ARIEF ONLINE
  • Home
  • Curriculum Vitae
  • Thoughts
  • Photographs
  • Poems
  • Languages Learning
    • Indonesian Phrases
    • Persian Phrases
    • French Phrases
    • German Phrases
    • Dutch Phrases
    • Learning Materials
  • Contact

A History of God & God: A Human History

15/5/2019

2 Comments

 
Picture
The title "A History of God", in my opinion, befits more the book written by Reza Aslan than that by Karen Armstrong, since Aslan's explains extensively the evolution of human's perception of God since the primeval time to the modern age, not restricted to the Abrahamic religions. Aslan's, despite the writer himself being a Doctor in religious studies, however lacks the rigorous logical analysis expounded on Armstrong's. If these two books could be combined, they would be perfect.
2 Comments

Buku Sejarah Kekristenan Awal

17/2/2018

0 Comments

 
Picture
Setelah saya baca terus menerus selama 2 bulan, alhamdulillah akhirnya buku ini selesai saya baca.

Buku ini adalah buku yang sangat bagus dalam membahas tentang Kekristenan periode awal. Pembahasan dimulai dari misi 12 murid Yesus, komunitas-komunitas awal Kristen yang terbentuk, kepercayaan-kepercayaan dan Injil-injil yang diyakini oleh komunitas-komunitas tersebut, figur-figur awal gereja yang penting dan ajaran-ajarannya, perseteruan-perseteruan yang terjadi antar komunitas maupun figur gereja, hingga konsili-konsili yang diadakan sebagai upaya untuk meredam perseteruan-perseteruan tersebut.

Ketika saya membaca buku-buku tentang sejarah Kekristenan selama ini, biasanya periode awal Kekristenan hanya dibahas secara sekilas. Padahal, semakin lama saya semakin memahami bahwa periode tersebut adalah periode yang sangat penting. Buku ini mampu membahas periode tersebut dengan kedalaman yang cukup dan bahasa yang mengalir tanpa terkesan terlalu akademis, monoton, ataupun jelimet.
​
* Jumlah halaman: +/- 380 
* Bisa diimpor lewat Bookdepository.com ataupun Amazon.com
* Harga: +/- Rp.300 ribu (untuk Amazon tidak termasuk ongkos impor)
0 Comments

Sokushinbutsu: Para Bhiksu yang Memumifikasi Diri Mereka Sendiri di Jepang Era Pra-Modern

21/1/2018

0 Comments

 
Setelah pernah membahas tentang Tantra Hindu, yaitu perihal transformasi ajaran "Mo Limo" dari aliran ini ke masyarakat Islam periode awal di Jawa, kali ini saya tertarik untuk membahas tentang Tantra Buddha, khususnya tentang fenomena Sokushinbutsu di Jepang sebelum era Restorasi Meiji.

Fenomena ini sendiri pertama kali saya ketahui di awal-awal masa kuliah dari sebuah DVD National Geographic yang membahas tentang praktek ini dan saya beli ketika saya pertama kali mulai mempelajari Buddhisme. Belakangan, saya menemukan lagi dan membeli buku tentang Sokushinbutsu -Satu-satunya yang tersedia dalam bahasa Inggris dan membuat saya tertarik untuk membahas tentang fenomena ini.

A. Tentang Sokushinbutsu
Dalam bahasa Indonesia, Sokushinbutsu kurang lebih berarti "Buddha yang hidup". Dalam realita, kata ini merujuk kepada bhiksu-bhiksu sepanjang sejarah Jepang yang menjadikan diri mereka sendiri sebagai mumi setelah melakukan ritual-ritual yang menyakitkan selama bertahun-tahun lamanya sebelum praktek ini akhirnya dilarang oleh pemerintahan Meiji pada 1877.

Perihal Sokushinbutsu ini sendiri pada awalnya sedikit diketahui oleh masyarakat Jepang sampai pada 1960 sekelompok peneliti Jepang dari Universitas Niigata membentuk "Mummy Research Group" untuk meneliti dan mencari tahu tentang kebenaran cerita masyarakat tentang adanya bhiksu-bhiksu jaman dahulu yang menjadikan diri mereka sendiri sebagai mumi dan dipuja di kuil-kuil lokal.

Setelah diadakan penelitian beberapa waktu lamanya, akhirnya diketahui bahwa ada 21 mumi di pelosok-pelosok Jepang yang disimpan dalam kuil kuno dan dipuja oleh penduduk setempat. Jumlah ini diduga dulunya lebih besar, karena ada beberapa mumi yang musnah ketika kuil yang menaungi mereka mengalami kebakaran.

Delapan dari mumi yang ada berada di prefektur Yamagata dimana 3 gunung suci yang disebut warga lokal sebagai Dewa Sanzan berada. Yang lainnya berada di prefektur-prefektur lain. Sebagian besar mumi tersebut dulunya adalah bhiksu, sementara sebagian kecil adalah penguasa-penguasa lokal yang meminta diabadikan sebagai mumi setelah mereka meninggal.

