Non-Multiversalitas Hukum Logika dan Kemungkinan Ketidaklengkapannya Menurut Teorema Gödel16/4/2018 A. Sifat Non-Multiversal dan Koheren Hukum Logika Ketika saya kelas-2 SMP, saya pernah memiliki pertanyaan sebagai berikut: "Bila alam semesta jamak ("multiverse") sebagaimana yang diyakini sebagian ahli Fisika memang ada dan bila masing-masing alam semesta itu memiliki hukum alam yang berbeda dengan hukum alam kita (seperti yang diyakini sebagian ahli Fisika), maka apakah mungkin bila ada satu atau malah beberapa alam semesta dimana hukum logikanya ("logics") berbeda dengan hukum logika kita dan justru tidak bisa membuktikan keberadaan zat adikodrati seperti Tuhan?" Memikirkan konsekuensi/jawaban dari pertanyaan saya saat itu membuat saya cukup takut. Karena bila hal yang saya tanyakan ternyata terjadi, artinya akan ada alam semesta dimana para makhluknya tidak akan bisa mengetahui eksistensi substansi adikodrati (Tuhan) dengan mengandalkan hukum logika. Lantas bila hukum logika yang kita yakini ini bersifat terbatas, sejauh mana kita bisa menjamin koherensinya (konsistensinya)? Arah menuju jawaban dari pertanyaan saya ketika SMP tersebut baru saya temukan lama kemudian, yaitu ketika beberapa tahun lalu saya melemparkan sebuah pertanyaan ke sebuah forum filsafat: "Apakah hukum logika kita berlaku secara multiversal (berlaku juga di alam-alam semesta lain)?" Dari banyak jawaban yang masuk, menurut saya hanya ada satu jawaban yang relevan sekaligus menarik. Jawabannya sebagai berikut setelah saya terjemahkan dari bhs.Inggris: "Perlu kita ingat bahwa yang kita namakan hukum logika di dunia kita didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang kita buat di pikiran kita setelah kita mengamati kelumrahan-kelumrahan yang terjadi di sekitar kita sejak kita lahir. Ini juga menyangkut proses sebab-akibat (kausalitas) yang biasa kita amati di sekitar kita. Sebagai contoh, kita katakan bahwa 2 + 2 = 4, karena kita selalu melihat bahwa bila kita menyandingkan 2 buah benda dengan 2 buah benda lainnya di alam semesta kita, maka pada akhirnya selalu akan ada 4 benda. Tapi apakah akan selalu demikian adanya di alam-alam semesta lain? Belum tentu! Di alam semesta lain, bisa saja bila kita menyandingkan 2 buah benda dengan 2 buah benda lainnya akan muncul 1 buah benda lagi secara tiba-tiba (out of no where), sehingga secara keseluruhan ada 5 buah benda. Dengan demikian, hukum logika yang berlaku di alam semesta tersebut justru 2 + 2 = 5". Jawaban tersebut bagi saya sangat masuk akal. Apakah konsekuensi dari jawaban tersebut? Konsekuensinya: 1. Hukum logika tidak dijamin berlaku multiversal (lintas alam semesta). 2. Meski demikian, di tiap alam semesta, hukum logika yang ada di alam semesta tersebut bisa dijamin koherensinya. Karena hukum logika tersebut lahir dari pengamatan terhadap kelumrahan, termasuk proses sebab akibat, yang terjadi di alam semesta tersebut. B. Ketidaklengkapan dan Inkonsistensi Menurut Teorema Gödel Sementara saya meyakini bahwa hukum logika bersifat koheren/konsisten secara relatif di setiap alam semesta dimana ia berlaku, sebagaimana disebutkan di butir 2 di atas, saya memikirkan kembali tentang kekonsistenan tersebut setelah mengenal Teorema Ketidaklengkapan ("Incompleteness Theorem") yang dirumuskan oleh Kurt Friedrich Gödel, seorang pakar modern matematika dari Austria. Walaupun Gödel tidak membahas hukum logika secara umum, namun ia membahas tentang matematika, yang mana bagi saya merupakan bentuk ekspresi paling mendasar dari logika yang berlaku di alam semesta kita. Bila saya sederhanakan dari rumusan aslinya yang bersifat teknis, Gödel menyatakan bahwa kita tidak dapat membangun suatu sistem matematika yang bersifat konsisten ("consistent") dan pada saat yang bersamaan bersifat lengkap ("complete"). Suatu sistem matematika dikatakan konsisten, bila setiap pernyataan ("theorem") di dalam sistem tersebut hanya dapat bersifat benar atau salah; tidak mungkin bersifat benar dan salah secara sekaligus. Sementara itu, suatu sistem matematika dikatakan lengkap, bila setiap pernyataan di dalam sistem tersebut dapat dibuktikan benar salahnya. Konsekuensi dari Teorema Ketidaklengkapan Gödel adalah, bila seluruh pernyataan di dalam suatu sistem matematika dapat dipastikan memiliki nilai benar atau salah ("consistent"), maka akan ada pernyataan-pernyataan yang tidak akan bisa kita ketahui kandungan benar-salahnya