Kekuatan dan Kelemahan Masing-masing Filsafat, Sains dan Agama Sebagai Alat Pencarian Kebenaran27/8/2016 Setelah selesai membaca beberapa buku yang ingin saya selesaikan untuk bulan Agustus ini, akhirnya saya punya waktu untuk mulai membaca sebuah buku yang sebenarnya sudah agak lama saya beli namun selama ini terbengkalai. Buku ini tidak dijual di toko buku dan saya beli langsung dari penulisnya. Kalau dijual di toko buku, barangkali buku ini dapat menimbulkan polemik karena memaparkan penemuan-penemuan terkini dalam bidang sains yang, menurut penulisnya, menentang klaim-klaim agama selama ini -Kristen pada khususnya dan agama-agama lain pada umumnya- dan berargumen bahwa agama lebih inferior daripada sains. Penulisnya adalah seorang doktor teologi Indonesia yang pernah menjadi seorang gembala jemaat, namun kini pindah haluan ke Agnotisisme/Ateisme setelah mengkaji teks kitab suci agama asalnya dan sains terkini. Saya mengenal tokoh penulis ini melalui Internet ketika saya sendiri berusaha mencari tahu tentang tanggal asli kelahiran sosok Yesus dari Nazaret. Komentar saya terhadap buku ini akan saya paparkan di tulisan lain secara terpisah setelah saya selesai membaca buku setebal nyaris 500 halaman ini. Meski demikian, di tulisan ini saya ingin memberikan pandangan pribadi saya terhadap klaim sebagian orang bahwa sains lebih unggul dari agama. Sebagai seseorang yang juga mempelajari sains dan filsafat di samping agama sebagai upaya untuk menemukan jawaban obyektif atas pertanyaan-pertanyaan yang saya miliki seputar alam semesta dan kehidupan, saya sendiri berpandangan, setidaknya untuk saat ini, bahwa filsafat, sains, dan agama memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing ketika dijadikan alat untuk mencari kebenaran atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia yang bersifat fundamental. A. Filsafat Filsafat, yang terlebih dahulu lahir sebelum sains dan menjadi bibit kelahiran sains, menitikberatkan pada penggunaan logika dan pengambilan pelajaran dari peristiwa sehari-hari untuk menjawab berbagai pertanyaan. Bagi saya, filsafat sangat bagus digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan moral atau etika, seperti misalnya "Apakah percobaan kloning manusia dapat dibenarkan?", namun telah terbukti gagal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan alam semesta. Sebagai contoh sederhana, untuk waktu yang sangat lama, para ahli filsafat meyakini bahwa laju berlalunya waktu adalah tetap dan sama dimana saja, sebagaimana diyakini oleh hukum Newton klasik. Namun ketika Einstein datang dengan hukum Relativitasnya, eksperimen-eksperimen Fisika berhasil membuktikan bahwa ternyata waktu berjalan lebih lambat bagi obyek yang melaju mendekati kecepatan cahaya ataupun berada dekat obyek lain yang bermassa besar, sebagaimana dikemukakan Einstein. Dengan demikian, laju waktu tidak sama pada semua tempat dan kondisi. Sains modern telah berhasil membuktikan bahwa pada skala makro (ranah hukum Relativitas) dan mikro (ranah Fisika Kuantum), alam semesta ternyata tidak bekerja dengan cara yang lazimnya kita temui dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia. Padahal filsafat sering menjadikan pengamatan terhadap kehidupan sehari-hari sebagai salah satu pertimbangan dalam menjawab berbagai pertanyaan fundamental. Selain itu, kita juga tidak dapat mencari jawaban untuk seluruh pertanyaan fundamental yang mungkin kita miliki dengan menggunakan filsafat, karena dapat memakan waktu yang sangat lama, bila tidak menghabiskan lebih dari usia hidup yang mungkin kita miliki. Dalam hal ini, mengikuti jawaban-jawaban yang diberikan agama adalah lebih praktis, bila, tentu saja, kita meyakini agama tersebut. B. Sains Sains yang seringkali dikatakan sebagian orang lebih unggul daripada agama bagi saya pun memiliki