B. Tentang Shugendo dan Tujuan Sokushinbutsu
Para bhiksu yang menjadikan diri mereka sebagai mumi mengikuti Shugendo, yaitu sebuah kepercayaan hasil akulturasi Shinto dan Buddhisme sekte tantra Shingon dengan kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci.

Dalam sejarah Jepang, Shugendo memiliki jumlah pengikut yang terbatas. Kepercayaan ini dicirikan oleh para penganutnya yang tinggal di gunung dan melakukan ritual-ritual fisik yang keras untuk menyucikan diri dan mencapai pencerahan -sebuah ciri yang bisa dikaitkan dengan aliran Tantra yang meyakini bahwa pencerahan dapat diraih dalam kehidupan saat ini melalui ritual-ritual fisik tertentu.

Ritual-ritual yang dilakukan para pengikut Shugendo diantaranya seperti berpuasa terus-menerus, bermeditasi di bawah air terjun yang dingin selama musim salju, turun naik gunung untuk bermeditasi di puncak gunung selama beberapa kali dalam sehari, dan memutilasi anggota tubuh sendiri. Puncak dari ritual-ritual tersebut adalah memumifikasi diri sendiri melalui sebuah proses yang menyakitkan, dimana ritual ini hanya dilakukan oleh mereka yang benar-benar bertekad kuat.

Oleh masyarakat, para pelaku Shugendo dipandang sebagai orang suci dan sering dimintai pertolongannya karena dianggap memiliki kesaktian. Kesaktian yang seringkali dikaitkan dengan para pengikut Shugendo sendiri adalah kemampuan mereka untuk menyembuhkan penyakit atau menghentikan bencana alam yang sedang terjadi secara supranatural.

Sejarah masyarakat lokal mencatat bahwa tokoh-tokoh yang telah menjadi Sokushinbutsu saat ini, seperti Tetsumonkai, Tetsuryukai, ataupun Honmyokai, dulu semasa hidupnya adalah bhiksu-bhiksu yang dikenal membaktikan hidupnya untuk masyarakat dan tidak segan berkorban untuk masyarakat.

Tujuan dari bhiksu-bhiksu tersebut sendiri pada akhirnya melakukan ritual-ritual keras Shugendo selain untuk mempertajam pikiran dan spiritualitas mereka di tengah siksaan-siksaan fisik yang menimpa, adalah untuk membuat agar doa-doa mereka terkait keadaan masyarakat sekitar semakin didengar.

Siksaan-siksaan yang mereka alami diyakini akan dapat menunjukkan kesungguhan mereka dalam berdoa. Sebagai contoh, bhiksu Tetsumonkai tercatat pernah mencongkel salah satu matanya sendiri dan menghanyutkannya di sungai Sumida agar permohonannya supaya masyarakat desa yang ditemuinya terbebas dari penyakit buta mata terkabul, setelah sebelumnya upaya pengobatan yang dilakukannya terhadap setiap warga desa tidak berhasil.

Puncak dari siksaan-siksaan tersebut sendiri tak lain adalah memumifikasi diri mereka sendiri, dimana dengan menjadi mumi mereka meyakini bahwa mereka akan dapat pergi ke surga Tusita dan melindungi masyarakat bersama-sama Buddha Maitreya yang berada di sana. Ketika nanti Buddha Maitreya turun ke dunia saat dunia dilanda kekacauan, jasad mereka yang masih berada di Bumi akan memungkinkan mereka membantu Maitreya dalam menolong masyarakat.

C. Tata Cara Ritual Sokushinbutsu
Ketika seorang bhiksu telah memutuskan untuk menjadi Sokushinbutsu, maka ia harus menjalani 3 tahap ritual yang masing-masing lamanya adalah 1.000 hari.

Pada tahap pertama, seorang bhiksu harus menghindari makan 5 macam sereal, termasuk gandum dan nasi. Ia hanya diperbolehkan makan kacang-kacangan dan buah beri yang ada di dalam hutan, sambil tetap harus melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang berat, seperti naik turun gunung berkali-kali dalam sehari ataupun bermeditasi di bawah air terjun, selama 1.000 hari.

Dalam tahap pertama ini berat tubuh bhiksu akan berkurang dalam jumlah besar secara perlahan-lahan dan catatan di sekitar kuil-kuil tempat para Sokushinbutsu ditemukan menunjukkan bahwa banyak bhiksu yang akhirnya meninggal di tahap ini karena keadaan tubuh yang kian melemah di tengah-tengah ritual-ritual fisik yang keras.

Pada tahap kedua yang juga berlangsung 1.000 hari, jumlah makanan yang boleh dimakan bhiksu kian dibatasi. Ia hanya diperbolehkan makan kulit pohon dan daun pohon pinus sambil tetap harus melakukan ritual-ritual fisik yang berat.

Tahap ini akan membuat seorang bhiksu kehilangan kandungan air di tubuhnya dalam jumlah besar dan di akhir tahap ini tubuh sang bhiksu akan menjadi kurus kering seperti tulang berbalut kulit.

