Bahagia adalah ketika pulang ke rumah setelah tidak pulang dua minggu dan melihat semua pesanan buku filsafat, sejarah, arkeologi, linguistik dan antropologi dari berbagai penerbit sudah sampai rumah.
0 Comments
Menanggapi berita ini:
http://regional.liputan6.com/read/2513024/situs-terpendam-candi-kajangkoso-lebih-besar-dari-borobudur?utm_source=FB&utm_medium=Post&utm_campaign=FBRegional Menurut saya, kalau penemuan candi sebenarnya sudah tidak terlalu heran. Karena kalau kita blusukan ke pelosok, banyak sekali lokasi yang diketahui masyarakat sekitar mengandung candi tapi tidak bisa diekskavasi karena tidak ada dana/perhatian pemerintah. Yang masih sedikit ditemukan itu pemukiman dan kota-kota kuno dari era Hindu-Buddha. Yang baru ketemu: Trowulan (ibukota Majapahit), Lumajang Tigang Juru (keraton Majapahit Timur), Liyangan (pemukiman Mataram Kuno), dan Karanganyar (pemukiman pertama Sriwijaya). Ibukota Pajajaran, Kalingga, Mataram Kuno, Panjalu, Dhaha, Singosari, dll masih belum ditemukan. Malam ini saya baru tahu bahwa menurut riset-riset linguistik, bahasa Melayu Kuno ternyata berasal dari pesisir barat Kalimantan, bukan semenanjung Malaka ataupun bagian tengah atau selatan pulau Sumatera.
Dalam sejarah bahasa Melayu, kedua tempat yang saya sebut terakhir di atas cuma kebetulan saja menjadi tempat persinggahan bahasa Melayu Kuno, dimana kemudian di tempat-tempat inilah bahasa Melayu Kuno berevolusi menjadi bahasa Melayu Klasik, karena populasi terbesar penutur Melayu kemudian berada di tempat-tempat ini. Berarti peranan Kalimantan dalam khasanah kesejarahan Nusantara penting juga ya? Karena bukan hanya kerajaan Hindu pertama (Kutai) berdiri disini, namun nenek moyang orang Melayu dan Madagaskar (Afrika Selatan) juga berasal dari sini (lihat hasil riset genetika tentang asal-usul populasi Madagaskar). Kalau begini, Kalimantan wajib dikunjungi juga. Cham adalah suku minoritas di Vietnam dan Kamboja yang beragama Islam. Mereka adalah sisa dari kerajaan Islam Champa yang pernah berkuasa di Vietnam dan menurunkan putri-putri yang menikah dengan raja-raja di Nusantara dan menurunkan beberapa Wali Songo. Belum puas dan harus kesini lagi. Itulah yang saya rasakan ketika selesai menjelajahi sebagian komplek percandian Muaro Jambi beberapa hari yang lalu.
Kenapa saya datang jauh-jauh dari Jakarta ke komplek candi ini? Pertama, karena saya menyukai arsitektur bangunan kuno dan kedua, karena tempat ini pernah memberi sumbangsih penting untuk dunia di era Hindu-Buddha. Komplek percandian Muaro Jambi adalah tempat pendidikan agama Buddha yang terletak di kedua sisi sungai Batanghari, Jambi. Diduga, komplek ini pertama kali didirikan oleh kerajaan Melayu Kuno pada abad ke-6, lalu dikembangkan oleh Sriwijaya. Ukuran komplek ini sangat luas, yaitu sekitar 3.900 hektar! Bagi penduduk Jakarta, ini adalah sama dengan luas BSD City, sebuah kota satelit di pinggir Jakarta! Hingga saat ini di area seluas itu telah ditemukan +/- 100 menapo (kata setempat untuk "gundukan tanah") diantara perkebunan milik penduduk yang telah berhasil diidentifikasi berisi bangunan candi. Dari seluruh menapo itu, baru beberapa belas yang sudah diekskavasi dan ada 7 yang sudah direkonstruksi total. Karena luasnya dan letak beberapa gugusan candi di komplek ini yang agak tersembunyi, sangat disarankan untuk menjelajahi komplek ini dengan menyewa seorang pemandu berikut motornya seperti yang saya lakukan. Pemandu ini bisa Anda cari di pintu masuk. Di era Hindu-Buddha, komplek candi ini memegang peranan penting. Beberapa bhiksu kuno Tiongkok, seperti I Tsing dari abad ke-7, menyebutkan bahwa bila seorang bhiksu hendak memperdalam pengetahuan agama Buddhanya, ia disarankan untuk menempuh pendidikan di Muaro Jambi dulu selama beberapa tahun sebelum menempuh pendidikan di universitas