karena kita tidak akan memiliki bukti untuk melakukan pembuktian tersebut ("incomplete"). Konsekuensi lainnya adalah, bila kita memiliki bukti untuk membuktikan benar-salah dari seluruh pernyataan di dalam suatu sistem matematika ("complete"), maka akan ada pernyataan-pernyataan di dalam sistem tersebut yang bersifat benar dan salah pada saat yang bersamaan ("inconsistent"). Bila kita meyakini bahwa pernyataan matematika merupakan ekspresi paling mendasar dari sistem logika yang berlaku di alam semesta kita dan bila kita tarik Teorema Ketidaklengkapan tersebut ke dunia riil maka implikasinya adalah, sementara kita meyakini bahwa setiap pernyataan/klaim tentang fakta di dunia kita hanya dapat bersifat benar atau salah, kita sesungguhnya kekurangan alat bukti dari dalam alam semesta kita sendiri untuk membuktikan kebenaran setiap klaim tersebut. Dikarenakan logika merupakan "jalur" pembuktian di dalam proses di atas, maka dapatkah kekurangan alat bukti yang disebut di atas menunjukkan bahwa ada lubang di dalam sistem logika (setidaknya sistem logika yang dikenal di alam semesta kita, karena Teorema Ketidaklengkapan Gödel pun digagas di dalam alam semesta kita)? Bila ada lubang semacam ini, maka masih dapatkah dikatakan bahwa sistem logika kita sepenuhnya koheren? Di sisi lain, Anda dapat meyakini bahwa kita memiliki cukup bukti dari alam semesta kita sendiri untuk membuktikan benar-salah dari setiap klaim yang ada tentang fakta, namun konsekuensinya adalah ada beberapa hal yang dapat memiliki nilai benar dan salah sekaligus. Inikah sifat alam semesta kita sebagaimana disiratkan oleh pengandaian Kucing Schrödinger (Schrödinger's Cat; SC) dalam Fisika Kuantum? Ini adalah suatu perkara yang mungkin akan terkuak realitanya seiring kemajuan teknologi manusia atau ini mungkin menjadi salah satu perkara yang dikatakan Plato sebagai hal-hal yang ditanyakan manusia, dikarenakan kemajuan daya berpikirnya, namun tidak akan pernah ditemukan jawabannya, dikarenakan keterbatasan pengetahuannya.
0 Comments
Weekend ini waktu untuk refreshing rasanya kurang. Tapi alhamdulillah, dengan curi-curi waktu di sela-sela saat menunggui keluarga di RS akhirnya tetap bisa menghabiskan buku ini.
Bagi yang suka baca, buku dengan kadar intelektualitas yang bagus adalah bagai sepotong pizza yang lezat. Buku setebal 350 halaman ini membahas karya-karya 50 filosof terkenal mulai dari Nietzsche, Hegel, Kierkegaard, dll. Buat yang sudah pernah mengkaji Buddhisme lalu menilik pemikiran-pemikiran Nietzsche akan menemukan bahwa banyak pemikiran Nietzsche yang sama dengan pemikiran Buddha. Diantaranya, keduanya sama-sama meyakini bahwa esensi hidup adalah penderitaan dan bahwa untuk menjadi manusia paripurna (Übermensch dalam istilah Nietszche), manusia harus berjuang untuk mengalahkan dirinya sendiri. Bedanya, Nietzsche belum menemukan jalan dan praktek-praktek untuk melampaui penderitaan, sebagaimana Buddha. Buddha sudah menemukan ini dan merumuskannya dalam "Jalan Mulia Beruas Delapan" (Eightfold Noble Paths). Lebih lanjut bahkan Buddha sudah menetapkan aturan-aturan kehidupan monastik untuk mereka yang tertarik mencapai "pencerahan spiritual" lebih cepat. When being asked, who his best friend is, many a people shall respond "this person" or "that person". I, however, grow to believe that this is wrong.
Our own best friend is actually and should always be.. ourself! We give our best friends or beloved ones advices that they should take care of their bodies or their health. Yet how many of us has done it to ourself? We give our best friends or beloved ones consolation when they make mistakes and regret about them. Yet how many of us has done it to ourself? While we seem to always attempt to be best friend to our beloved ones, why haven't we become one to our own self? Friends will not always be on our side. But we are always on our own side. You may lament as well that God is not on your side when a misfortune or calamity strikes in your life. Yet you are always on your own side. As many wise men say that we are the block to our own enlightenment or advancement. In the pursuit to that end, at its every cherishful or harsh turn, we should always be our own best friend! Teringat diskusi tahun lalu dengan teman kantor di waktu istirahat soal filsafat dan soal bagaimana sesuatu yang tampak sudah pasti di depan banyak orang bisa jadi meragukan ketika diuji oleh filsafat.