Tahap ketiga merupakan tahap persiapan mendekati saat-saat puncak ritual. Pada tahap ini, setiap hari bhiksu diharuskan meminum getah pohon Urushi. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, getah ini digunakan sebagai cat pernis untuk melapisi berbagai perabot kayu agar tahan rayap. Ketika seorang bhiksu meminum getah tersebut, ia akan muntah-muntah hebat karena reaksi tubuhnya yang menolak getah tersebut. Ini akan membuat sang bhiksu semakin kehilangan cairan tubuhnya.

Selain itu, pada tahap ini bila sang bhiksu tinggal di prefektur Yamagata, maka ia dianjurkan minum setiap harinya dari mata air suci Yudono, salah satu gunung Dewa Sanzan. Penelitian modern mengungkapkan bahwa mata air ini ternyata mengandung arsenik dalam jumlah besar.

Ketika sang bhiksu telah merasa bahwa ajal sudah mendekat, maka ia pun melakukan ritual puncak, yaitu dimasukkan ke dalam kotak kayu kecil yang kemudian dikubur di dalam tanah dan ditindih oleh berlapis-lapis batu besar agar tidak bisa dibuka dari luar.

Di dalam kotak kecil yang hanya muat untuk duduk tersebut, sang bhiksu akan terus menerus bermeditasi tanpa makan dan minum. Ada sebuah batang bambu dari dalam kotak menuju keluar yang menjadi jalur masuk udara satu-satunya.

Setiap pagi, sang bhiksu akan membunyikan lonceng kecil yang ia bawa sebagai tanda ke dunia luar bahwa ia masih hidup. Ketika orang-orang di luar sudah tidak lagi mendengar bunyi lonceng, maka batang bambu akan dicabut dan kotak bhiksu akan benar-benar disegel.

Kotak tersebut tidak boleh dibuka selama 3 tahun. Setelah waktu tersebut berlalu, orang-orang di luar akan menggali lagi kotak tersebut dan melihat jasad sang bhiksu.

Bila tidak ditemukan tanda-tanda pembusukan, maka ia dianggap telah berhasil menjadi orang suci. Jasadnya akan dikeluarkan dan diberi perlakuan lebih lanjut, seperti diasapi, dilapis dengan cat pernis, dan diberikan jubah baru, sebelum akhirnya ditempatkan di dalam kuil. Bila terjadi pembusukan, maka jasad dan kotak meditasi bhiksu tersebut akan kembali dikuburkan dan sang bhiksu akan dihargai untuk usahanya untuk mencapai Sokushinbutsu.

Di dalam kuil, sang Sokushinbutsu akan menjadi obyek pemujaan masyarakat sekitar. Setiap beberapa tahun sekali, jubahnya akan diganti dan jubah yang lama akan dipotong kecil-kecil dan dijual sebagai jimat kepada masyarakat sekitar.

D. Akhir Sokushinbutsu
Semenjak era Restorasi Meiji, praktek Sokushinbutsu resmi dilarang karena dianggap sebagai praktek bunuh diri. Mereka yang kedapatan melakukannya atau membantu prosesnya akan dipenjara.

Ketika peraturan ini diberlakukan, seorang bhiksu yang bergelar Tetsuryukai telah terlanjur berada di fase terakhir ritual Sokushinbutsu. Akhirnya ia tetap dikuburkan dan jasadnya yang berhasil termumifikasi secara baik dikeluarkan diam-diam oleh para muridnya di malam hari 3 tahun kemudian.

Untuk menghindari hukuman, catatan tanggal kematian Tetsuryukai di dalam kuil diubah dari 1878 ke 1862, 15 tahun sebelum larangan pemerintah diberlakukan.

Peristiwa hampir serupa menimpa Bukkai, seorang bhiksu yang justru nekad menjalani ritual Sokushibutsu pada 1903 setelah peraturan diberlakukan. Karena ketahuan oleh pemerintah, kotak meditasi Bukkai dilarang digali kembali dan dibuka. Kotak tersebut baru diperbolehkan diangkat setelah tim peneliti modern mengajukan ijin ke pemerintah di periode 1960-an.

Kini para Sokushinbutsu tersebut dapat ditemui di kuil-kuil kuno yang berada di prefektur Yamagata, Niigata, Iwate, Fukushima, Ibaraki, Nagano dan Gifu. Kuil-kuil tersebut diziarahi oleh masyarakat Jepang yang mengetahui tentang keberadaan para Sokushinbutsu tersebut.

Meskipun ritualnya sudah tidak lagi ada, para Sokushinbutsu ini akan selalu dapat menjadi pengingat tentang kesungguhan hati dan perjuangan, dalam cara mereka sendiri, yang rela ditempuh manusia untuk membantu sesamanya.

