Minggu lalu saya membuat kuis di wall FB saya: Apabila ada pohon besar jatuh di tengah hutan dan tidak ada siapa-siapa di situ, apakah jatuhnya pohon tersebut menimbulkan bunyi? 70% responden menjawab Ya, menimbulkan bunyi dan 30% menjawab Tidak menimbulkan bunyi. Lalu jawaban apa yang benar? ... ... Jawaban yang benar ialah Tidak menimbulkan bunyi. Lhooo, kok bisa? Nah begini. Bunyi ialah fenomena yang dialami manusia/makhluk hidup yang memiliki gendang telinga, bukan fenomena yang sebenarnya terbentuk secara serta merta/ langsung di alam bebas. Manusia mengalami bunyi ketika ada gelombang dari luar yang masuk ke dalam kanal telinganya dan berada dalam frekuensi yang tepat, yaitu antara 20 Hz dan 20 KHz, sehingga bisa menggetarkan gendang telinga manusia yang memang hanya akan bergetar di frekuensi tersebut. Di gendang telinga itulah gelombang tersebut diubah menjadi sinyal-sinyal listrik dan seterusnya dibawa ke otak kita melalui syaraf-syaraf (nerves). Di otak kitalah persepsi bunyi dibentuk. Hal ini tampak jelas ketika gendang telinga seseorang rusak/jebol. Gelombang bunyi akan masuk ke kanal telinganya tapi akan berlalu begitu saja ke 'eustachian tube' tanpa menggetarkan gendang telinga (karena jebol). Akibat gendang telinga tidak digetarkan, maka tidak ada sinyal listrik yang dibawa oleh syaraf ke otak dan otak pun tidak mendengar adanya bunyi. Begitu juga bila gelombang yang masuk tidak berada dalam frekuensi yang bisa menggetarkan gendang telinga manusia. Gendang telinga akan diam sehingga tidak ada sinyal listrik yang dibentuk dan otak pun tidak mendengar bunyi. Ketika sebuah pohon besar jatuh di hutan, pohon tersebut jelas akan menimbulkan getaran hebat di tanah dan kemungkinan akan mendorong kepadatan udara di sekitarnya dan menimbulkan hembusan angin. Getaran dan hembusan angin tersebut adalah 2 bentuk gelombang. Tapi tanpa adanya gendang telinga dan otak makhluk hidup, bunyi tidak akan hadir. Karena bunyi hanya hadir di otak makhluk hidup. Untuk memahami bagaimana perbedaan alam sekitar yang dipersepsi oleh manusia (melalui keterbatasan panca inderanya) dan alam sekitar yang sebenarnya, silakan baca: Biocentrism, oleh Robert Lanza, MD, seorang dokter terkemuka di AS di bidang genetika dan neurologi.
0 Comments
Saya hampir tidak tertarik membuat postingan-postingan tentang politik atau agama. Saya jauh lebih tertarik menyebarkan ilmu pengetahuan dari setiap hal baru yang saya pelajari ke orang-orang di sekitar saya. Bagi saya pribadi, Indonesia adalah negeri yang besar namun kekurangan sumber informasi ataupun bahan-bahan bacaan yang bagus terkait sains. Di mana publik yang ingin tahu tentang Kosmologi bisa memperoleh buku berbahasa Indonesia yang bagus tentang itu? Atau tentang migrasi manusia? Atau tentang proses pembentukan bahasa? Atau tentang Fisika Kuantum? Padahal Indonesia memiliki generasi muda dalam jumlah besar yang, saya yakini, akan semakin kritis tiap hari seiring perkembangan zaman. Karena kekurangan bahan bacaan yang bagus tersebut, saya sendiri akhirnya sejak 7 tahun yang lalu sudah sedikit membeli buku dari toko-toko buku lokal. Saya harus memenuhi kebutuhan membaca saya dengan mengimpor buku-buku dari luar. Di negara-negara maju, ada orang-orang yang menjalankan peranan sebagai "science communicator (SC)" untuk mengedukasi masyarakat tentang sains. SC bukanlah orang yang sehari-harinya berprofesi sebagai ilmuwan, melainkan orang yang biasanya berlatar belakang ilmu Teknik dan memiliki ketertarikan tinggi terhadap sains dan suka menyebarluaskan berbagai informasi baru dari dunia sains ke publik. Dalam hal ini, Bill Nye yang saya unggah fotonya disini adalah salah satu SC yang terkenal. Saya sendiri berharap bahwa di samping profesi saya sebagai