Teman (T): Rief, kenapa ada orang yang mau pusing-pusing belajar filsafat? Apa manfaatnya? Saya (S): Filsafat emang sering bikin pusing dan gak wajib dipelajarin. Tapi kalo lo tipe orang yang gak suka gampang percaya sama orang lain dan ingin menguji klaim kebenaran yang diajuin orang lain, filsafat bisa jadi alat bantu yang bermanfaat. T: Oh. Misalnya gimana tuh? S: Misalnya gini. Ini kan buah apel ya (Saya ambil apel merah yang ada di mejanya). Apa warna dan rasanya? T: Warnanya merah dan rasanya manis. Tadi gue dah makan satu. S: Ok. Lo yakin banget kalo buah ini warnanya merah dan rasanya, termasuk apel yang lo makan tadi, manis? T: Yakin lah. S: Hmm, masalahnya, bisa jadi warna buah ini gak merah dan rasanya gak manis. Bahkan mungkin gak ada yang tau apa sebenernya warna dan rasa buah ini. T: Hah, kok bisa gitu? S: Gini. Kenapa lo yakin kalo warna buah ini merah? Saat ini buah ini keliatan merah buat loe karena pigmen yang ada di kulit buah ini mantulin panjang gelombang tertentu dari sinar lampu yang ada dan mengaktivasi sel-sel kerucut (cone cells) tertentu di retina mata loe yang kemudian memberi persepsi warna merah di otak. Pertanyaannya, kalo begitu, warna merah itu adanya di buah ini, di sensor mata lo, ato di otak lo? T: Ok.... S: Fakta ilmiahnya, ada orang-orang buta warna parsial yang sel-sel kerucut matanya gak akan bereaksi terhadap panjang gelombang yang akan menghasilkan persepsi warna merah di otak orang non-buta warna. Bahkan ada makhluk-makhluk hidup selain manusia yang sel-sel kerucut matanya jauh lebih sensitif dan memberi persepsi warna berbeda ketika panjang gelombang yang diterima matanya berubah sedikit saja. Di mata mereka, warna buah ini bisa jadi hijau, ungu, dan macem-macem. Ketika kita melihat apel ini berwarna merah hanya karena "keterbatasan" fisik kita, apa bisa kita mengatakan bahwa warna buah ini sejatinya adalah merah? T: Wow.. S: Begitu juga rasa buah ini. Manis. Dari mana lo tau kalo buah ini manis? Lo ngerasa buah ini manis karena buah ini punya kandungan kimia tertentu yang mengaktivasi sel-sel tertentu di lidah lo yang memberi persepsi rasa manis ke otak. Kalo kayak gini, rasa manis itu betul ada di buahnya ato justru di lidah lo ato di otak lo? Ada makhluk-makhluk hidup selain manusia yang lidahnya gak bereaksi terhadap zat kimia yang memberi rasa manis di otak kita. Bahkan ada makhluk-makhluk hidup yang lidahnya akan memberikan persepsi rasa yang jauh lebih banyak ke otaknya dibanding lidah kita. So, kalo kita ngerasa bahwa apel ini rasanya manis cuma karena keterbatasan fisik kita, bisakah kita bilang kalo apel ini sejatinya emang berasa manis? T: Wow, gak pernah terpikir oleh gue sebelumnya hal ini. S: Nah, itulah salah satu fungsi filsafat. Filsafat menguji hal-hal yang keliatannya udah pasti dan diterima begitu aja oleh orang banyak, padahal persepsi orang banyak itu gak didukung landasan yang kokoh. Cabang filsafat yang menguji apakah kita bener-bener bisa "tahu" tentang suatu hal secara benar ini adalah Epistemologi. Tokoh-tokohnya adalah John Locke, Thomas Hobbes, Descartes, Leibniz, dll. I discover that the unwillingness to suffer is the root of fear. He who wants to accept suffering will not fear.