Referensi: 
- DVD National Geographic "Mummies That Made Themselves", sekarang bisa ditonton di https://youtu.be/LKkVo02LD2A

- Buku "Living Buddhas: The Self Mummified Monks of Yamagata, Japan" oleh Ken Jeremiah. Bisa diimpor via Book Depository seharga Rp.500.000 atau dibaca di Google Read seharga Rp.100.000.
0 Comments

Living Buddhas

6/1/2018

0 Comments

 
Picture
Senang sekali bisa mendapatkan buku ini. Dulu saya pertama kali tahu tentang praktek di Jepang Abad Pertengahan ini dari DVD NatGeo khusus tentang ini yang saya beli ketika kuliah. Buku ini membahas lebih dalam lagi daripada DVD tsb dan satu-satunya yang tersedia dalam bhs. Inggris.
0 Comments

Transformasi Ajaran "Ma Lima" dari Aliran Tantra Hindu ke Islam di Jawa

16/12/2017

0 Comments

 
A. Masuknya Islam ke Nusantara dan Pergeseran Makna Istilah-istilah Hindu Buddha

Bagi saya, salah satu periode yang menarik dalam sejarah Indonesia adalah saat-saat pertama kalinya Islam berkembang di Nusantara.

Mengapa? Karena mereka yang telah mempelajari tentang seluk beluk peradaban Hindu Buddha di Nusantara akan memahami bahwa selama 1 millenium Hindu Buddha berada di Nusantara (bila sejarah Hindu Buddha di Nusantara dianggap dimulai dari saat penulisan prasasti Kutai di abad ke-5 hingga runtuhnya Majapahit di abad ke-15 ), nafas Hindu Buddha telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan di masyarakat, mulai dari bahasa, arsitektur, tata busana hingga ke tradisi-tradisi.

Sulit membayangkan, apalagi bila kita hidup di masa keemasan era Hindu Buddha di Nusantara, bahwa masyarakat yang beragama Hindu Buddha itu di kemudian hari secara berbondong-bondong akan berpindah ke keyakinan baru yang memiliki corak amat berbeda dengan keyakinan sebelumnya. Dipeluknya Islam oleh mayoritas bangsa Indonesia seperti saat ini, dari aspek kesejarahan, menurut hemat saya, adalah sebuah pencapaian yang luar biasa karena sama sekali tidak melibatkan invasi oleh suku bangsa awal yang membawa agama tersebut.

Pencapaian tersebut, menurut saya, selain disebabkan oleh kemajuan ekonomi dan militer kesultanan-kesultanan Islam awal di Nusantara, juga turut disebabkan oleh ketepatan strategi pewartaan Islam di Nusantara.

Yang saya perhatikan, para pendakwah pertama Islam di Nusantara memahami betul bahwa masyarakat yang mereka ingin rangkul telah memiliki tradisinya sendiri yang sebagian besar dipengaruhi oleh kepercayaan mereka dan berbeda dengan kepercayaan yang dibawa oleh para pendakwah ini.

Untuk memperkenalkan kepercayaan baru ini, para pendakwah menggunakan tradisi yang sudah ada di masyarakat. Termasuk, untuk memperkenalkan inti-inti ajaran dari kepercayaan baru yang dibawa, para pendakwah pun menggunakan istilah-istilah dari agama yang telah dipeluk oleh masyarakat.

Kata-kata seperti "sembahyang", "puasa", "pahala", "dosa", "surga", "bidadari", ataupun "neraka" yang tadinya berasal dari Hindu Buddha dan telah memiliki maknanya sendiri kini digunakan pula untuk menjelaskan konsep-konsep yang dimiliki Islam dan mengalami pergeseran makna. Tujuan dari semua ini tak lain adalah agar masyarakat tidak kaget dengan keyakinan baru yang dibawa dan merasa bahwa keyakinan baru ini tidak terasa asing buat mereka.

Diantara pergeseran makna ini terjadi pada ajaran "Ma Lima" (disebut juga "Mo Limo") yang kini dikenal luas oleh orang-orang Islam Jawa, namun sedikit diketahui bahwa sesungguhnya ajaran ini sebelumnya berasal dari Hindu Buddha, khususnya aliran Tantrayana.

B. Mengenal Tantrayana dan Ajaran "Ma Lima"

Agama Hindu dan Buddha meyakini bahwa selama manusia lekat dengan kebodohan dan hawa nafsunya, ia akan terus menerus terlahir ke dunia ini setelah kematiannya (reinkarnasi) dan mengalami kesengsaraan-kesengsaraan yang merupakan ciri utama kehidupan di dunia ini.

Tujuan yang harus dicapai oleh manusia menurut agama Hindu dan Buddha adalah lepas dari segala kemelekatan supaya manusia tersebut bisa moksha/menyatu dengan Tuhan (dalam agama Hindu) atau mencapai Nirvana (dalam agama Buddha) setelah kematiannya dan tidak terlahir lagi ke dunia ini.

Baik agama Hindu dan Buddha menawarkan caranya masing-masing supaya manusia bisa lepas dari segala kemelekatan, meskipun cara-cara yang ditawarkan kedua agama tersebut pada dasarnya sama-sama berlandaskan pada pengendalian dan pengenyahan hawa nafsu.

