Senang sekali semalam bisa menonton program dokumenter "Rediscovering Ancient Asia" di saluran NHK TV Jepang yang khusus membahas Bagan. Bagan adalah sebuah kota kuno di Myanmar, dimana disana terhampar 3.000 buah candi berukuran besar dan kecil. Kalau Anda penyuka arsitektur candi, jelas ini adalah salah satu tempat yang harus Anda kunjungi di luar Indonesia di samping Siem Reap (Kamboja), Ayutthaya, Sukkhothai (Thailand), Indrapura, Vijaya, dan Phan Rang–Tháp Chàm (Vietnam). Itulah ibukota-ibukota kerajaan di Asia Tenggara di luar Indonesia pada era Hindu-Buddha. Saya pertama kali mengenal Bagan dua tahun lalu ketika melihat foto seperti yang saya cantumkan disini. Saya terkesima dengan jumlah candi yang ada disana. Namun saya belum pernah mendapatkan buku ataupun menonton acara TV yang khusus membahas tempat ini. Oleh karena itu, ketika menemukan NHK TV membahas kota kuno ini, saya amat senang. Melihat Bagan mengingatkan saya pada Yogyakarta pada masa Mataram Kuno. Kalau kita membaca laporan-laporan penjelajah Belanda yang pertama kali menginjakkan kaki disana pada tahun 1700-an, kita akan tahu bahwa jumlah candi yg ada disana pada saat itu jauh lebih banyak daripada yang kita lihat saat ini. Para penjelajah Belanda tsb menuliskan bahwa hampir setiap jengkal tanah disana memiliki candi, entah besar atau kecil. Mereka pada saat itu pun masih menemukan beberapa komplek kuno dengan dinding bata keliling di sekitar Prambanan yang diduga sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya. Tak ayal lagi, kata para penjelajah itu, ini pasti sebuah kota yang besar dan makmur pada masanya. Meski demikian, para penjelajah itu juga menjelaskan bahwa sebagian besar candi yang mereka lihat sudah dalam keadaan luluh lantak, jauh lebih buruk daripada keadaan sebagian dari mereka saat ini yang sudah direnovasi para arkeolog Indonesia. Para penjelajah itu pun menjelaskan bahwa banyak dari batu candi yang sudah rusak itu diambil warga sekitar untuk membuat rumah, pagar halaman, atau bahkan dinding pabrik tradisional. Hal iti menjelaskan kekurangpahaman masyarakat saat itu tentang nilai budaya dan sejarah tinggi yang sebenarnya dimiliki candi-candi yang mereka lihat sudah rusak tsb. Bahkan sebenarnya, dengan jumlah candi yang masih tersisa saat ini pun, mulai dari belasan komplek candi besar seperti Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, Plaosan, Ijo, Barong, Sambisari, Sewu, ataupun candi-candi kecil yang jumlahnya puluhan seperti candi Merak, Palgading, Bubrah, Sojiwan, sampai kemarin ini saya masih dibuat bingung: Apa yang membuat dinasti Mataram Kuno begitu bersemangat dalam membangun candi? Apalagi kalau mengingat hampir semua komplek candi besar dibangun hanya dalam kurun waktu 100 tahun. Nah, sepertinya pertanyaan itu terjawab ketika saya menonton "Ancient Asia" semalam. Di sanalah saya menemukan penjelasan kenapa para raja kuno Myanmar amat bersemangat membangun candi di Bagan, termasuk rakyatnya. Mungkin ini bisa menjelaskan hal sama yang terjadi di Yogyakarta pada era Mataram Kuno. Hanya saja, ulasan tentang Bagan di program "Rediscovering Ancient Asia" tsb masih dapat dianggap perkenalan. Di program tsb tidak dijelaskan hubungan dinasti Bagan di Myanmar dgn dinasti lainnya di Asia Tenggara, termasuk Mataram Kuno pada saat kejayaannya. Kalau kita melihat prasasti Sdok Kok Thom di Kamboja dan Laguna di Manila Filipina, kita tahu bahwa pada masa kejayaan Mataram Kuno, Kamboja dan selatan Filipina termasuk daerah kekuasaan Mataram. Kronik-kronik Cina juga mencatat bahwa kerajaan Champa beberapa kali mendapat upaya pendudukan dari Mataram Kuno. Ya, bahkan saat itu pun, persaingan kekuasaan pun sudah terjadi di Asia Tenggara.
1 Comment
Bicara etimologi, kata "rejeki" atau "rizki" di bhs. Indo itu berasal dari kata "rizqan" di bhs. Arab dengan akar kata "r-z-q" yg artinya "pemberiaan".
Kalau sudah meminta "rejeki" kepada Yang Maha Kuasa, lalu diberi tubuh yang sehat, keluarga yg rukun, atau ilmu yg bermanfaat, apa bukan rejeki namanya? Dengan akar kata r-z-q ini, orang Islam suka berdoa "Warzuqni fahman" sebelum belajar apapun yang artinya "Berikan aku pemahaman (daya tangkap)". Nice to know that "Good bye" originates from "God b w ye" which was Middle English (Shakespeare's time) slang expression, shortened from "God be with ye (you)".
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|