But then, it is still not easy to put our fear down. Because I think it has become human tendency to avoid suffering. Our innate nature drives us to make our life happier and more cherishful, not more miserable with sufferings. Thus the battle against fear will still hold. Kekuatan dan Kelemahan Masing-masing Filsafat, Sains dan Agama Sebagai Alat Pencarian Kebenaran27/8/2016 Setelah selesai membaca beberapa buku yang ingin saya selesaikan untuk bulan Agustus ini, akhirnya saya punya waktu untuk mulai membaca sebuah buku yang sebenarnya sudah agak lama saya beli namun selama ini terbengkalai. Buku ini tidak dijual di toko buku dan saya beli langsung dari penulisnya. Kalau dijual di toko buku, barangkali buku ini dapat menimbulkan polemik karena memaparkan penemuan-penemuan terkini dalam bidang sains yang, menurut penulisnya, menentang klaim-klaim agama selama ini -Kristen pada khususnya dan agama-agama lain pada umumnya- dan berargumen bahwa agama lebih inferior daripada sains. Penulisnya adalah seorang doktor teologi Indonesia yang pernah menjadi seorang gembala jemaat, namun kini pindah haluan ke Agnotisisme/Ateisme setelah mengkaji teks kitab suci agama asalnya dan sains terkini. Saya mengenal tokoh penulis ini melalui Internet ketika saya sendiri berusaha mencari tahu tentang tanggal asli kelahiran sosok Yesus dari Nazaret. Komentar saya terhadap buku ini akan saya paparkan di tulisan lain secara terpisah setelah saya selesai membaca buku setebal nyaris 500 halaman ini. Meski demikian, di tulisan ini saya ingin memberikan pandangan pribadi saya terhadap klaim sebagian orang bahwa sains lebih unggul dari agama. Sebagai seseorang yang juga mempelajari sains dan filsafat di samping agama sebagai upaya untuk menemukan jawaban obyektif atas pertanyaan-pertanyaan yang saya miliki seputar alam semesta dan kehidupan, saya sendiri berpandangan, setidaknya untuk saat ini, bahwa filsafat, sains, dan agama memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing ketika dijadikan alat untuk mencari kebenaran atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia yang bersifat fundamental. A. Filsafat Filsafat, yang terlebih dahulu lahir sebelum sains dan menjadi bibit kelahiran sains, menitikberatkan pada penggunaan logika dan pengambilan pelajaran dari peristiwa sehari-hari untuk menjawab berbagai pertanyaan. Bagi saya, filsafat sangat bagus digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan moral atau etika, seperti misalnya "Apakah percobaan kloning manusia dapat dibenarkan?", namun telah terbukti gagal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan alam semesta. Sebagai contoh sederhana, untuk waktu yang sangat lama, para ahli filsafat meyakini bahwa laju berlalunya waktu adalah tetap dan sama dimana saja, sebagaimana diyakini oleh hukum Newton klasik. Namun ketika Einstein datang dengan hukum Relativitasnya, eksperimen-eksperimen Fisika berhasil membuktikan bahwa ternyata waktu berjalan lebih lambat bagi obyek yang melaju mendekati kecepatan cahaya ataupun berada dekat obyek lain yang bermassa besar, sebagaimana dikemukakan Einstein. Dengan demikian, laju waktu tidak sama pada semua tempat dan kondisi. Sains modern telah berhasil membuktikan bahwa pada skala makro (ranah hukum Relativitas) dan mikro (ranah Fisika Kuantum), alam semesta ternyata tidak bekerja dengan cara yang lazimnya kita temui dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia. Padahal filsafat sering menjadikan pengamatan terhadap kehidupan sehari-hari sebagai salah satu pertimbangan dalam menjawab berbagai pertanyaan fundamental. Selain itu, kita juga tidak dapat mencari jawaban untuk seluruh pertanyaan fundamental yang mungkin kita miliki dengan menggunakan filsafat, karena dapat memakan waktu yang sangat lama, bila tidak menghabiskan lebih dari usia hidup yang mungkin kita miliki. Dalam hal ini, mengikuti jawaban-jawaban yang diberikan agama adalah lebih praktis, bila, tentu saja, kita meyakini agama tersebut. B. Sains Sains yang seringkali dikatakan sebagian orang lebih unggul daripada agama bagi saya pun memiliki kelebihan dan kekurangan jika dijadikan alat untuk mencari kebenaran. Kelebihan sains, yang pada awalnya berasal dari bahasa Latin "scientia" dan sebenarnya berarti "pengetahuan", terletak pada proses obyektif yang (seharusnya) ditempuhnya untuk mencapai suatu kesimpulan ataupun merumuskan suatu teori. Berbagai kesimpulan dalam sains dicapai melalui proses pengamatan atau eksperimen yang harus dapat diulangi juga oleh orang lain. Dengan demikian, suatu klaim dalam sains dapat diverifikasi oleh banyak pihak. Kekurangan sains? Ada juga. Pertama, tidak ada jaminan bahwa apa yang dikatakan sains benar pada hari ini akan terus benar untuk selamanya. Bila ada penemuan suatu data baru/anomali yang dapat menyanggah