Meski demikian, dari sekian banyak aliran dalam agama Hindu dan Buddha, ada aliran yang meyakini bahwa manusia tidak perlu menunggu mati dulu untuk mencapai moksha/Nirvana. Moksha/Nirvana telah dapat dicapai sejak manusia berada di dunia ini bila manusia tersebut menjalankan praktek-praktek tertentu yang umumnya melibatkan aktivitas fisik. Aliran yang meyakini hal tersebut adalah Tantrayana.

Secara garis besar, Tantrayana dapat dibagi dua, yaitu yang moderat (disebut juga "daksinacarin") dan ekstrim (disebut juga "vamacarin"). Tantrayana yang ekstrim, uniknya, pernah memiliki pengikut yang kuat selama peradaban Hindu-Buddha tumbuh subur di Nusantara.

Para pengikut Tantrayana yang ekstrim ini meyakini bahwa moksha/Nirvana dapat dicapai dengan melakukan "Pancamakara" atau dikenal sebagai "Ma Lima" ("Mo Limo"; alias lima hal berawalan "ma-") oleh para penganut Hindu Buddha di Nusantara, yaitu:

- Mamsa (memakan daging secara berlebihan, termasuk memakan mayat) 
- Matsya (memakan ikan secara berlebihan)
- Madya (bermabuk-mabukan) 
- Maithuna (bersenggama dengan lawan jenis secara berlebihan)
- Mudra (melakukan sikap tangan tertentu ketika meditasi)

Di era Hindu Buddha, para penganut Tantra ini akan berkumpul di ksetra (kuburan/lapangan tempat masyarakat meletakan mayat secara sementara sebelum dibakar) untuk melakukan ritual-ritual di atas. Mereka akan memakan daging mayat, meminum darah, bermabuk-mabukan dengan minuman keras, lalu bersetubuh dengan lawan jenis, sebelum akhirnya diakhiri dengan meditasi mendalam. Pada saat itulah mereka meyakini merasakan moksha.

Para penganut aliran ini meyakini bahwa moksa/Nirvana dapat dicapai melalui meditasi mendalam, setelah sebelumnya membuat letih panca indera melalui ritual "Ma Lima".

Oleh para pemeluk agama Hindu Buddha lain pada zamannya, para pengikut Tantra ini cukup ditakuti. Dari kajian arkeologi, diketahui ada beberapa raja di Nusantara yang mengikuti aliran Tantra ini, seperti Kertanegara (Singosari), Adityawarman (Pagaruyung Hindu), dan beberapa raja di Bali pada saat itu.

Sejarah berhasil mencatat bagaimana salah satu raja tersebut melakukan ritual Tantranya. Diceritakan bahwa ketika tentara Kediri menyerbu keraton Singosari, mereka menemukan bahwa raja Kertanegara tengah tidak sadar karena makan-makan dan bermabuk-mabukan bersama para pengikutnya. Padahal di saat yang lain, prasasti-prasasti mencatat bahwa Kertanegara adalah raja yang mendalam pengetahuan agamanya dan taat beragama. Banyak ahli sejarah senior, seperti Soekmono, yang meyakini bahwa sesungguhnya raja Kertanegara pada saat itu tengah melakukan ritual Tantrayana.

Dari penemuan-penemuan artefak yang ada, diketahui bahwa ada 3 aliran Tantrayana ekstrim di Nusantara pada saat itu, yaitu Heruka di Sumatra, Kalacakra di Jawa, dan Bhima di Bali.

Para penganut Tantra yang beragama Hindu pada umumnya memuja Bhairawa, yaitu dewa Siwa dalam perwujudannya yang bengis dengan taring yang menyeringai dan keempat tangannya memegang belati, mangkuk, gendang dan tasbih sambil menginjak tengkorak-tengkorak manusia. Belati tersebut diyakini untuk memotong daging, mangkuknya untuk menampung darah, sementara tasbih dan gendangnya digunakan saat menari di ksetra/kuburan pada saat melakukan ritual Tantra.

Menurut para sejarahwan, banyak raja pada saat itu yang menjadi penganut Tantra dengan tujuan agar menjadi sakti dan bisa mengimbangi kekuatan raja dari kerajaan lain yang juga menganut Tantra.

C. Perubahan Ajaran "Ma Lima" oleh Para Wali Songo

Ketika para pendakwah Islam berinteraksi dengan masyarakat Jawa, tentunya mereka juga menemukan para penganut aliran Tantra di antara masyarakat. Namun oleh para Wali Songo, ajaran Ma Lima ini diberi isi yang baru.

Bila sebelumnya "Ma Lima" adalah lima hal berawalan "ma-" yang harus dilakukan (oleh para penganut Tantra), kini menjadi lima hal berawalan "ma-" yang harus dijauhi oleh masyarakat Jawa yang telah memeluk Islam, yaitu:

- Main (berjudi) 
- Maling (mencuri)
- Madat (menggunakan candu) 
- Minum (bermabuk-mabukan)
- Madon (main wanita/zina)

Ritual berkumpul dengan membentuk lingkaran di ksetra untuk memakan daging mayat pun digantikan oleh tradisi berkumpul untuk membaca tasbih, tahmid dan tahlil yang diakhiri dengan makan nasi tumpeng bersama oleh masyarakat Jawa yang dikenal sebagai "selamatan" atau "kendurian".

