entdecken, habe ich versucht, die Grundlage von Architektur anzuschauen. Meiner Meinung nach ist grundsätzlich Architektur eine Reaktion auf 3 Sachen: lokalen Umweltzustand, einheimische Gemeinschaftswerte und -glaube, und Materiellverfügbarkeit. In aller Zeit und überall wird immer Architektur, meiner Ansicht nach, durch diese 3 Umstände gestaltet. Indonesische Architektur könnte modern und, gleichzeitig, originell bleiben, wenn wir die erwähnten 3 Umstände typisch zu indonesischem Zustand verstehen können. Diesbezüglich kann ich sagen, dass es nicht indonesisch ist, wenn wir zu viel Verglasung an unseren Bauen gebrauchen, weil es sub-tropischem Zustand, der immer sonnenlichthungrig ist, passt. Es ist auch nicht indonesisch, wenn wir unsere Architektur dicht machen, da Indonesien immer warm ist und unsere Bauen genuge natürliche Verluftung brauchen. Die Abwesenheit genuger natürlicher Verluftung in tropichen Ländern heisst dauerndes Gebrauch von Klimaanlage und mehr Kosten. Ich muss auch sagen, dass ich stimme nicht zu, wenn einige indonesischen Architekte versuchen, "indonesische" Architektur wiedereinzuführen, indem sie einfach einige Architekturforme aus indonesischer Vergangenheit, wie z.B. das Toraja-dach, benutzen. Warum? Wenn wir Beobachtung ausführen, können wir finden, dass sich indonesische Architektur von Zeit zu Zeit transformiert, d.h. von der Steinzeit zur Klassikzeit. Wenn wir einfach die Architektursprache aus der Vergangenheit gebrauchen und erhalten, heisst das, dass wir indonesische Architektur zum Halten bringen! Wir, als Architekte, müssen indonesische Architektur für unsere Zeit wiederinterpretieren! Ich bin auch noch nicht fertig mit meinem Lernen von den im Anfang 3 erwähnten Umständen typisch zu indonesischem Zustand. Aber hiermit will ich alle indonesische Architekte einladen, um indonesische Architektur für unsere Zeit festzulegen und etwas zu indonesischer Architektur Beitrag geben. Bilderquelle: Internet A. Mengenal Apotheosis
Dalam ilmu antropologi, salah satu topik yang menarik minat saya adalah kepercayaan-kepercayaan primitif dunia dan sejarah agama-agama dunia. Terkait topik ini, salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah apotheosis. Apa itu apotheosis? Apotheosis (bhs. Yunani) alias deifikasi (bhs. Latin) adalah pengangkatan manusia menjadi suatu sosok adikodrati. Bila kita menilik kepercayaan-kepercayaan tua dunia, ini adalah suatu fenomena yang umum terjadi. Terkecuali kita mempelajari bukti-bukti sejarah yang ada di tiap-tiap bangsa melalui disiplin ilmu semacam antropologi, barangkali kita tidak akan mengetahui bahwa banyak sosok dewa-dewi yang kita kenal di berbagai kepercayaan kuno sebenarnya dulunya adalah sosok-sosok manusia nyata yang pernah hidup. Dikarenakan jasa-jasanya, mereka lantas diangkat menjadi dewa oleh generasi berikutnya. Di tulisan singkat ini, saya hanya akan membatasi pembahasan apotheosis pada 3 kepercayaan tua dunia: Arab Pra-Islam, Tiongkok dan India. B. Apotheosis pada Kepercayaan Arab Pra-Islam Mereka yang mempelajari sejarah Arab pra-Islam umumnya mengetahui bahwa kepercayaan Arab pra-Islam telah mengenal sosok Allah sebagai Tuhan sebagaimana Islam. Bahwasanya masyarakat Arab pra-Islam telah mengenal Allah juga dijelaskan di berbagai ayat di Al-Qur'an. Kemungkinan, sosok Allah diperkenalkan ke masyarakat Arab oleh Ismail, seorang tokoh