Hal menarik apa yang bisa kita lakukan ketika kita mengunjungi berbagai daerah pelosok di Nusantara? Selain mengamati dan menikmati keindahan alam, budaya, dan kuliner setempat, sebenarnya ada satu hal lagi yang bisa dilakukan oleh mereka yang menyukai bahasa: mengamati penggunaan bahasa Melayu di daerah tersebut.
Perlu diingat bahwa bahasa Melayu bukanlah bahasa ibu di seluruh daerah di Indonesia. Sementara bahasa Melayu sendiri pertama kali muncul di pesisir barat Kalimantan (menurut penelitian terkini linguistik) dan tumbuh kembang di Riau dan Jambi ke daerah-daerah sekitarnya di kawasan barat Indonesia, daerah-daerah lain di Indonesia, apalagi yang berada di kawasan tengah dan timur, sesungguhnya memiliki bahasa-bahasa ibunya sendiri yang bentuknya sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Meski demikian, saat ini bila kita mengunjungi kota-kota pesisir di kawasan tengah dan timur Indonesia, seperti Manado, Ambon, ataupun Jayapura, kita akan mendapati bahwa sebagian besar penduduknya menggunakan bahasa yang sebagian besar kosakatanya memiliki kesamaan dengan bahasa Indonesia/Melayu. Sebagai contoh: - "Biar masa depan itu dapa lia gelap, maar kalo torang tetap ba usaha deng nda patah semangat, tetap sukses itu mo iko dari belakang". (Bahasa Manado yang artinya: Biar masa depan itu terlihat gelap, tapi kalau kita tetap berusaha dengan tidak patah semangat, tetap sukses itu akan ikut dari belakang). - "Sebelum tangan taputar, mulu bengko, bajalan sarut-sarut kaki akibat strok, rajin-rajin lah kasi bahu par pikol, kasi balakang par kuda, pake tangan voor gendong. Smoga deng biking bagitu katong selalu diberikan kesehatan deng kekuatan voor tetap biking bae". (Bahasa Ambon yang artinya: Sebelum tangan terkilir, mulut bengkok, berjalan terseret-seret akibat kaki kena stroke, rajin-rajinlah gunakan bahu untuk pikul, gunakan punggung untuk (?), gunakan tangan untuk gendong. Semoga dengan berbuat itu, kita selalu diberi kesehatan dengan kekuatan untuk tetap berbuat kebajikan). Kita bisa saja menduga bahwa bahasa-bahasa di atas adalah bahasa-bahasa asli setempat, dimana kemiripan kata-kata yang ada dengan kata-kata Melayu adalah karena kita semua berasal dari rumpun yang sama. Akan tetapi bahasa-bahasa tersebut sesungguhnya adalah bahasa Melayu yang telah mendapatkan pengaruh dari bahasa-bahasa setempat. Banyak tempat seperti Manado, Ambon, ataupun Jayapura sebenarnya memiliki bahasa-bahasa aslinya sendiri. Sebagai contoh, bahasa ibu orang-orang Sulawesi Utara, dimana Manado merupakan bagian darinya, sesungguhnya adalah Minahasa (dengan berbagai dialeknya). Meski demikian, di Manado yang merupakan kota pesisir dan menjadi metropolitan, yang akhirnya digunakan adalah bahasa Melayu yang mendapat pengaruh kuat bahasa setempat, yaitu Minahasa, dan Belanda (terkait sejarah misionaris Belanda di Manado). Bahasa ini lantas dapat kita katakan sebagai Melayu varian Manado. Ketika Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1600-an, Belanda mendapati bahwa bahasa Melayu tidak hanya digunakan di semenanjung Sumatera sebagai pusat peradaban Melayu, tapi juga di kota-kota pesisir yang jauh dan bahasa aslinya bukan bahasa Melayu, seperti di Gowa ataupun Ambon. Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang diadakan Belanda dengan kesultanan Gowa ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab, bukan dalam bahasa setempat. Belanda menyadari adanya perbedaan antara bahasa Melayu yang digunakan di pusat-pusat peradaban Melayu dengan di tempat-tempat yang jauh. Di pusat-pusat peradaban Melayu, bahasa Melayu mencapai kematangannya dengan digunakan dalam bidang pemerintahan, agama, dan sastra. Bahasa Melayu yang seperti ini disebut oleh Belanda sebagai bahasa Melayu Klasik/Melayu Tinggi. Sementara bahasa Melayu yang digunakan di kota-kota bandar yang jauh merupakan bahasa Melayu