Sejarahwan Islam, KH Agus Sunyoto, menjelaskan bahwa tradisi selamatan ini pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Bonang di desa Singkal, Nganjuk (Jawa Timur) untuk memerangi ritual Tantra. Ritual baru ini pun kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya di Jawa.

Masyarakat Islam Indonesia saat ini mungkin tidak lagi mengetahui asal-muasal ajaran "Ma Lima" ataupun tradisi selamatan/kendurian yang telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Meski demikian, sejarah telah menunjukkan bahwa keberhasilan dipeluknya Islam di Indonesia antara lain ditunjang oleh keberhasilan para pendakwah Islam untuk menggunakan istilah-istilah agama dan tradisi-tradisi yang telah ada di tengah-tengah masyarakat dan memberinya makna yang baru yang kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya.

Referensi lebih lanjut: 
- http://damar-shashangka.blogspot.co.id/…/ajaran-shiwa-bhair…
- https://en.m.wikipedia.org/wiki/Panchamakara
- http://perjalanankesadaran.blogspot.co.id/…/ajaran-tantraya…
- http://www.sacred-texts.com/tantra/
- http://m.viva.co.id/…/668989-ritual-minum-darah-dan-bersetu…
- http://www.hariansejarah.id/…/pelaksanaan-tahlilan-pertama-…


0 Comments

Tasawuf di Barat

12/11/2017

0 Comments

 
Senang atau tidak dengan Tasawuf (Sufisme), yang saya lihat selama ini, banyak sekali orang di Barat yang akhirnya melirik ataupun memeluk Islam setelah mengenal Tasawuf. Lihat saja komentar-komentar di video ini. Karena Islam yang mereka kenal melalui Tasawuf berbeda dengan Islam yang mereka kenal melalui media massa ataupun digadang-gadang oleh ISIS.

Kalau bicara tentang masyarakat Barat, ini adalah masyarakat yang sebenarnya trauma dengan agama, kekerasan, dan merindukan jalan-jalan spiritual yang menawarkan cinta kasih. Karena pada suatu masa, masyarakat Barat pernah dikuasai institusi keagamaan yang telah berubah menjadi sangat berkuasa dalam setiap sendi kehidupan, melabeli, dan menghukum siapa saja yang tidak sependapat dengannya.

Yang saya pelajari, dulu ketika Indonesia masih mayoritas Hindu-Buddha, Islam juga masuk dengan membawa semangat yang diberi penekanan lebih dalam Tasawuf. Oleh karena itu meski masyarakat saat itu menjalankan ritual-ritual yang amat berbeda dengan Islam, tapi semangat Islam dapat sampai kepada mereka.
​
Semoga semangat ini bisa menyebar lagi di masyarakat Muslim saat ini. Amin.
0 Comments

Llewellyn Vaughan Lee, Ph.D.

12/11/2017

0 Comments

 
Llewellyn Vaughan Lee, Ph.D. beserta istrinya, Anat Vaughan Lee (foto tidak ditampilkan disini), adalah dua orang asli Inggris yang kini menjadi guru besar dan salah satu pemimpin Naqshabandiyah, sebuah tarekat Tasawuf yang sudah berusia 7 abad, di Amerika dan Kanada. 

Di dunia banyak ahli bahasa Jawa Kuno justru orang Belanda, bukan Indonesia asli. Dalam satu abad ke depan, saya yakin akan lebih banyak juga tokoh-tokoh besar Islam yang berasal dari Barat, bukan Asia.
Picture
0 Comments

Buku tentang Yahudi dan Kekristenan Awal

11/11/2017

0 Comments

 
Alhamdulillah, seneng banget sebagian buku yang saya pesan dari luar sudah tiba. Menemukan buku tentang sejarah Kekristenan awal ataupun agama Yahudi di toko-toko buku di Jakarta, bahkan yang impor sekalipun, dan ditulis oleh pakarnya sangat susah sekali.
​
Sudah agak lama saya tertarik untuk mengetahui lebih detail lagi tentang bentuk awal agama Kristen sebagaimana ia pertama kali diwartakan kepada kaum Gentil/Goyim dan sebelum mendapat pengaruh Romawi. Insya Allah menambah koleksi pustaka buku-buku Kristen saya.
Picture
0 Comments

A World Without Religion..

30/10/2017

0 Comments

 
Some people argue that if there were no religion, the world would be a better place. Because, according to them, no war would be waged in the name of God.

I ask then if supposedly the notion of God were erased from human memory and civilisation, would no blood really be spilled on Earth? Not the least! Human will still find other excuses to spill blood: racial superiority, economical elitism, entitled right to a certain territory or resource, group self defense and so forth.
​
Greedy humans love to sabotage. When confronted with religion, they take verses from the scripture that befit their mindset and abandon those that do not. The true spirit of the religion itself is overlooked. That is how men come to sabotage religion.
0 Comments

Bisa Melihat Warna adalah Nikmat Allah

28/10/2017

0 Comments

 
Kalau melihat video seperti ini, kita menjadi sadar bahwa bisa melihat warna itu... nikmat Allah yang luar biasa.
0 Comments

Kesamaan dan Perbedaan Buddha dan Nietzsche

18/10/2017

0 Comments

 
Buat yang sudah pernah mengkaji Buddhisme lalu menilik pemikiran-pemikiran Nietzsche akan menemukan bahwa banyak pemikiran Nietzsche yang sama dengan pemikiran Buddha.