nabi dalam agama Abrahamik, dan ayahnya, Ibrahim, ketika mereka masuk tanah Hijaz dan Ismail serta keturunannya mulai bermukim disana. Sepanjang yang saya tahu, sebagaimana diajarkan Ismail, sosok Allah tidak pernah diberi bentuk dan dibuat patungnya oleh masyarakat Arab pra-Islam. Hanya saja, sepeninggal Ismail, masyarakat Arab pra-Islam mulai mengenal berbagai dewa-dewi yang diberi kedudukan di bawah Allah. Empat diantaranya yang terkenal adalah Latta, Manat, Uzza dan Hubal. Oleh masyarakat Arab pra-Islam, Manat, Latta dan Uzza dianggap sebagi para putri Allah. Manat adalah yang tertua, diikuti Latta lalu Uzza. Sementara itu Hubal adalah suami Manat. Tentang peranan mereka dalam kepercayaan Arab pra-Islam tidak akan dibahas disini dan bisa dibaca di "Kitab al-Asnam" ("Book of Idols"), sebuah buku tentang tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang ditulis oleh Hisham ibn al-Kalbi, seorang sejarahwan Persia di awal masa Islam. Sementara ada berbagai pendapat modern soal asal-usul sosok Manat, Latta, Uzza dan Hubal, kita bisa melihat indikasi telah terjadinya apotheosis, terutama menyangkut figur Latta, bila melihat catatan para perawi hadits di awal masa Islam yang masih mengenal tradisi Arab pra-Islam. Tentang sosok Latta, Ibnu Katsir menjelaskan: وَكَانَتِ “اللَّاتُ” صَخْرَةً بَيْضَاءَ مَنْقُوشَةً، وَعَلَيْهَا بَيْتٌ بِالطَّائِفِ لَهُ أَسْتَارٌ وسَدَنة، وَحَوْلَهُ فِنَاءٌ مُعَظَّمٌ عِنْدَ أَهْلِ الطَّائِفِ “Al-Latta adalah patung putih yang berukir. Ia ditempatkan dalam sebuah rumah di Tha’if yang memiliki kelambu-kelambu dan juru kunci. Sekelilingnya terdapat halaman. Latta di agungkan oleh penduduk Tha’if” (Tafsir Ibnu Katsir 7/455) Sementara riwayat Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan Abu Shalih menjelaskan lebih jauh: كان رجلا يَلُتّ السويق للحاج فلما مات عكفوا على قبره فعبدوه “Al-Latta dahulu adalah seorang lelaki yang membuat adonan roti (yang dibagikan cuma-cuma) kepada jama’ah haji. Ketika ia meninggal, orang-orang beri’tikaf di kuburannya dan menyembahnya” (Tafsir Ath Thabari 22/523). Bila kita merujuk pada keterangan para perawi hadits di awal masa Islam sebagaimana contoh-contoh di atas, dapat diketahui bahwa Latta adalah sosok dermawan yang sering melayani jemaah haji pada masa pra-Islam. Untuk mengenangnya, orang-orang Arab pra-Islam selalu mengunjungi kuburannya setelah ritual haji dan berdoa kepadanya. Di kemudian hari, mereka membuat patungnya dan sosoknya mengalami apotheosis. Sampai saat ini sendiri saya masih mencari informasi apakah telah terjadi apotheosis juga pada sosok Manat, Uzza dan Hubal, namun belum berhasil menemukan. C. Apotheosis pada Kepercayaan Tiongkok Kepercayaan Tiongkok mengenal banyak dewa-dewi. Dua diantaranya yang cukup terkenal adalah dewi Guan Yin (bhs. Mandarin; alias Kwan Im dalam bhs. Hokkian) dan dewa Guan Yu (bhs. Mandarin; alias Kwan Kong). Guan Yin adalah dewi yang dikaitkan dengan kasih sayang. Setelah masuknya Buddhisme ke Tiongkok, Guan Yin dianggap sebagai perwujudan bodhisatwa dari sosok sejarah Avalokitesvara yang dalam Buddhisme India sebenarnya berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, Guan Yu adalah dewa pelindung dan seringkali dijadikan simbol kejujuran dan kesetiaan. Terkait Guan Yin, kita bisa melihat indikasi terjadinya apotheosis pada sosok ini bila melihat berbagai legenda Tiongkok tentang asal-usul