Arsitek, saya juga dapat menjalankan peranan sebagai SC untuk orang-orang di sekitar saya. Karena waktu saya yang terbatas, informasi yang dapat saya sebarkan belum dapat berupa buku-buku tentang sains yang saya tulis sendiri, namun hanya berupa esai-esai singkat. Arsitektur bukan satu-satunya ilmu yang menarik menurut saya. SEMUA ilmu menarik dalam pandangan saya. Dan publik berhak mengetahui kenapa. Max Tegmark, seorang fisikawan kuantum, pernah berkata bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk keindahan, sesungguhnya dibangun di atas matematika. Kalau teman-teman ingat, beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang konstanta-konstanta (angka-angka tetapan) di semua hukum alam yang tampaknya telah dipilih secara seksama supaya pada akhirnya lingkungan yang mendukung kehidupan bisa muncul di Bumi ("anthropocentric principle"). Kali ini saya juga ingin membahas tentang angka yang ada di alam, yaitu Phi dan Golden Ratio. Phi adalah angka di dalam matematika yang dihasilkan dari perhitungan (1+✓5)/2, yaitu 1,618033..dst. Sementara Golden Ratio adalah angka satu (1) berbanding Phi (1,618033..dst). Hal yang menarik tentang Phi dan Golden Ratio ini adalah ukuran anggota-anggota tubuh seluruh makhluk hidup di Bumi tampaknya memiliki proporsi yang mengikuti Golden Ratio ini, sebagaimana ditunjukkan oleh video di bawah. Setahu saya, Phi dan Golden Ratio ini menjadi populer dan diketahui luas sejak seniman-seniman dan ilmuwan-ilmuwan Eropa di era Renaissans banyak meneliti dan menulis tentangnya. Pada saat itu Eropa tengah menggandrungi kegiatan mempelajari dan mencari pola di alam yang di kemudian hari akan membawa mereka kepada Era Pencerahan. Penemuan tentang Phi dan Golden Ratio ini banyak manfaatnya, apalagi untuk dunia seni dan arsitektur seperti yang saya tekuni. Di dunia arsitektur, pada umumnya bangunan yang dianggap memiliki proporsi yang enak dipandang mata adalah yang mengikuti Golden Ratio. Atau, bila Anda ingin mendesain bangunan yang enak dipandang mata, cobalah mengaplikasikan Golden Ratio pada semua komponen bangunan yang Anda desain. Bagaimana Phi dan Golden Ratio bisa ada di tubuh semua makhluk hidup? Bila Anda percaya tentang keberadaan Tuhan, bisa jadi Phi dan Golden tersebut adalah "tanda tangan" yang sengaja dibubuhkan pada tubuh semua makhluk hidup sebagai bukti bahwa semuanya adalah karya Seniman Besar yang tunggal. Sudah agak lama saya tidak menulis tentang sains. Kali ini saya ingin membahas tentang rahasia yang ada di balik angka-angka di dalam semua hukum alam yang membangun jejaring alam semesta. Semoga bermanfaat.
Bagi mereka yang sering membaca buku-buku tentang atau bersinggungan dengan ilmu Kosmologi, Fisika, ataupun Kimia, ada satu fakta yang tidak bisa dibantah, bahkan oleh ilmuwan atheis sekalipun, yaitu: Seluruh konstanta (angka-angka) yang ada di dalam semua hukum alam (contoh: hukum gravitasi Newton, Relativitas, dll) "bekerja sama" sehingga makhluk hidup bisa tercipta di muka Bumi. Ketika salah satu angka di dalam salah satu hukum tersebut dirubah sedikit saja, maka makhluk hidup, termasuk manusia, tidak akan mungkin hadir di muka Bumi. Saya akan beri sedikit contoh saja dari luar biasa banyaknya angka yang sebenarnya ada di alam semesta: 1. Alam semesta kita bersifat 3 dimensi. Bila jumlah dimensi ini dirubah, maka keseimbangan gaya tarik menarik yang sudah ada antara benda-benda langit akan berubah. Sebagai contoh, bintang seperti matahari kita akan ditarik oleh gravitasi ke dalam intinya sendiri dan berubah menjadi lubang hitam yang justru akan menyedot seluruh benda di sekelilingnya. 2. Proton memiliki massa 1.6726 x 10-27 kg. Jika massanya lebih besar 0,2% saja, maka ia akan menjadi neutron dan membuat konstruksi atom apapun menjadi tidak stabil. 