yang banyak bercampur dengan bahasa setempat dan digunakan sebagai media komunikasi antar pedagang. Bahasa Melayu ragam ini disebut Melayu Pasar. Melihat bahasa Melayu tersebar cukup jauh di Nusantara, Belanda memilih menggunakan bahasa Melayu dalam berkomunikasi dengan penguasa-penguasa dan penduduk setempat melalui penerjemah-penerjemah mereka, ketimbang menggunakan bahasa daerah masing-masing. Di samping itu, Belanda tetap menggunakan bahasa Belanda untuk komunikasi internal mereka. Ketika Belanda menerbitkan Alkitab pertama di Hindia Belanda pada 1612, mereka pun memilih menggunakan bahasa Melayu, bukan bahasa daerah lainnya. Penerjemahan Alkitab ini dilakukan oleh Albert Cornelius Ruyl. Para ahli bahasa selama ini sudah mencoba mencari tahu, kenapa diantara bahasa-bahasa yang ada di Nusantara bahasa Melayulah yang persebarannya paling luas. Mereka umumnya menisbatkan persebaran ini pada kerajaan-kerajaan Melayu yang kuat pengaruhnya di Nusantara. Kerajaan Melayu pertama yang memiliki pengaruh kuat adalah Sriwijaya. Sriwijaya berkuasa pada abad ke-7 hingga abad ke-12 dan selama persekutuannya dengan kerajaan Mataram Kuno di Jawa memiliki wilayah kekuasaan yang membentang dari Kamboja di barat (dibuktikan dengan prasasti Sdok Kok Thom di Kamboja) hingga selatan Filipina di timur (dibuktikan dengan prasasti Manila Bay di Manila). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pedagang-pedagang Sriwijaya telah mendatangi daerah-daerah pelosok di kawasan timur Nusantara untuk mencari komoditas-komoditas unggulan setempat, seperti rempah-rempah, untuk dijual di kota-kota bandar Sriwijaya di semenanjung Sumatera ke para pedagang asing. Aktivitas inilah yang diduga sebagai penyebab awal tersebar luasnya bahasa Melayu. Di kemudian hari, ketika kerajaan Sriwijaya telah runtuh dan digantikan kesultanan-kesultanan Islam berbahasa Melayu seperti kesultanan Melayu atau Malaka, aktivitas para pedagang mendatangi tempat-tempat jauh di Nusantara tersebut terus berlanjut. Kali ini kegiatan perdagangan mereka juga diiringi kegiatan penyebaran agama Islam. Ketika para pendiri bangsa Indonesia memutuskan untuk menggunakan bahasa Melayu versi Indonesia sebagai bahasa persatuan, sebetulnya mereka tinggal melanjutkan pola-pola yang sebelumnya telah terbentuk. Meskipun bahasa Jawa memiliki jumlah penutur paling besar, namun persebaran penggunaan bahasa Jawa tidak seluas bahasa Melayu. Sementara itu, orang-orang Jawa sendiri yang berprofesi sebagai pedagang pada umumnya mengetahui bahasa Melayu. Kini, bahasa Melayu ragam kita, bernama bahasa Indonesia, makin luas penggunaannya dengan digunakannya bahasa ini sebagai bahasa persatuan dan dalam media massa. Meski demikian, meluasnya penggunaan bahasa Indonesia ini bukannya tanpa masalah. Ramai para penutur asli bahasa daerah di luar Melayu yang mengkhawatirkan ditinggalkannya bahasa daerah mereka oleh generasi muda setempat. Bila hal ini kemudian terjadi, tentunya perlu disayangkan, karena keanekaragaman bahasa mencerminkan keanekaragaman cara manusia dalam berpikir dan melihat lingkungannya. Bila kita benar-benar tak ingin kepunahan bahasa-bahasa daerah di luar Melayu terjadi, maka langkah-langkah perlu diambil oleh pemerintah dan kita sebagai individu. Di lingkungan keluarga, kita dapat membiasakan lagi penggunaan bahasa daerah. Sementara itu, banyak hal yang bisa dilakukan di tingkatan pemerintah. Mulai dari diwajibkannya pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan daerah, penggalakan kegiatan-kegiatan budaya dan lomba bahasa daerah setempat, hingga pembiasaan penggunaan bahasa daerah dalam lingkungan-lingkungan dimana interaksi dengan pihak di luar daerah dapat diduga minimal. Dengan demikian, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tidak berarti kepunahan bahasa-bahasa daerah yang justru menunjukkan keanekaragaman Nusantara.