kelebihan dan kekurangan jika dijadikan alat untuk mencari kebenaran. Kelebihan sains, yang pada awalnya berasal dari bahasa Latin "scientia" dan sebenarnya berarti "pengetahuan", terletak pada proses obyektif yang (seharusnya) ditempuhnya untuk mencapai suatu kesimpulan ataupun merumuskan suatu teori. Berbagai kesimpulan dalam sains dicapai melalui proses pengamatan atau eksperimen yang harus dapat diulangi juga oleh orang lain. Dengan demikian, suatu klaim dalam sains dapat diverifikasi oleh banyak pihak. Kekurangan sains? Ada juga. Pertama, tidak ada jaminan bahwa apa yang dikatakan sains benar pada hari ini akan terus benar untuk selamanya. Bila ada penemuan suatu data baru/anomali yang dapat menyanggah suatu teori, teori itu perlu ditinjau ulang dan bisa diruntuhkan. Kedua, sains kita sebenarnya masih berusia sangat muda. Sains modern dengan proses ilmiahnya, berupa pengamatan dan eksperimen, baru dapat dikatakan lahir setelah Abad Pertengahan. Sains ini baru mengumpulkan sedikit sekali data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental manusia terkait asal-usul alam semesta, kehidupan, keberadaan dimensi lain, Tuhan, dan lain-lain. Jangan percaya bila ada pihak yang berupaya menggunakan sains untuk mengukuhkan pandangannya terkait asal-usul alam semesta, kehidupan, manusia, ataupun hal-hal yang bukan jadi obyek telaah sains praktis (Applied Science), karena bila Anda mengikuti jurnal-jurnal ataupun buku-buku sains populer, sesungguhnya terdapat aneka ragam pendapat ilmuwan terkait topik-topik ini. Beberapa ilmuwan meyakini bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, termasuk yang bersifat metafisika, akan mampu dijawab sains meskipun memakan waktu yang lama. Namun beberapa lainnya berpendapat bahwa beberapa pertanyaan seperti keberadaan "Apakah Tuhan ada?" atau "Apa yang ada sebelum alam semesta ada?" tidak akan pernah bisa dijawab sains karena berada di luar ranah sains. Ketika seseorang atau suatu masyarakat, seperti mayoritas masyarakat Barat, hanya meyakini sains sebagai alat pencarian kebenaran, biasanya konsekuensinya hanya dua: ia menjadi Ateis (bila ia meyakini bahwa sains sudah punya jawaban atas segala fenomena dan karenanya keberadaan Tuhan tak lagi diperlukan) atau menjadi Agnostik (bila ia meyakini bahwa sains belum menemukan jawaban untuk banyak pertanyaan). C. Agama Daya tarik agama terletak pada kepraktisannya dalam menjawab berbagai pertanyaan fundamental yang sering dimiliki manusia. Anda tinggal mengikuti jawaban-jawaban yang diberikan suatu agama untuk pertanyaan-pertanyaan Anda, bila Anda meyakini agama tersebut. Tapi bagi mereka yang mencari keobyektifan, di situ pulalah terletak masalahnya. Anda harus membuktikan bagi diri Anda sendiri bahwa suatu agama adalah benar dan layak diyakini, sebelum Anda dapat meyakini semua doktrin ataupun jawaban yang ia berikan terkait pertanyaan-pertanyaan yang mungkin Anda miliki, seperti "Apakah ada surga dan neraka?". Selain itu, bagi Anda yang selalu menginginkan obyektifitas, Anda tidak akan selalu menemui jawaban atau penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan Anda terkait doktrin suatu agama. Disinilah seringkali dikatakan bahwa Anda harus melakukan "lompatan iman" ("leap of faith") dengan mempercayai bahwa apa yang diajarkan agama tersebut pasti benar dan baik. Bagi saya, lompatan iman bisa dilakukan, namun hanya bila kita sudah berhasil membuktikan kepada diri kita sendiri bahwa agama tersebut memang benar dan layak dipercayai. Wallahu a'lam bish shawab
0 Comments