Diantaranya, keduanya sama-sama meyakini bahwa esensi hidup adalah penderitaan dan bahwa untuk menjadi manusia paripurna (Übermensch dalam istilah Nietszche), manusia harus berjuang untuk mengalahkan dirinya sendiri.
​
Bedanya, Nietzsche belum menemukan jalan dan praktek-praktek untuk melampaui penderitaan, sebagaimana Buddha. Buddha sudah menemukan ini dan merumuskannya dalam "Jalan Mulia Beruas Delapan" (Eightfold Noble Paths). Lebih lanjut bahkan Buddha sudah menetapkan aturan-aturan kehidupan monastik untuk mereka yang tertarik mencapai "pencerahan spiritual" lebih cepat.
0 Comments

A History of God

18/10/2017

0 Comments

 
Entah kenapa kemarin-kemarin ini tertarik sekali menonton video-video dokumenter soal Auschwitz dan Holocaust. Akhirnya jadi banyak baca lagi soal agama Yahudi dan Zoroastrianisme. Dan akhirnya jadi tertarik beli buku klasik yang tadinya sama sekali tidak ada niat untuk beli. 1 hari sudah habis baca 40 halaman, lumayan. wkwk.
Picture
0 Comments

Terlalu Sibuk Mengkafir-kafirkan Orang Lain

29/9/2017

0 Comments

 
Terkadang kita terlalu sibuk "mengkafir-kafirkan" orang-orang di luar golongan kita, sampai kita lupa bahwa sebenarnya sebagai sesama manusia kita punya banyak cita-cita yang sama: kesehatan, hidup yang damai dan penuh kebahagiaan hakiki. Dan bahwa kita sebenarnya dapat bekerja bersama-sama sebagai satu spesies untuk mencoba mewujudkan cita-cita itu.
0 Comments

Sikap Enggan Membantu Orang Lain

7/9/2017

0 Comments

 
Picture
Dulu saya juga sempat memikirkan omongan orang-orang seperti Andriy ini. Barangkali saja mereka benar. Tapi kemudian saya dapat memutuskan sikap saya secara cepat setelah saya membuat pertanyaan analogi berikut untuk diri saya sendiri.

Seandainya saya bertemu dengan seorang bule di tengah jalan yang sangat memerlukan bantuan saya, akankah saya berkata "Maaf, saya tidak mau membantu Anda, karena Anda bukan orang Indonesia" ? Tentu tidak. Kalau saya bisa membantu, kenapa tidak saya bantu?

Kemudian saya sadari bahwa menolak membantu seseorang atau sekelompok orang, apalagi yang sangat memerlukan, dikarenakan etnisnya (dia beda suku atau negara dengan kita) ataupun agamanya, sebenarnya adalah sikap rasis. Logikanya, dan sudah seharusnya sebagai sesama manusia, kita membantu siapa saja, manakala kita tahu ada yang perlu bantuan dan kita pun mampu. Tidak ada yang minta dilahirkan dalam suku A, B, atau C.

Analogi yang sama juga berlaku untuk mereka yang enggan membantu karena merasa bahwa diri mereka sedang berada dalam "kesulitan". Sengaja saya beri tanda kutip pada kata "kesulitan", karena itu adalah persepsi subyektif.

Bagi saya seperti ini. Hidup itu adalah ujian. Sepanjang hidup, kita akan selalu menemui hal yang bernama kesulitan. Kalau kita selalu menjadikan kesulitan sebagai alasan, maka kapan kita mulai akan berguna bagi manusia lainnya? Barangkali bukan kesulitan yang menjadi alasan sebenarnya. Barangkali sebenarnya keegoisan kita.
​
Saya sendiri tak henti-hentinya kagum kepada sekian banyaknya contoh yang sudah saya temui berupa orang-orang yang secara ekonomi berada dalam kesulitan, namun sangat ringan tangan dan rela berbagi apapun yang mereka miliki kepada sesama. Kehadiran orang-orang mulia seperti ini, insya Allah, yang akan selalu jadi pengingat bagi saya untuk tidak mudah menjadikan "kesulitan" sebagai halangan untuk membantu orang lain.
0 Comments

Sikap Intoleran Tak Pandang Agama atau Kecerdasan

6/8/2017

0 Comments

 
Dulu, tahun 2009, waktu umat Islam minoritas di Swiss mau membangun menara masjid (Menara ya. Masjidnya sendiri sudah ada), ramai orang Swiss menentang. Kata mereka, menara masjid, dan juga termasuk bangunan masjid sebenarnya, tidak sesuai dengan budaya setempat dan merusak lansekap kota yang ada. Padahal menaranya ada di dalam lingkungan masjid. Terkait isu ini bahkan sampai diadakan referendum nasional di Swiss (lihat https://en.m.wikipedia.org/w…/Swiss_minaret_referendum,_2009).

