Bakong adalah salah salah satu generasi candi pertama Kamboja yang terletak di Hariharalaya (sekarang Rulous), ibukota pertama kerajaan Kamboja.
Candi ini dibangun pada 881 M oleh Indrawarman I, raja Kamboja. Penelitian para arkeolog, termasuk arkeolog senior Jaçques Dumarçay, mengungkapkan bahwa arsitektur candi ini terpengaruh Borobudur di Jawa. Selain merupakan candi pertama Kamboja yang memiliki bentuk berundak-undak, detail-detail bangunan Bakong nyaris sama dengan detail-detail di Borobudur. Dumarçay memperkirakan bahwa ada kemungkinan tukang-tukang dari Jawa didatangkan dalam konstruksi candi ini. Kenapa sebuah candi yang terletak jauh dari Jawa terpengaruh arsitektur candi Jawa? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat prasasti Sdok Kok Thom. Prasasti Sdok Kok Thom yang ditemukan di Kamboja bahwa Jayawarman II, pendiri dinasti Angkor Kamboja, dulunya besar dan dididik di Jawa, sebelum ia kembali ke Kamboja dan membebaskan Kamboja dari penjajahan Jawa. Kerajaan Jawa yang berkuasa saat itu adalah Mataram Kuno yang kekuasannya membentang dari pesisir Kamboja di Barat hingga selatan Filipina di timur (lihat prasasti Manila Bay di Filipina). Meskipun kemudian Kamboja mengembangkan arsitektur candinya sendiri, para arkeolog mengakui bahwa pengaruh arsitektur Jawa tetap terasa dan membuat candi-candi Khmer (kamboja) memiliki bentuk berbeda dibandingkan candi-candi di daerah sekitarnya seperti Thailand ataupun Myanmar. Inilah barangkali kenapa ketika saya melihat candi-candi Kamboja, saya merasa sedang melihat sepupu candi-candi Jawa seperti Prambanan dll. M. Arief Wibowo Sumber foto: Internet
1 Comment
Max Tegmark, seorang fisikawan kuantum, pernah berkata bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk keindahan, sesungguhnya dibangun di atas matematika. Kalau teman-teman ingat, beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang konstanta-konstanta (angka-angka tetapan) di semua hukum alam yang tampaknya telah dipilih secara seksama supaya pada akhirnya lingkungan yang mendukung kehidupan bisa muncul di Bumi ("anthropocentric principle"). Kali ini saya juga ingin membahas tentang angka yang ada di alam, yaitu Phi dan Golden Ratio. Phi adalah angka di dalam matematika yang dihasilkan dari perhitungan (1+✓5)/2, yaitu 1,618033..dst. Sementara Golden Ratio adalah angka satu (1) berbanding Phi (1,618033..dst). Hal yang menarik tentang Phi dan Golden Ratio ini adalah ukuran anggota-anggota tubuh seluruh makhluk hidup di Bumi tampaknya memiliki proporsi yang mengikuti Golden Ratio ini, sebagaimana ditunjukkan oleh video di bawah. Setahu saya, Phi dan Golden Ratio ini menjadi populer dan diketahui luas sejak seniman-seniman dan ilmuwan-ilmuwan Eropa di era Renaissans banyak meneliti dan menulis tentangnya. Pada saat itu Eropa tengah menggandrungi kegiatan mempelajari dan mencari pola di alam yang di kemudian hari akan membawa mereka kepada Era Pencerahan. Penemuan tentang Phi dan Golden Ratio ini banyak manfaatnya, apalagi untuk dunia seni dan arsitektur seperti yang saya tekuni. Di dunia arsitektur, pada umumnya bangunan yang dianggap memiliki proporsi yang enak dipandang mata adalah yang mengikuti Golden Ratio. Atau, bila Anda ingin mendesain bangunan yang enak dipandang mata, cobalah mengaplikasikan Golden Ratio pada semua komponen bangunan yang Anda desain. Bagaimana Phi dan Golden Ratio bisa ada di tubuh semua makhluk hidup? Bila Anda percaya tentang keberadaan Tuhan, bisa jadi Phi dan Golden tersebut adalah "tanda tangan" yang sengaja dibubuhkan pada tubuh semua makhluk hidup sebagai bukti bahwa semuanya adalah karya Seniman Besar yang tunggal. Pasar Gambir adalah asal muasal Pekan Raya Jakarta saat ini. Pasar ini merupakan bazar yang pertama kali diadakan pemerintah kolonial Belanda pada 1906 dan diadakan rutin per tahun sejak 1921 hingga 1942. Pada saat itu pasar ini hanya dapat dikunjungi oleh orang Belanda maupun pribumi dan Tionghoa kalangan atas. Bagi saya sebagai arsitek, yang unik dalam penyelenggaraan Pasar Gambir ini adalah para arsitek Belanda selalu mendesain kios-kios yang bentuknya terinspirasi dari arsitektur Nusantara. Kios-kios tersebut berukuran besar, menggunakan bahan organik layaknya arsitektur Nusantara, dan selalu dibongkar dan berganti desain pada setiap penyelenggaraan Pasar Gambir. Penyelenggaraan pasar