Dalam ilmu Logika, proposisi adalah suatu kalimat yang mengandung pernyataan tentang keadaan, identitas, ataupun perbuatan seseorang atau suatu hal dan bisa jadi benar ataupun salah. Sesungguhnya, keseluruhan ilmu Logika sendiri dapat dikatakan sebagai ilmu yang mengkaji tentang proposisi. Ia mengkaji implikasi-implikasi berupa proposisi-proposisi lain yang dapat muncul dari suatu proposisi. Ia juga mengkaji kebenaran kesimpulan yang terkandung di dalam sebuah proposisi dengan melihat proposisi-proposisi pendukungnya (premis-premis) dan metode pengambilan kesimpulan yang digunakan. Ilmu Logika tidak mengkaji apakah suatu proposisi sesuai dengan kenyataan atau tidak ataupun secara moral benar atau salah, karena ini merupakan ranah sains dan filsafat etika. Di dalam ilmu Logika, proposisi dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok besar: Kategoris, Hipotesis, dan Modalitas. Dari ketiga kelompok tersebut, saya tertarik untuk membahas proposisi-proposisi yang masuk dalam kelompok Kategoris, karena proposisi-proposisi di kelompok ini akan banyak disinggung dalam proses pengambilan kesimpulan berdasarkan ilmu Logika. Ada 4 proposisi di dalam kelompok Kategoris: 1) Proposisi Universal Afirmatif, disebut proposisi tipe A dalam ilmu Logika, yaitu proposisi yang menerangkan keadaan yang berlaku kepada semua anggota di dalam suatu kelompok benda tanpa kecuali. Contoh: Seluruh bangsa Indonesia terdiri dari manusia. 2) Proposisi Universal Negatif, disebut proposisi tipe E dalam ilmu Logika, yaitu proposisi yang menerangkan keadaan yang tidak berlaku kepada semua anggota di dalam kelompok suatu benda tanpa kecuali. Contoh: Semua manusia tidak abadi. 3) Proposisi Partikular Afirmatif, disebut proposisi tipe I dalam ilmu Logika, yaitu proposisi yang menjelaskan keadaan yang hanya berlaku bagi sebagian anggota di dalam kelompok suatu benda. Contoh: Beberapa orang ada yang jahat. 4) Proposisi Partikular Negatif, disebut proposisi tipe O dalam ilmu Logika, yaitu proposisi yang menjelaskan keadaan yang tidak berlaku untuk sebagian anggota di dalam kelompok suatu benda. Contoh: Sebagian manusia tidak percaya Tuhan. Contoh-contoh untuk tipe-tipe proposisi di atas bisa banyak sekali dan dapat dinyatakan dengan susunan kalimat yang beraneka ragam. Namun demikian, memahami secara baik masuk ke dalam jenis proposisi yang manakah sebuah kalimat merupakan modal dasar sebelum seseorang dapat mempelajari hukum-hukum Logika terkait pengambilan kesimpulan langsung ataupun tidak langsung. Hukum-hukum pengambilan kesimpulan ini bila ada waktunya, insya Allah, akan saya bahas di tulisan-tulisan yang berikutnya. Kalau sebelumnya saya banyak membuat tulisan tentang linguistik, arkeologi, antropologi, sains ataupun agama, mulai saat ini saya juga akan membuat beberapa tulisan tentang Filsafat dan Logika. Ilmu Logika adalah landasan ilmu Filsafat. Ilmu Logika mempelajari cara membuat kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang dijadikan dasar dengan berpegangan pada kaidah sebab-akibat. Ketika sebuah kesimpulan dibuat dengan menggunakan kaidah yang salah ataupun tidak dengan berlandaskan pada suatu premis, maka menurut ilmu Logika telah terjadi "sesat logika" ("logical fallacy"). Di tengah masyarakat, sesat logika sering terjadi. Beberapa yang ingin saya perkenalkan saat ini adalah sebagai berikut: 1) Argumentum Ad Verecundiam Yaitu sesuatu dianggap benar/salah, bukan dengan mengkaji bukti-bukti pendukungnya, tapi semata-mata hanya karena seseorang yang ahli di bidang tersebut mengatakan demikian. Pada kenyataannya, ketika diselidiki lebih jauh, terkait suatu hal para ahli seringkali memiliki pendapat yang berbeda-beda. 2) Argumentum Ad Populem Yaitu sesuatu dianggap benar/salah hanya karena mayoritas menganggap demikian. Ketika dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, seringkali opini kita terkait berbagai hal terpengaruh oleh "Argumentum ad Populem" ini. Padahal kalau kita ingin merenungkan tentang salah benar setiap hal, kita harus bisa memisahkan diri kita dari opini publik dan membentuk pikiran obyektif kita sendiri. 