0 Comments
Jalan-jalan ke daerah juga adalah waktu yang bagus buat nyari buku-buku terbitan penerbit lokal yang gak bisa ditemuin di ibukota.
Dulu, tahun 2009, waktu umat Islam minoritas di Swiss mau membangun menara masjid (Menara ya. Masjidnya sendiri sudah ada), ramai orang Swiss menentang. Kata mereka, menara masjid, dan juga termasuk bangunan masjid sebenarnya, tidak sesuai dengan budaya setempat dan merusak lansekap kota yang ada. Padahal menaranya ada di dalam lingkungan masjid. Terkait isu ini bahkan sampai diadakan referendum nasional di Swiss (lihat https://en.m.wikipedia.org/w…/Swiss_minaret_referendum,_2009).
Eh sekarang giliran ada segelintir umat Islam yang menentang pembangunan patung dewa Kwan Sing Tee Koen di Tuban. Alasan penentangannya, uniknya, sama dengan orang-orang Swiss tadi, yaitu tidak cocok dengan lansekap budaya dan agama masyarakat setempat. Padahal patungnya ada di dalam lingkungan klenteng. Melihat perilaku kelompok-kelompok seperti itu, saya benar-benar merasa geli. Dan bukan sekali ini saya geli. Sebenarnya ada banyak lagi contoh perilaku standar ganda seperti ini yang telah dilakukan kelompok-kelompok dari berbagai agama, tapi saya malas menyebutkan di sini satu per satu. Melihat bahwa perilaku seperti ini telah dilakukan oleh kelompok-kelompok dari banyak agama dan berbagai tingkat kemajuan ekonomi (lndonesia, Swiss, dll), sebenarnya ada satu pelajaran yang bisa kita ambil. Apa? Yaitu sikap tidak toleran tidak ada kaitannya dengan agama, tingkat pendidikan, ataupun kemajuan ekonomi pengusungnya. Sikap toleransi itu perlu dilatih. Dan tentunya ditumbuhkan. Melalui pendidikan sejak dini, baik di lingkungan formal (sekolah, tempat kerja, dll) maupun, yang lebih penting, informal (keluarga). Tentunya kalau kita peduli terhadap pentingnya toleransi. Terlalu naif orang-orang Indonesia yang mencaci maki negaranya sendiri dengan mengatakan bahwa orang-orang Indonesia tidak toleran (seakan semua orang Indonesia sama) dan oleh karena itu tidak akan pernah maju seperti AS atau Jerman. Mereka lantas mengatakan, mereka sebenarnya ingin pindah saja dari negara ini. Hehe, buat saya, perilaku orang-orang yang mau enaknya saja ya seperti ini. Kalau Anda mau perubahan, ya Anda harus ikut berjuang bersama-sama. Di negara manapun, itulah kewajiban kita sebagai warga negara. Apakah Anda kira di negara-negara maju tidak ada sikap intoleransi? Sejarah intoleransi negara-negara maju bahkan banyak yang lebih berdarah-darah dari kita sebenarnya (baca sejarah pembantaian Indian Amerika atau pemancungan warga kulit hitam di AS; atau pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman). Juga salah orang-orang yang mencoba membenarkan sikap intoleran mereka kepada pihak lain dengan sikap intoleran yang telah dilakukan pihak lain ke mereka. Kalau kita memang orang yang senantiasa mencoba berpegang pada kebenaran, kita akan bertanya "Sebenarnya sikap apa yang benar?". Jangan korbankan prinsip kebenaran karena ada manusia-manusia lain yang tidak menjalankannya. Kebenaran dan keadilan harus dijalankan tanpa pandang bulu. Sekali lagi, tentunya kalau kita peduli. Pada kebenaran dan keadilan. Jadi, mengingat sikap intoleran bisa muncul di berbagai keadaan masyarakat, maka untuk menghadapinya diperlukan sikap toleran yang tidak bisa muncul secara otomatis, melainkan harus dibentuk dan ditumbuhkan. Perubahan bisa dimulai ketika Anda, saya dan semua orang memulainya di lingkungan terdekat kita. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|