ini terhenti pada jaman kolonial Jepang dan meninggalkan ciri khas berupa kios-kios yang bentuknya terinspirasi arsitektur Nusantara sejak diselenggarakan lagi setelah kemerdekaan Indonesia. Was persönlich für mich als einen Architekt seit einigen Jahren eine wichtige Frage geworden ist, ist wie moderne indonesische Architektur aussehen müsste? In dieser Zeit, wo Modernismus in Architektur ein Trend und dem überall, einschließlich Indonesien, gefolgt wird, habe ich Sorge, dass indonesische Architektur der anderer Länder ähneln und ihre Einzigartigkeit verlieren würde. Wie kann indonesische Architektur modern und, gleichzeitig, einzigartig bleiben? Um die Antwort auf jene Frage zu entdecken, habe ich versucht, die Grundlage von Architektur anzuschauen. Meiner Meinung nach ist grundsätzlich Architektur eine Reaktion auf 3 Sachen: lokalen Umweltzustand, einheimische Gemeinschaftswerte und -glaube, und Materiellverfügbarkeit. In aller Zeit und überall wird immer Architektur, meiner Ansicht nach, durch diese 3 Umstände gestaltet. Indonesische Architektur könnte modern und, gleichzeitig, originell bleiben, wenn wir die erwähnten 3 Umstände typisch zu indonesischem Zustand verstehen können. Diesbezüglich kann ich sagen, dass es nicht indonesisch ist, wenn wir zu viel Verglasung an unseren Bauen gebrauchen, weil es sub-tropischem Zustand, der immer sonnenlichthungrig ist, passt. Es ist auch nicht indonesisch, wenn wir unsere Architektur dicht machen, da Indonesien immer warm ist und unsere Bauen genuge natürliche Verluftung brauchen. Die Abwesenheit genuger natürlicher Verluftung in tropichen Ländern heisst dauerndes Gebrauch von Klimaanlage und mehr Kosten. Ich muss auch sagen, dass ich stimme nicht zu, wenn einige indonesischen Architekte versuchen, "indonesische" Architektur wiedereinzuführen, indem sie einfach einige Architekturforme aus indonesischer Vergangenheit, wie z.B. das Toraja-dach, benutzen. Warum? Wenn wir Beobachtung ausführen, können wir finden, dass sich indonesische Architektur von Zeit zu Zeit transformiert, d.h. von der Steinzeit zur Klassikzeit. Wenn wir einfach die Architektursprache aus der Vergangenheit gebrauchen und erhalten, heisst das, dass wir indonesische Architektur zum Halten bringen! Wir, als Architekte, müssen indonesische Architektur für unsere Zeit wiederinterpretieren! Ich bin auch noch nicht fertig mit meinem Lernen von den im Anfang 3 erwähnten Umständen typisch zu indonesischem Zustand. Aber hiermit will ich alle indonesische Architekte einladen, um indonesische Architektur für unsere Zeit festzulegen und etwas zu indonesischer Architektur Beitrag geben. Bilderquelle: Internet Permasalahan membeli rusunami di Jakarta itu ada dua.
Satu, banyak rusunami yang punya denah yang tidak enak, karena toilet diletakkan di lajur yang sama dengan dapur dan ruang keluarga. Perletakan seperti ini akan mengakibatkan ruang keluarga berukuran sangat sempit, karena panjang semua unit rusunami hanya 6 m. Untuk contoh, silakan lihat denah-denah terlampir. Saya tidak perlu sebut nama rusunaminya. Kalau mau cari rusunami yang ruang keluarganya panjang, cari yang toiletnya diletakkan di lajur yang sama dengan ruang tidur utama dan anak. Kedua ruang tidur itu akan lebih sempit daripada opsi denah yang satu lagi, tapi biasanya Anda masih bisa memasukkan lemari baju dan toh Anda hanya akan masuk ruang tidur ketika mau tidur kan? Dalam pandangan saya tidak masalah. Dua, banyak rusunami yang instalasi bangunannya bermasalah dan pengembangnya melakukan wanprestasi. Untuk cek apakah rusunami yang Anda incar bermasalah, Anda bisa ketik di Google "masalah apartemen (nama rusunami incaran Anda)". Selanjutnya saat kunjungan lapangan, Anda bisa bertemu dengan ketua RT/RW dari PPRS (Perhimpunan Penghuni Rumah Susun) untuk bertanya lebih detail. Dari riset pribadi saya sejauh ini, dari semua rusunami yang ada di Jakarta saat ini, rusunami yang terbebas dari masalah (1) dan (2) serta berada dekat dengan stasiun KA (kriteria pribadi saya ketika mencari properti) hanyalah sekitar 25%. Memang sungguh pelik masalah penyediaan hunian layak di Jakarta. Di antara budaya asing, yang paling saya sukai adalah Jepang. Entah kenapa. Oleh karena itu, setiap kali ada terbitan buku baru tentang Jepang, biasanya saya beli, terutama kalau berkaitan topik-topik yang saya minati.