3) Argumentum Ad Misercordiam Yaitu sesuatu dianggap benar/salah hanya karena rasa iba. Sebagai contoh, kita bisa jadi menentang perilaku korupsi, namun kita malah membiarkan tukang parkir menagih uang parkir ke kita tanpa memberikan karcis parkir sebagai bukti pembayaran. Pada dasarnya perilaku tukang parkir ini adalah korupsi juga, namun tidak dipermasalahkan karena yang melakukannya dianggap sebagai "orang kecil". 4) Argumentum Ad Hominem Yaitu sesuatu dianggap benar/salah karena sentimen pribadi kita terhadap pihak yang menyatakannya, bukan karena kandungan pesan yang disampaikannya. 5) Argumentum Ad Bacculum Yaitu sesuatu dianggap benar/salah karena pihak yang berkuasa menetapkan demikian atau ada unsur paksaan di dalamnya. Sebagai contoh, komunisme adalah paham yang pasti buruk karena pemerintah NKRI menyatakan demikian. 6) Argumentum Ad Ignorantiam Yaitu sesuatu dengan mudah dianggap benar/salah, padahal sebetulnya tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan salah benar hal tersebut. Dalam hal ini, penarikan kesimpulan menjadi sesuatu yang dipaksakan. Sebagai contoh, banyak orang awam meyakini keberadaan multiverse (alam semesta jamak), padahal keberadaan multiverse selama ini baru dibuktikan secara teori dan belum melalui observasi. Sumber ilustrasi: http://richardarsic.com/wp-conte…/…/2016/04/confused-man.jpg Kalau merujuk bukti-bukti yang ada, memang kemungkinan besar keraton kerajaan Pajajaran dulu bertempat di sekitar situs Batu Tulis, Bogor, saat ini, seperti diamini oleh banyak arkeolog, bukan di lokasi pura Jagatkarta seperti yang diserukan sebagian orang awam. Pertama, lokasi situs Batu Tulis cocok dengan penjelasan tentang lokasi Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati, keraton Pajajaran yang disebutkan pujangga Sedamanah di kropak kuno Carita Parahyangan. Kedua, situs Batu Tulis memiliki tinggalan-tinggalan arkeologis melimpah, mulai dari prasasti-prasasti yang beberapa di antaranya menerangkan pencapaian-pencapaian raja Pajajaran seperti Sri Baduga Maharaja, tinggalan batu-batu khas Sunda Kuno, sampai dengan sisa struktur memanjang di Kota Maneuh, dekat Batu Tulis, yang diduga kuat sebagai sisa dinding komplek keraton Pajajaran. Unsur-unsur pendukung seperti di atas tidak dapat ditemukan sama sekali untuk Pura Jagatkarta yang nota bene baru dan belakangan ini juga dikatakan sebagai bekas lokasi keraton Pajajaran ataupun tempat moksanya Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja). Sumber foto: Internet Setiap dari mereka yang pernah berkunjung ke berbagai candi, setidaknya Borobudur dan Prambanan, pastilah tahu bahwa sekeliling tubuh candi di Jawa yang terbuat dari bahan andesit dihiasi oleh relief-relief yang sambung menyambung dan memiliki detail sangat tinggi. Relief-relief candi umumnya menceritakan kisah-kisah yang dikenal dalam agama Hindu dan Buddha. Ketika melihat deretan relief ini, dulu saya selalu bertanya, bagaimana cara membuat relief seperti ini? Apakah relief-relief tersebut dipahat dulu oleh sang pemahat lalu dipasang? Kalau merujuk pada praktek konstruksi modern, demikianlah cara yang biasa dilakukan ketika kita hendak menambahkan ornamen pada muka bangunan. Setelah melihat lebih banyak relief lagi melalui perjalanan-perjalanan saya berikutnya dan membaca literatur luar negeri, ternyata yang terjadi di zaman dahulu justru sebaliknya! Batu-batu panel relief tersebut dipasang dahulu di tempatnya lalu dipahat di tempat! Apa artinya ini? Artinya, tidak boleh ada kesalahan sedikitpun waktu memahat relief. Pekerjaan sang pemahat harus sempurna! Proses kerja para pemahat jaman dulu tersebut bisa kita ketahui ketika melihat relief-relief setengah jadi pada beberapa candi, seperti misalnya pada lapisan paling bawah Borobudur (disebut deretan relief