suatu teori, teori itu perlu ditinjau ulang dan bisa diruntuhkan. Kedua, sains kita sebenarnya masih berusia sangat muda. Sains modern dengan proses ilmiahnya, berupa pengamatan dan eksperimen, baru dapat dikatakan lahir setelah Abad Pertengahan. Sains ini baru mengumpulkan sedikit sekali data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental manusia terkait asal-usul alam semesta, kehidupan, keberadaan dimensi lain, Tuhan, dan lain-lain. Jangan percaya bila ada pihak yang berupaya menggunakan sains untuk mengukuhkan pandangannya terkait asal-usul alam semesta, kehidupan, manusia, ataupun hal-hal yang bukan jadi obyek telaah sains praktis (Applied Science), karena bila Anda mengikuti jurnal-jurnal ataupun buku-buku sains populer, sesungguhnya terdapat aneka ragam pendapat ilmuwan terkait topik-topik ini. Beberapa ilmuwan meyakini bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, termasuk yang bersifat metafisika, akan mampu dijawab sains meskipun memakan waktu yang lama. Namun beberapa lainnya berpendapat bahwa beberapa pertanyaan seperti keberadaan "Apakah Tuhan ada?" atau "Apa yang ada sebelum alam semesta ada?" tidak akan pernah bisa dijawab sains karena berada di luar ranah sains. Ketika seseorang atau suatu masyarakat, seperti mayoritas masyarakat Barat, hanya meyakini sains sebagai alat pencarian kebenaran, biasanya konsekuensinya hanya dua: ia menjadi Ateis (bila ia meyakini bahwa sains sudah punya jawaban atas segala fenomena dan karenanya keberadaan Tuhan tak lagi diperlukan) atau menjadi Agnostik (bila ia meyakini bahwa sains belum menemukan jawaban untuk banyak pertanyaan). C. Agama Daya tarik agama terletak pada kepraktisannya dalam menjawab berbagai pertanyaan fundamental yang sering dimiliki manusia. Anda tinggal mengikuti jawaban-jawaban yang diberikan suatu agama untuk pertanyaan-pertanyaan Anda, bila Anda meyakini agama tersebut. Tapi bagi mereka yang mencari keobyektifan, di situ pulalah terletak masalahnya. Anda harus membuktikan bagi diri Anda sendiri bahwa suatu agama adalah benar dan layak diyakini, sebelum Anda dapat meyakini semua doktrin ataupun jawaban yang ia berikan terkait pertanyaan-pertanyaan yang mungkin Anda miliki, seperti "Apakah ada surga dan neraka?". Selain itu, bagi Anda yang selalu menginginkan obyektifitas, Anda tidak akan selalu menemui jawaban atau penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan Anda terkait doktrin suatu agama. Disinilah seringkali dikatakan bahwa Anda harus melakukan "lompatan iman" ("leap of faith") dengan mempercayai bahwa apa yang diajarkan agama tersebut pasti benar dan baik. Bagi saya, lompatan iman bisa dilakukan, namun hanya bila kita sudah berhasil membuktikan kepada diri kita sendiri bahwa agama tersebut memang benar dan layak dipercayai. Wallahu a'lam bish shawab Dalam ilmu Logika, proposisi adalah suatu kalimat yang mengandung pernyataan tentang keadaan, identitas, ataupun perbuatan seseorang atau suatu hal dan bisa jadi benar ataupun salah. Sesungguhnya, keseluruhan ilmu Logika sendiri dapat dikatakan sebagai ilmu yang mengkaji tentang proposisi. Ia mengkaji implikasi-implikasi berupa proposisi-proposisi lain yang dapat muncul dari suatu proposisi. Ia juga mengkaji kebenaran kesimpulan yang terkandung di dalam sebuah proposisi dengan melihat proposisi-proposisi pendukungnya (premis-premis) dan metode pengambilan kesimpulan yang digunakan. Ilmu Logika tidak mengkaji apakah suatu proposisi sesuai dengan kenyataan atau tidak ataupun secara moral benar atau salah, karena ini merupakan ranah sains dan filsafat etika. Di dalam ilmu Logika, proposisi dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok besar: Kategoris, Hipotesis, dan Modalitas. Dari ketiga kelompok tersebut, saya tertarik untuk membahas proposisi-proposisi yang masuk dalam kelompok Kategoris, karena proposisi-proposisi di kelompok ini akan banyak disinggung dalam proses pengambilan kesimpulan berdasarkan ilmu Logika. Ada 4 proposisi di dalam kelompok Kategoris: 1) Proposisi Universal Afirmatif, disebut proposisi tipe A dalam ilmu Logika, yaitu proposisi yang menerangkan keadaan yang berlaku kepada semua anggota di dalam suatu kelompok benda tanpa kecuali. Contoh: Seluruh bangsa Indonesia terdiri dari manusia. 2) Proposisi Universal Negatif, disebut proposisi tipe E dalam ilmu Logika, yaitu proposisi yang menerangkan keadaan yang tidak berlaku kepada semua anggota di dalam kelompok suatu benda tanpa kecuali. Contoh: Semua manusia tidak abadi. 3) Proposisi Partikular Afirmatif, disebut proposisi tipe I dalam ilmu Logika, yaitu proposisi yang menjelaskan keadaan yang hanya berlaku bagi sebagian anggota di dalam kelompok suatu benda. Contoh: Beberapa orang ada yang jahat. 