3. Gaya nuklir kuat dan gaya elektromagnetik adalah 2 dari 4 gaya fundamental yang mengatur alam semesta. Bila besaran gaya nukir kuat dirubah sebesar 0,5% saja dan besaran gaya eletromagnetik dirubah sebesar 4%, maka seluruh karbon dan oksigen yang menjadi bahan dasar kehidupan tidak mungkin tercipta di alam semesta. 4. Matahari kita memiliki massa 1.989 × 10^30 kg. Bila massa tersebut lebih kecil atau besar 20% saja, maka Bumi kita akan menjadi sedingin Mars atau sepanas Venus dan tidak bisa mendukung kehidupan. 5. Bumi berada pada jarak 149,6 juta km dari matahari. Bila Bumi berada lebih dekat sedikit saja, seluruh makhluk hidup akan terpanggang. Sementara bila Bumi berada lebih jauh sedikit saja dan panas matahari yang diterima Bumi berkurang hingga 13%, akan terbentuk lapisan es setebal 1 km di muka Bumi. 6. Bumi berotasi pada sumbunya dengan kecepatan 1.670 km/jam di khatulistiwa. Bila kecepatan ini berkurang, molekul-molekul gas yang terbentuk di muka Bumi akan terserap ke dalam Bumi oleh efek gravitasi. Sementara bila kecepatan ini meningkat, atmosfer akan menjadi terlalu panas. 7. Kemiringan Bumi terhadap sumbu rotasinya adalah 23,27 derajat. Bila kemiringan ini berkurang atau bertambah, maka perbedaan suhu antara kutub dan khatulistiwa akan menjadi terlalu besar. Suhu di daerah kutub dan khatulistiwa sendiri akan menjadi terlalu panas atau dingin untuk didiami makhluk hidup. 8. Orbit Bumi dalam mengelilingi matahari berbentuk bulat dan hanya memiliki kelonjongan 2%. Planet lain, seperti Merkurius, memiliki orbit dengan kelonjongan 20%. Ini menyebabkan permukaan planet tersebut meningkat 93 derajat celcius ketika berada di titik terdekat dengan matahari dan membuat kehidupan tidak mungkin. 9. Atmosfer Bumi terdiri dari 78% nitrogen, 21% oksigen, 1% argon dan 0,03% karbondioksida. Bila kadar oksigen lebih sedikit, maka pernapasan makhluk hidup akan menjadi sulit dan lebih sedikit ozon yang dihasilkan untuk menghalangi sinar UV. Sementara bila kadar oksigen lebih banyak, maka oksidasi di permukaan Bumi akan meningkat dan batuan serta logam akan terkikis sangat cepat. Hal yang sama berlaku untuk CO2. Bila jumlah CO2 lebih sedikit, jumlah senyawa bikarbonat di laut akan berkurang dan membuat lautan jadi asam. Sementara bila jumlahnya meningkat, akan menyebabkan suhu Bumi meningkat dan membentuk residu alkali berbahaya di laut. Di dalam ilmu Kosmologi, Fisika dan Kimia, fenomena sebagaimana dicontohkan di atas disebut "fine tuning", dimana semua angka yang ada di seluruh hukum alam dipilih secara cermat ("fine tuning") sehingga makhluk hidup, termasuk manusia, bisa muncul di planet yang bernama Bumi ini. Saya pertama kali membaca soal fenomena ini pada awal-awal masa kuliah di dalam buku yang berusaha mempopulerkan kreasionisme (keyakinan bahwa alam semesta diciptakan Tuhan) karya penulis Muslim, Harun Yahya. Namun ketika beberapa tahun kemudian saya mempelajari Kosmologi dan Fisika Kuantum secara otodidak dan melahap buku-buku karya Stephen Hawking, Neil de Grasse Tyson, Lawrence M. Krauss, dll, saya menemukan lagi pembahasan soal fenomena "fine tuning" ini yang diamini oleh ilmuwan-ilmuwan yang sebenarnya mayoritas agnostik dan atheis tersebut. Sebagai contoh, di dalam salah satu bukunya yang saya baca dan berjudul "The Grand Design", Hawking yang atheis mengakui bahwa pemilihan seluruh angka yang ada di semua hukum alam sungguh cermat, sehingga kehidupan yang sebenarnya bersifat sangat rapuh akhirnya bisa muncul di muka Bumi. Bila salah satu angka tersebut dirubah sedikit saja, maka kehidupan pasti akan musnah. Bagi mereka yang percaya Tuhan, fenomena ini jelas menunjukkan keberadaan Tuhan, dimana Tuhan yang tahu bagaimana