Karmawibhangga) yang kemudian oleh sang arsiteknya ditutup oleh lapisan batu lain dan tidak jadi ditampilkan. Keberadaan relief ini diketahui ketika dulu Borobudur harus dibongkar dulu untuk direstorasi. Panel-panel relief Karmawibhangga yang setengah jadi menunjukkan bahwa batu-batu panel relief dipasang dulu di tempatnya, baru dipahat. Karena sesuatu hal, proses pemahatan relief-relief Karmawibhangga dihentikan di tengah jalan dan seluruh reliefnya ditutup lapisan batu lain. Di panel-panel relief Karmawihangga yang belum jadi, kita juga bisa melihat tulisan-tulisan tangan para pemahat dengan menggunakan kapur pada permukaan panel yang menjelaskan kisah apa yang harus dipahat di relief tersebut. Di beberapa tempat lainnya, kita juga bisa melihat guratan-guratan sketsa para pemahat pada permukaan relief dengan menggunakan kapur sebelum relief tersebut dipahat. Cara kerja seperti ini ternyata tidak hanya dilakukan di Nusantara, tapi juga di candi-candi lainnya yang tersebar di Asia Tenggara daratan. Sumber-sumber asing yang saya baca menunjukkan bukti-bukti bahwa relief-relief pada candi di Asia Tenggara daratan dibuat dengan cara yang sama. Gambar: relief Karmawibhangga dimana pohon yang menaungi para tokoh dan pohon pemisah adegan cerita belum dipahat. Mayoritas candi di Nusantara ditemukan dalam keadaan luluh lantak, nyaris rata dengan tanah. Bagaimana mereka bisa dibangun kembali, padahal tidak ada gambar arsitektur candi-candi tersebut yang pernah ditemukan? Jawabnya adalah dengan mencoba saling mencocokkan ribuan batu penyusun candi tersebut satu persatu, bila candi tersebut terbuat dari bahan batu andesit. Tiap batu candi memiliki tonjolan ataupun lekukan pada beberapa sisi samping dan belakangnya yang membentuk kuncian yang khas dengan batu-batu lain di sekelilingnya. Tidak ada dua batu penyusun yang memiliki bentuk kuncian yang sama! Jadi bisa dikatakan, candi adalah puzzle tiga dimensi berukuran raksasa yang dibangun nenek moyang kita. Candi-candi utama di Prambanan, sebagai contoh, memerlukan waktu hingga dua puluh tahun untuk direkonstruksi, karena setiap batu penyusunnya harus dicoba dicocokkan dengan batu-batu lain yang ditemukan berserakan di dekatnya. Lain halnya bila candi tersebut terbuat dari bahan batu bata. Karena batu bata penyusun candi tidak memiliki kuncian, mereka direkatkan dengan saling menggosok-gosokan sisi-sisinya terhadap satu sama lain, sehingga tercipta lapisan bubuk pada sisi-sisi tersebut yang lantas diperciki air. Jadi, merekonstruksi candi berbahan bata adalah jauh lebih sulit. Bahwasanya batu penyusun candi direkatkan dengan menggunakan putih telur adalah mitos, karena residu putih telur tidak pernah ditemukan selama ini. Hal menarik lainnya adalah proses rekonstruksi candi juga memakan biaya yang tinggi. Candi kecil seperti Cangkuang di Garut, menurut sebuah artikel, yang saya baca memakan biaya Rp.2 miliar untuk rekonstruksinya, seingat saya. Biaya sebesar itu habis untuk: 1. Membebaskan tanah masyarakat tempat candi tersebut ditemukan, 2. Menyewa para tukang dan tenaga ahli selama proses rekonstruksi tersebut, yang bukan hanya terdiri dari ahli arkeologi, namun juga arsitektur dan sipil. 3. Proses pembongkaran, pendataan dan perawatan setiap batu candi. 4. Proses pembongkaran tanah dan pembuatan pondasi modern di bawah candi yang ditemukan tersebut. 5. Proses pembuatan rangka struktur modern di balik bangunan candi tersebut, dan tentu saja 6. Proses pencocokkan setiap batu candi sehingga terbentuk tubuh bangunan yang utuh. Dengan memahami tenaga, waktu, dan biaya besar yang terlibat dalam proses rekonstruksi bangunan bersejarah, seperti candi, semoga kita bisa lebih peduli dan menjaga bangunan tersebut untuk generasi berikutnya. Sumber foto: pribadi |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|