Nalanda, India. Di Muaro Jambi ini dulu terdapat beberapa guru besar terkenal seperti Dharmakirti, Sakyakirti, dan Ratnakirti. Atisha, sebelum menjadi guru besar Buddhisme di Tibet, pernah menyengaja datang ke Muaro Jambi demi belajar pada Dharmakirti. Di Tibet, Dharmakirti dari Nusantara dikenal sebagai Lama Sherlingpa. Penghormatan tokoh-tokoh Buddhisme di Tibet hingga saat ini pada Muaro Jambi dan guru-guru besar yang dulu pernah berdiam disini ditunjukkan dengan kunjungan-kunjungan Dalai Lama dan para pengikutnya kesini. Ada beberapa perbedaan yang akan teman-teman rasakan antara melihat foto-foto candi Muaro Jambi di Internet dengan melakukan kunjungan langsung ke lapangan. Pertama, ketika melihat langsung di lapangan, ternyata ukuran candi-candi utama di Muaro Jambi jauh lebih besar dari yang tampak di Internet. Kedua, foto-foto di Internet umumnya tidak memperlihatkan candi-candi kecil yang ada di sekitar candi-candi utama. Komplek Muaro Jambi sebenarnya dapat dikatakan terdiri dari beberapa gugusan candi, dimana di setiap gugusan terdapat beberapa candi besar dan kecil dengan tata letak tertentu. Ketiga, foto-foto di Internet tidak memperlihatkan lapisan-lapisan dinding keliling, gang diantara dinding, pelataran, dan sisa-sisa bilik hunian bagi para bhiksu yang umumnya bisa ditemukan di setiap gugusan candi. Hal-hal di atas inilah yang sebenarnya menjadikan komplek Muaro Jambi ini unik. Karena sebenarnya ketika kita berada di satu lokasi candi, kita seringkali tidak bisa langsung menuju candi utamanya, melainkan harus melalui gang berkelok-kelok diantara dua dinding yang mengelilingi candi dengan pola tertentu. Gugusan candi terbesar yang ditemukan di Muaro Jambi hingga saat ini, yaitu Kedaton, bahkan memiliki dinding keliling berlapis-lapis, dimana diantara dinding tersebut terdapat pelataran besar, candi-candi kecil, dan sisa hunian para bhiksu pada tiap lapisnya. Keempat, foto-foto di Internet tidak memperlihatkan jaringan kanal buatan yang menjadi bagian integral dari komplek Muaro Jambi ini. Percaya atau tidak, Anda bisa menuju tiap gugusan candi di komplek ini dari sungai Batanghari dengan menggunakan sampan melalui kanal-kanal yang ada! Hal-hal di ataslah yang membuat saya berdecak kagum selama menelusuri komplek percandian ini. Lebih dari itu, saya merasa terharu. Dengan pepohonan tinggi dan tua di seluruh komplek ini yang menaungi saya, bagaimana pun jalur-jalur yang saya tempuh ini adalah jalur-jalur yang ditempuh manusia lebih dari 1000 tahun lalu. Mereka datang kesini, berdiam dan belajar disini untuk menemukan pencerahan dan jalan kebahagiaan dalam hidup. Setelah menyisir setiap jengkal di bazaar buku import "Big Bad Wolf Books" (BBWB) di ICE BSD selama 3,5 jam, akhirnya sampai juga saya di rumah.
Buat teman-teman pecinta buku, pastikan jangan sampai kehilangan event langka ini! Di BBWB ada ratusan ribu (atau mungkin jutaan?) judul buku import BARU (bukan bekas) dari kategori fiksi, non-fiksi, komik, dan anak-anak yang dijual dengan diskon s/d 80%! Untuk memberi ilustrasi, 17 buah majalah dan buku tebal yang penuh foto dan warna ini saya beli 'hanya' dengan harga Rp. 1,265 juta! Walau angka ini pada awalnya mungkin terlihat besar, tapi kalau sudah dibagi 17, itu artinya tiap barang berharga rata-rata hanya Rp.75 ribu! Jangan tertipu dengan judul-judul buku yang sampai sekarang masih terus diunggah ke website event ini: www.bigbadwolfbooks.com. Jumlah judul yang akan Anda temui di event ternyata beratus-ratus kali lebih banyak! Ada buku roman, biografi, memasak, hasta karya, berkebun, golf, otomotif, militer, seni, arsitektur dan banyak topik lainnya. Hanya segelintir topik yang bukunya tidak saya temui di pameran ini: Filsafat, Agama, Astrofisika (bukan astronomi) dan Fisika Kuantum. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|