4) Proposisi Partikular Negatif, disebut proposisi tipe O dalam ilmu Logika, yaitu proposisi yang menjelaskan keadaan yang tidak berlaku untuk sebagian anggota di dalam kelompok suatu benda. Contoh: Sebagian manusia tidak percaya Tuhan. Contoh-contoh untuk tipe-tipe proposisi di atas bisa banyak sekali dan dapat dinyatakan dengan susunan kalimat yang beraneka ragam. Namun demikian, memahami secara baik masuk ke dalam jenis proposisi yang manakah sebuah kalimat merupakan modal dasar sebelum seseorang dapat mempelajari hukum-hukum Logika terkait pengambilan kesimpulan langsung ataupun tidak langsung. Hukum-hukum pengambilan kesimpulan ini bila ada waktunya, insya Allah, akan saya bahas di tulisan-tulisan yang berikutnya. Kalau sebelumnya saya banyak membuat tulisan tentang linguistik, arkeologi, antropologi, sains ataupun agama, mulai saat ini saya juga akan membuat beberapa tulisan tentang Filsafat dan Logika. Ilmu Logika adalah landasan ilmu Filsafat. Ilmu Logika mempelajari cara membuat kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang dijadikan dasar dengan berpegangan pada kaidah sebab-akibat. Ketika sebuah kesimpulan dibuat dengan menggunakan kaidah yang salah ataupun tidak dengan berlandaskan pada suatu premis, maka menurut ilmu Logika telah terjadi "sesat logika" ("logical fallacy"). Di tengah masyarakat, sesat logika sering terjadi. Beberapa yang ingin saya perkenalkan saat ini adalah sebagai berikut: 1) Argumentum Ad Verecundiam Yaitu sesuatu dianggap benar/salah, bukan dengan mengkaji bukti-bukti pendukungnya, tapi semata-mata hanya karena seseorang yang ahli di bidang tersebut mengatakan demikian. Pada kenyataannya, ketika diselidiki lebih jauh, terkait suatu hal para ahli seringkali memiliki pendapat yang berbeda-beda. 2) Argumentum Ad Populem Yaitu sesuatu dianggap benar/salah hanya karena mayoritas menganggap demikian. Ketika dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, seringkali opini kita terkait berbagai hal terpengaruh oleh "Argumentum ad Populem" ini. Padahal kalau kita ingin merenungkan tentang salah benar setiap hal, kita harus bisa memisahkan diri kita dari opini publik dan membentuk pikiran obyektif kita sendiri. 3) Argumentum Ad Misercordiam Yaitu sesuatu dianggap benar/salah hanya karena rasa iba. Sebagai contoh, kita bisa jadi menentang perilaku korupsi, namun kita malah membiarkan tukang parkir menagih uang parkir ke kita tanpa memberikan karcis parkir sebagai bukti pembayaran. Pada dasarnya perilaku tukang parkir ini adalah korupsi juga, namun tidak dipermasalahkan karena yang melakukannya dianggap sebagai "orang kecil". 4) Argumentum Ad Hominem Yaitu sesuatu dianggap benar/salah karena sentimen pribadi kita terhadap pihak yang menyatakannya, bukan karena kandungan pesan yang disampaikannya. 5) Argumentum Ad Bacculum Yaitu sesuatu dianggap benar/salah karena pihak yang berkuasa menetapkan demikian atau ada unsur paksaan di dalamnya. Sebagai contoh, komunisme adalah paham yang pasti buruk karena pemerintah NKRI menyatakan demikian. 6) Argumentum Ad Ignorantiam Yaitu sesuatu dengan mudah dianggap benar/salah, padahal sebetulnya tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan salah benar hal tersebut. Dalam hal ini, penarikan kesimpulan menjadi sesuatu yang dipaksakan. Sebagai contoh, banyak orang awam meyakini keberadaan multiverse (alam semesta jamak), padahal keberadaan multiverse selama ini baru dibuktikan secara teori dan belum melalui observasi. Sumber ilustrasi: http://richardarsic.com/wp-conte…/…/2016/04/confused-man.jpg A. Apa Tujuan Hidup? Seingat saya, SMP adalah saat saya mulai merenungkan dan bertanya tentang tujuan hidup manusia terlepas dari apa yang telah dikatakan agama saya. Memang periode SMP itulah saat saya mulai mencari jawaban saya sendiri atas berbagai pertanyaan, karena saya ingin melihat berbagai hal secara obyektif terlepas dari latar belakang suku, agama, ataupun tingkatan ekonomi tempat saya dilahirkan, meskipun berbagai hal yang telah diajarkan kepada saya hingga saat itu tetap saya pertimbangkan. Pada dasarnya, sejak SMP itulah saya mulai meyakini bahwa sebagai manusia kita harus bersikap kritis dan tidak mudah mengamini apa yang dikatakan lingkungan sekitar kita. Bila kita mudah mengamini, maka manakala kita dilahirkan di lingkungan yang tidak baik, maka kita pun pasti akan dengan mudah meyakini dan mengikuti hal-hal salah yang sudah terlanjur dianggap benar di lingkungan tersebut. Berbagai jawaban saya temui atas pertanyaan kenapa manusia tercipta di dunia ini dan apa tujuan hidup manusia sesuai jumlah buku yang saya baca. Mulai dari jawaban Islami yang mengatakan bahwa makhluk hidup diciptakan Tuhan agar mereka tahu bahwa Tuhan itu ada; jawaban Hindu dan Buddhis yang mengatakan bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk membebaskan dirinya dari lingkaran reinkarnasi dan penderitaan hidup