tokohnya. Salah satunya adalah sebagaimana disampaikan biksu Buddhis dari abad ke-11, Jiang Zhiqi, dalam kitabnya 香山寶卷 (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai "Precious Scroll of Fragrant Mountain"). Berdasar penelitiannya, Jiang meyakini bahwa sosok yang dipuja masyarakat Tiongkok sebagai Guan Yin sebenarnya dulunya adalah seorang putri yang pernah hidup, bernama Miao Shan. Singkat cerita, Miao Shan ingin menjadi biarawati dan hidup selibat, sementara ayahnya, Miao Zhuang Yan menginginkan dia menikah dengan seorang penguasa tersohor. Demi mencapai keinginannya, Miao Zhuang Yan melakukan berbagai paksaan dan kekejaman terhadap putrinya sehingga putrinya melarikan diri ke sebuah gunung. Suatu hari sang ayah jatuh sakit. Tabib yang ia temui mensyaratkan agar ia mendapatkan potongan tangan dan mata manusia sebagai bagian dari ritual penyembuhan bila ingin sembuh. Ia pun mendapatkan potongan dan mata yang ternyata berasal dari putrinya sendiri yang memberikannya secara sukarela. Mengetahui itu, sang ayah pun menyesali perbuatannya selama ini. Sementara itu, menyangkut sosok Guan Yu, ia adalah jelas tokoh sejarah yang pernah hidup, bila kita membaca kronik-kronik/sejarah Tiongkok, dan telah mengalami apotheosis. Guan Yu, sebagaimana dijelaskan oleh kronik Tiongkok paling awal tentang tokoh ini, yaitu San Guo Zhi oleh penulis Chen Shou di abad ke-3, awalnya adalah seorang jenderal yang hidup pada masa Tiga Kerajaan (abad ke-3 M) di Tiongkok. Ia melayani Liu Bei, seorang pendiri dan penguasa negeri Shu Han. Guan Yu adalah seorang jenderal yang setia dan pemberani. Di akhir hidupnya, ia tewas dibunuh oleh Sun Quan, seorang penguasa yang semula merupakan sekutu Liu Bei. Sejarah Tiongkok menunjukkan bahwa naiknya Guan Yu ke peringkat dewa terjadi secara bertahap melalui pemberian gelar kehormatan kepada tokoh ini dengan derajat yang semakin meningkat dari satu dinasti kekaisaran Tiongkok ke dinasti lainnya. Dimulai dengan gelar 壯繆侯 (diterjemahkan ke bhs. Inggris sebagai "Marquis Zhuang Mou") yang diberikan oleh kaisar Liu Shan dalam waktu 40 tahun setelah Guan Yu meninggal hingga ke gelar 三界伏魔大神威遠震天尊關聖帝君 (Kaisar Suci Guan, Dewa Penakluk Iblis di Tiga Dunia dan Yang Kekuatannya Menjangkau dan Menggerakan Langit) oleh kaisar Wan Li pada 1614, masa dinasti Ming. Tahun pemberian gelar "Dewa" oleh Wan Li ini seringkali dianggap sejarahwan sebagai tahun naiknya Guan Yu ke posisi dewa secara resmi. D. Apotheosis Pada Kepercayaan India/Hindu Hindu juga adalah salah satu kepercayaan yang mengenal banyak dewa-dewi. Saya belum mempelajari apakah beberapa tokoh dewa-dewi dalam Hindu, seperti Krishna, berasal dari figur sejarah yang pernah hidup, dicatat dalam sejarah, dan meninggalkan bukti-bukti arkeologis. Fokus saya masih pada mempelajari kepercayaan asli orang-orang Indo-Arya, yang di kemudian hari menurunkan orang dan kepercayaan India, Persia, Yunani, Romawi dan berbagai bangsa di Eropa. Walau demikian, kita bisa menemui indikasi apotheosis bila melihat tradisi Hindu di Indonesia saat ini dan sejarah berbagai raja Hindu yang pernah berkuasa di Nusantara. Dalam tradisi Hindu di Indonesia yang saya ketahui, terdapat Pitra Yadnya, yaitu pelayanan dan persembahan pengorbanan kepada orang tua dan leluhur, disamping kepada dewa (Dewa Yadnya), guru suci (Rsi Yadnya), sesama manusia (Manusa Yadnya) dan unsur-unsur serta