Eh sekarang giliran ada segelintir umat Islam yang menentang pembangunan patung dewa Kwan Sing Tee Koen di Tuban. Alasan penentangannya, uniknya, sama dengan orang-orang Swiss tadi, yaitu tidak cocok dengan lansekap budaya dan agama masyarakat setempat. Padahal patungnya ada di dalam lingkungan klenteng.

Melihat perilaku kelompok-kelompok seperti itu, saya benar-benar merasa geli. Dan bukan sekali ini saya geli. Sebenarnya ada banyak lagi contoh perilaku standar ganda seperti ini yang telah dilakukan kelompok-kelompok dari berbagai agama, tapi saya malas menyebutkan di sini satu per satu.

Melihat bahwa perilaku seperti ini telah dilakukan oleh kelompok-kelompok dari banyak agama dan berbagai tingkat kemajuan ekonomi (lndonesia, Swiss, dll), sebenarnya ada satu pelajaran yang bisa kita ambil. Apa? Yaitu sikap tidak toleran tidak ada kaitannya dengan agama, tingkat pendidikan, ataupun kemajuan ekonomi pengusungnya.

Sikap toleransi itu perlu dilatih. Dan tentunya ditumbuhkan. Melalui pendidikan sejak dini, baik di lingkungan formal (sekolah, tempat kerja, dll) maupun, yang lebih penting, informal (keluarga). Tentunya kalau kita peduli terhadap pentingnya toleransi.

Terlalu naif orang-orang Indonesia yang mencaci maki negaranya sendiri dengan mengatakan bahwa orang-orang Indonesia tidak toleran (seakan semua orang Indonesia sama) dan oleh karena itu tidak akan pernah maju seperti AS atau Jerman. Mereka lantas mengatakan, mereka sebenarnya ingin pindah saja dari negara ini.
Hehe, buat saya, perilaku orang-orang yang mau enaknya saja ya seperti ini. Kalau Anda mau perubahan, ya Anda harus ikut berjuang bersama-sama. Di negara manapun, itulah kewajiban kita sebagai warga negara.

Apakah Anda kira di negara-negara maju tidak ada sikap intoleransi? Sejarah intoleransi negara-negara maju bahkan banyak yang lebih berdarah-darah dari kita sebenarnya (baca sejarah pembantaian Indian Amerika atau pemancungan warga kulit hitam di AS; atau pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman).

Juga salah orang-orang yang mencoba membenarkan sikap intoleran mereka kepada pihak lain dengan sikap intoleran yang telah dilakukan pihak lain ke mereka.

Kalau kita memang orang yang senantiasa mencoba berpegang pada kebenaran, kita akan bertanya "Sebenarnya sikap apa yang benar?". Jangan korbankan prinsip kebenaran karena ada manusia-manusia lain yang tidak menjalankannya. Kebenaran dan keadilan harus dijalankan tanpa pandang bulu. Sekali lagi, tentunya kalau kita peduli. Pada kebenaran dan keadilan.
​
Jadi, mengingat sikap intoleran bisa muncul di berbagai keadaan masyarakat, maka untuk menghadapinya diperlukan sikap toleran yang tidak bisa muncul secara otomatis, melainkan harus dibentuk dan ditumbuhkan.
Perubahan bisa dimulai ketika Anda, saya dan semua orang memulainya di lingkungan terdekat kita.
0 Comments
<<Previous

    TOPICS

    All
    Anthropology
    Archaeology
    Architecture
    Astronomy & Cosmology
    Biology
    Book Recommendation
    Business & Property
    Economy
    Education
    Film Recommendation
    General Science
    Geography
    Geology
    Geopolitics
    History
    Life
    Linguistics
    Others
    Philosophy
    Photography
    Place Recommendation
    Poem
    Politics
    Psychology
    Quantum Physics
    Religion
    Sociology

    RSS Feed

    MONTHS

    December 2019
    November 2019
    October 2019
    June 2019
    May 2019
    March 2019
    February 2019
    November 2018
    October 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    November 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014
    May 2014
    April 2014
    March 2014
    February 2014
    January 2014
    December 2013
    November 2013
    September 2013
    August 2013
    June 2013
    May 2013
    April 2013
    March 2013
    February 2013
    January 2013
    December 2012
    November 2012
    October 2012
    September 2012
    August 2012
    July 2012
    June 2012
    May 2012
    March 2012
    February 2012
    November 2011
    December 2009
    November 2009
    January 2009
    May 2008
    March 2008
    January 2008
    December 2007

  • Home
  • Curriculum Vitae
  • Thoughts
  • Photographs
  • Poems
  • Languages Learning
    • Indonesian Phrases
    • Persian Phrases
    • French Phrases
    • German Phrases
    • Dutch Phrases
    • Learning Materials
  • Contact