tanpa henti; sampai dengan jawaban yang tidak mengandung unsur spiritual seperti bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memenuhi hal-hal yang dirasakan oleh manusia itu sendiri sebagai kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup menjadi Tuhan bagi manusia itu sendiri karena pemenuhannya akan selalu menjadi tujuan hidup manusia yang bersangkutan, demikian jawaban Aristoteles. Meski demikian, dari perjalanan hidup saya sendiri dan dari pengamatan saya terhadap banyak kehidupan orang lain, saya kemudian menemukan bahwa, setidaknya bagi saya, tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Sederhana saja. Karena saya mengamati dalam kehidupan banyak orang, bahwa bila kita hidup -bahkan bila kita memiliki semua harta yang ada di dunia ini- namun kita tidak bahagia, maka hidup kita adalah percuma, sia-sia. Melalui pengamatan saya lebih lanjut, saya bahkan menyimpulkan bahwa sebenarnya, sadar atau tidak sadar, motif (penggerak) dari semua tindakan manusia adalah untuk mencari kebahagiaan ini, bahkan ketika manusia melakukan suatu tindak kejahatan. Coba kita amati. Ketika seseorang berselingkuh dan melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya, dalam pikirannya ia melakukan itu demi kesenangan -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan bagi manusia tersebut, terlepas dari kenyataan berikutnya bahwa pasangan nikahnya dapat menderita bila mengetahui hal ini. Ketika seorang psikopat menculik ataupun menyiksa korbannya, ia melakukan itu untuk melepaskan dirinya dari derita yang mungkin diakibatkan trauma masa lalunya -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan juga. Bahkan ketika seseorang bunuh diri, ia pun melakukan itu karena ingin melepaskan diri dari hidupnya yang penuh derita -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan lagi. Hampir semua tindakan manusia bisa dikaitkan dengan pencarian kebahagiaan ini, bahkan ketika seseorang melakukan suatu tindakan baik (benevolent) bukan untuk tujuan apa-apa (ikhlas). Bukankah tetap saja ia mendapatkan kepuasan, dengan kata lain kebahagiaan, dengan melakukan tindakan yang didasarkan atas keikhlasan tersebut? B. Perbedaan Kesenangan dan Kebahagiaan Setelah merasa menemukan jawaban tentang tujuan hidup manusia, dalam pencarian saya pertanyaan saya yang berikutnya adalah, keadaan manusia seperti apakah yang dapat dikatakan bahagia? Ketika seorang pecandu narkoba sedang menghisap ganja dan merasakan "fly", dapatkah ia dikatakan bahagia? Ketika seseorang mendapatkan kenikmatan ketika meminum alkohol untuk melupakan kesulitan hidup yang melilit dirinya, dapatkah ia dikatakan bahagia? Entah kenapa, meskipun orang-orang di atas merasakan kelepasan dari derita mereka ketika tengah melakukan hal-hal di atas, berat bagi saya untuk mengatakan bahwa mereka bahagia. Pertanyaannya adalah, bila tidak melakukan hal-hal di atas, akankah mereka merasa bahagia? Bahkan jika mereka mendapatkan pasokan "kebahagiaan" dengan terus menerus menggunakan narkoba ataupun meminum alkohol sepanjang hidupnya, dapatkah sebenarnya mereka dikatakan bahagia? Bagi saya, sulit rasanya. Bila hal-hal di atas tidak menunjukkan kebahagiaan, maka keadaan hidup manusia seperti apakah yang dapat dikatakan bahagia? Ketika merenungkan hal tersebut, sebuah terminologi (kata) kunci lagi memasuki pikiran saya dan harus dibedakan dengan kebahagiaan: kesenangan. Ya, kesenangan. Manusia-manusia di atas, yang menggunakan narkoba ataupun meminum alkohol untuk melepaskan dirinya dari lilitan derita, adalah manusia-manusia yang memperoleh kesenangan (ketika melakukan hal-hal tersebut), tapi bukan kebahagiaan. Kesenangan adalah kenikmatan yang bisa membuat Anda melupakan derita Anda. Bila kesenangan Anda tergantung kepada hal-hal yang bersifat fisik, maka Anda tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari hal-hal fisik tersebut sepanjang hidup Anda untuk membuat diri Anda lupa dengan derita. Kebahagiaan, secara kualitas, berada di atas kesenangan. Kebahagiaan, melalui berbagai pengalaman dalam kehidupan saya pribadi dan perenungan saya, akhirnya saya pahami sebagai sebuah kesejahteraan batin yang Anda rasakan ketika Anda merasa puas terhadap keadaan diri Anda sendiri. Hal yang ingin saya garis bawahi disini adalah, ketika seseorang bahagia, bukan berarti ia terbebas dari berbagai kesulitan hidup ataupun ia hidup dalam kegelimangan harta. Ia bisa saja mengalami berbagai kesulitan hidup dan ia bisa saja bukan seseorang yang kaya raya. Namun ketika ia merasakan puas atas keadaan dirinya, ia dapat dikatakan bahagia. Pada kenyataannya, orang-orang yang bahagia di dunia ini sesungguhnya ada. Saya sudah pernah menemui mereka melalui berbagai buku yang mereka tulis dan saya baca ataupun menemuinya langsung. Kalau menemuinya, kebahagiaan itu bisa Anda rasakan melalui pancaran wajah dan matanya. Mata, kata orang, tidak pernah berbohong. Kebahagiaan bisa berwujud seorang petani, yang meskipun tidak bergelimang harta, namun penuh rasa syukur; seorang kyai yang menjalani kehidupannya yang sederhana di desa; ataupun seorang bhikhu yang gigih menempa spiritualitasnya dan rajin mengayomi umat. Kebahagiaan itu bebas agama dan tingkatan sosial. C. Halangan-halangan Mencapai Kebahagiaan Bila seseorang baru akan memperoleh kebahagiaan hidup ketika ia merasa puas dengan keadaan dirinya, maka ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya, tentunya ia belum akan benar-benar bahagia. Dan banyak faktor yang bisa membuat kita tidak puas atas keadaan diri kita. Ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena belum berada dalam kelimpahan harta yang begitu diinginkannya, maka ia belum benar-benar akan bahagia. Ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena belum mendapatkan jawaban yang ia cari atas pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya, maka ia belum benar-benar akan merasa bahagia. Juga ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena masih terbelenggu oleh berbagai kebiasaan jelek yang sebenarnya sangat ingin ia hilangkan, maka ia belum benar-benar akan merasa bahagia. Karena setiap orang memiliki kepingan hilang yang berbeda dalam hidupnya yang ia rasa harus ia lengkapi sebelum ia bisa merasa puas dengan dirinya sendiri, maka lika-liku perjalanan yang ditempuh setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan utuh pun berbeda. Dan karena tingkat kesulitan yang harus ditempuh setiap orang untuk melengkapi kepingan yang hilang itu juga berbeda, maka waktu yang akan diperlukan setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan utuh juga berbeda. Perjalanan memperoleh kebahagiaan utuh itulah yang tampaknya akan selalu menjadi tema dasar bagi cerita setiap anak manusia. Meski demikian, ada hal lain juga yang ingin saya sampaikan. Perjuangan kita untuk memperoleh kebahagiaan utuh itu jangan sampai membuat kita menafikkan semua hal yang saat ini sudah ada pada diri kita dan seharusnya sudah bisa membuat kita merasa bahagia. Itulah yang hendak dikatakan ungkapan bijak "Tidak ada jalan menuju kebahagiaan. Justru kebahagiaan itulah jalannya". Meskipun pada prakteknya, memperoleh kebahagiaan tidak semudah itu, tapi ungkapan ini mengajarkan bahwa kita tidak boleh menunggu untuk mulai berbahagia. Kenapa? Karena menjalani hidup tanpa kebahagiaan sama sekali terasa sengsara. Ada berbagai karunia pada diri kita saat ini, yang tidak dimiliki setiap orang, yang seharusnya bisa membuat kita bersyukur. Anda, sebagaimana makhluk hidup lain yang bisa merasakan (sentient being), berhak untuk berbahagia. Jalan untuk memperoleh kebahagiaan utuh dalam hidup itu harus mulai dititi saat ini juga. Meski demikian, jangan lupa untuk mensyukuri dan berbahagia atas berbagai karunia yang sekarang sudah dimiliki dan diperoleh sepanjang jalan. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, Perkataan dalam bahasa Pali yang berarti "semoga semua makhluk hidup berbahagia". Amin. Sumber foto: Internet Bahagia adalah ketika pulang ke rumah setelah tidak pulang dua minggu dan melihat semua pesanan buku filsafat, sejarah, arkeologi, linguistik dan antropologi dari berbagai penerbit sudah sampai rumah.
Setelah menyisir setiap jengkal di bazaar buku import "Big Bad Wolf Books" (BBWB) di ICE BSD selama 3,5 jam, akhirnya sampai juga saya di rumah.
Buat teman-teman pecinta buku, pastikan jangan sampai kehilangan event langka ini! Di BBWB ada ratusan ribu (atau mungkin jutaan?) judul buku import BARU (bukan bekas) dari kategori fiksi, non-fiksi, komik, dan anak-anak yang dijual dengan diskon s/d 80%! Untuk memberi ilustrasi, 17 buah majalah dan buku tebal yang penuh foto dan warna ini saya beli 'hanya' dengan harga Rp. 1,265 juta! Walau angka ini pada awalnya mungkin terlihat besar, tapi kalau sudah dibagi 17, itu artinya tiap barang berharga rata-rata hanya Rp.75 ribu! Jangan tertipu dengan judul-judul buku yang sampai sekarang masih terus diunggah ke website event ini: www.bigbadwolfbooks.com. Jumlah judul yang akan Anda temui di event ternyata beratus-ratus kali lebih banyak! Ada buku roman, biografi, memasak, hasta karya, berkebun, golf, otomotif, militer, seni, arsitektur dan banyak topik lainnya. Hanya segelintir topik yang bukunya tidak saya temui di pameran ini: Filsafat, Agama, Astrofisika (bukan astronomi) dan Fisika Kuantum. Sebuah ide atau pemikiran dalam bidang filsafat seringkali dapat meramalkan kedatangan sebuah penemuan dalam bidang sains di masa depan. Sebagai contoh, di Yunani abad ke-4 SM terdapat 2 pendapat tentang keberadaan elemen dasar yang membentuk alam semesta.
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|