kekuatan penguasa alam (Bhuta Yadnya). Pelayanan tersebut berlaku baik ketika orang-orang tersebut masih hidup maupun sudah tiada. Ketika seorang leluhur telah tiada dan ruhnya telah distanakan di tempat pemujaan keluarga melalui upacara, maka ruh leluhur tersebut dianggap setara dengan dewa. Pemujaan terhadap leluhur tersebut tidak lagi tergolong Pitra Yadnya, melainkan Dewa Yadnya, sebagaimana dijelaskan dalam buku "Pokok-pokok Ajaran Agama Hindu" (Wayan Nurkancana). Bila kita melihat sejarah raja-raja Hindu di Nusantara pun, kita dapat menemukan apotheosis secara jelas. Setelah raja-raja tersebut wafat, mereka akan dipuja di candi-candi yang khusus dibuat untuk mereka (disebut candi pendharmaan), karena mereka dipercaya telah menyatu dengan ista dewata alias dewa pujaan mereka semasa mereka hidup. Sebagai contoh, raja Airlangga didharmakan sebagai dewa Wisnu di candi Belahan, sementara Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara di candi Simping. Menyatunya manusia dengan dewa dimungkinkan dalam Hindu karena dipercaya bahwa bila manusia wafat dan telah lolos dari samsara (lingkaran reinkarnasi), ia pasti akan bersatu dengan dewata. E. Sebab Terjadinya Apotheosis Sementara sebagian manusia dan kepercayaan dunia menganggap bahwa manusia itu lemah dan tidak mungkin menjadi sosok adikodrati, mengapa sebagian manusia dan kepercayaan lainnya meyakini bahwa manusia bisa menjadi sosok adikodrati setelah ia tiada? Pada kepercayaan-kepercayaan dimana apotheosis terjadi, pada umumnya diyakini hal-hal berikut: - Tidak semua kualitas manusia sama. Ada manusia yang semasa hidupnya dipandang lebih baik, lebih kuat, ataupun bisa memberikan perlindungan kepada lebih banyak orang dibandingkan manusia lainnya. - Setelah meninggal, manusia akan hidup di alam yang lain dan alam ini masih memiliki hubungan dengan alam manusia. Mereka yang hidup di alam ini masih bisa mempengaruhi kehidupan manusia. - Setelah meninggal, manusia akan membawa segala kualitas dan kekuatan yang ia miliki semasa ia hidup. Oleh karena itu, bila seorang tokoh mampu memberi perlindungan kepada banyak orang semasa hidup, dipercaya ia juga tetap bisa memberi perlindungan setelah ia tiada. Berlandaskan pada keyakinan-keyakinan di ataslah apotheosis sering terjadi bukan hanya pada kepercayaan-kepercayaan yang saya bahas disini, namun juga pada banyak kepercayaan tua dunia. _____________ Rujukan lanjutan: 1. "Kitab al-Asnam" ("The Book of Idols") oleh Hisham Ibn al-Kalbi 2. http://muslim.or.id/18067-al-latta-pembuat-roti-yang-disemb… 3. 香山寶卷 ("Precious Scroll of Fragrant Mountain"), oleh Zhiang Jiqi 4. "San Guo Zhi" (Catatan Tiga Kerajaan), oleh Chen Shou 5. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Guanyin 6. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Guan_Yu 7. Pokok-pokok Ajaran Agama Hindu: Pedoman untuk Umat Hindu di Seluruh Nusantara, oleh Wayan Nurkancana, penerbit Manikgeni. 8. Dewa Dewi Hindu, oleh I Wayan Maswinara, penerbit Paramita Surabaya. Yang sulit adalah diri sendiri
Memotivasi orang lain itu mudah. Yang sulit adalah memotivasi diri sendiri. Mendisiplinkan orang lain itu mudah. Yang sulit adalah mendisiplinkan diri sendiri. Memaafkan orang lain itu mudah. Yang sulit adalah memaafkan diri sendiri. Mencintai orang lain itu mudah. Yang sulit adalah mencintai diri sendiri. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|