Di toko buku Periplus, Gramedia, dan Paperclip, dalam beberapa bulan ini beredar buku tentang Jepang yang rasanya harus dimiliki para penggemar budaya Jepang. 1. "Unbelievable Japan" oleh Weedy Koshino, bercerita tentang kehidupan Jepang dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga 2 anak yang bersuamikan orang Jepang. Hal baru yang saya pelajari di buku ini dan tidak banyak saya dapati di buku-buku yang saya baca sebelumnya adalah soal bullying dan kehidupan anti sosial sebagian remaja Jepang. Harga: +/- Rp.60.000 2. "Wow Japan" oleh Prastuti. Bercerita tentang kehidupan masyarakat Jepang pula, namun dari kacamata seorang peneliti dan pengajar bahasa Indonesia di Jepang. Buku ini banyak membahas soal spiritualisme orang Jepang, sebuah topik yang biasanya jarang disentuh di banyak buku karena orang Jepang dianggap sekuler. Harga: Rp.60.000 3. "New Japan Achitecture" oleh Geeta Mehta. Buku ini membahas arsitektur terkini di berbagai tempat di Jepang yang dibagi dalam beberapa kategori, diantaranya Hunian, Pendidikan, Perkantoran dan Komersial. Di buku ini, kita bisa mempelajari kelihaian para arsitek Jepang dalam menyiasati ruang-ruang sempit dan memasukkan unsur keheningan Zen yang menjadi salah satu ciri khas Jepang ke dalam berbagai bangunan. Harga: Rp.450.000 Setelah menyisir setiap jengkal di bazaar buku import "Big Bad Wolf Books" (BBWB) di ICE BSD selama 3,5 jam, akhirnya sampai juga saya di rumah.
Buat teman-teman pecinta buku, pastikan jangan sampai kehilangan event langka ini! Di BBWB ada ratusan ribu (atau mungkin jutaan?) judul buku import BARU (bukan bekas) dari kategori fiksi, non-fiksi, komik, dan anak-anak yang dijual dengan diskon s/d 80%! Untuk memberi ilustrasi, 17 buah majalah dan buku tebal yang penuh foto dan warna ini saya beli 'hanya' dengan harga Rp. 1,265 juta! Walau angka ini pada awalnya mungkin terlihat besar, tapi kalau sudah dibagi 17, itu artinya tiap barang berharga rata-rata hanya Rp.75 ribu! Jangan tertipu dengan judul-judul buku yang sampai sekarang masih terus diunggah ke website event ini: www.bigbadwolfbooks.com. Jumlah judul yang akan Anda temui di event ternyata beratus-ratus kali lebih banyak! Ada buku roman, biografi, memasak, hasta karya, berkebun, golf, otomotif, militer, seni, arsitektur dan banyak topik lainnya. Hanya segelintir topik yang bukunya tidak saya temui di pameran ini: Filsafat, Agama, Astrofisika (bukan astronomi) dan Fisika Kuantum. Wajah Islam yang sering saya rindukan saat ini adalah Islam yang ramah dan merangkul semua ciri lokal (selama tidak bertentangan dengan akidah), seperti saat Islam pertama disebarkan di negeri ini. Bagi saya, para penyebar Islam pertama adalah orang-orang yang sangat menghargai keanekaragaman negeri ini.
Di bawah adalah foto masjid masyarakat yang saya ambil di Kampung Naga, sebuah kampung di Garut yang dikenal karena masih melestarikan adat istiadat Sunda, namun pada saat yang bersamaan juga beragama Islam. Sejak gemar blusukan ke candi-candi dan kampung-kampung tradisional beberapa tahun yg lalu, saya sering bertanya ke diri sendiri sebagai seorang arsitek: Sebenarnya arsitektur nusantara modern itu harus seperti apa?
Studi soal pasar rusunami di Jakarta hari ini memberi banyak pengetahuan baru.
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|