supaya kehidupan bisa muncul di Bumi telah memilih setiap angka tersebut secara tepat. Hanya saja, ilmuwan-ilmuwan atheis semacam Hawking berusaha mencari penjelasan lain tentang bagaimana angka-angka tersebut bisa terpilih secara tepat, misalnya melalui keberadaan alam semesta jamak (multiverse) yang selama ini merupakan hipotesa paling populer dari kalangan atheis. Sebenarnya hipotesa alam semesta jamak banyak dibantah oleh kalangan ilmuwan atheis sendiri dan akan saya bahas secara terpisah di tulisan saya yang lain. Sumber: - Stepehen Hawking & Leonard Mlodinow, "The Grand Design", Bantam Books - Harun Yahya, "Menyingkap Rahasia Alam Semesta", penerbit Dzikra - https://en.m.wikipedia.org/wiki/Fine-tuned_Universe
Akhirnya selesai juga baca buku setebal 500 halaman ini. Walaupun penulis buku ini, seorang doktor Teologi mantan gembala jemaat, menyatakan bahwa dirinya bukan seorang Ateis, namun bagi saya jelas bahwa buku ini mempromosikan Ateisme. Malah dapat saya katakan, kalau Anda ingin mengetahui tentang landasan-landasan keyakinan orang Ateis, Anda dapat membeli buku yang hanya bisa dipesan dari penulisnya langsung ini.
Dalam 14 babnya, buku ini membahas banyak hal, mulai dari bagaimana, dalam pandangan orang Ateis, alam semesta dan makhluk hidup bisa ada tanpa adanya Pencipta, kenapa ruh tidak ada, kenapa hantu dan pengalaman-pengalaman supranatural hanyalah ilusi, hingga bagaimana manusia bisa bermoral tanpa memerlukan agama. Di akhir buku ini, sang Penulis mengajak para pembaca untuk beragama secara "modern" dan "dewasa", dimana dalam beragama para pembaca harus meninggalkan pemahaman literal terhadap beberapa hal dalam kitab sucinya, yang dalam pandangan Penulis, tak lain hanyalah mitos dan terbukti bertentangan dengan sains, seperti kisah turunnya Adam dan Hawa dari surga, kisah banjir nabi Nuh, hingga keberadaan makhluk bernama setan. Terus terang saya mengetahui beberapa hal baru melalui buku ini. Namun saya juga harus mengatakan, bahwa menurut saya sang Penulis terlalu naif karena percaya bahwa sains sudah menemukan jawaban untuk beberapa pertanyaan besar, seperti apa yang ada sebelum Dentuman Besar, darimana makhluk hidup pertama berasal, dsb. Sebagai contoh, di ranah Fisika Kuantum, banyak penentangan terhadap hipotesa Kehampaan Vakum yang dikutip di buku ini dan menurut pencetusnya, Lawrence M. Krauss, memungkinkan alam semesta hadir dari ketiadaan tanpa adanya Pencipta. Malah, mayoritas hasil ulasan di berbagai jurnal sains terhadap buku Krauss yang membahas hal ini, "Why There Is Something Rather Than Nothing?", adalah negatif. Saya juga bukan orang yang mudah percaya bahwa teori Evolusi bisa menjelaskan keanekaragaman dan kerumitan berbagai spesies makhluk hidup yang ada saat ini, karena ada fenomena-fenomena yang tidak bisa dijelaskan teori ini dan bisa mengancam validitas teori ini. Beberapa hal ini dibahas dalam buku "Darwin's Black Box" karya Michael Behe, seorang ahli biokimia. Meski demikian, saya juga bukan orang yang puas terhadap hipotesa Kreasionisme yang ada saat ini, karena hipotesa ini belum dielaborasi sedemikian rupa dan cukup sehingga mampu menjelaskan keanekaragaman spesies yang ada saat ini. Bagi saya, buku ini akan jauh lebih menarik bila sang Penulis menjelaskan secara obyektif tentang kendala-kendala apa yang masih kita temui dalam sains saat ini ketika kita hendak membahas beberapa topik, seperti awal mula alam semesta, asal-usul kehidupan di Bumi, dan lain-lain. Entah hal ini memang akan selalu demikian adanya ataukah karena sains modern sesungguhnya masih berusia amat muda, yang saya pahami melalui pembelajaran saya selama ini melalui banyak membaca berbagai buku adalah, ketika kita hendak membahas topik-topik di atas, maka sains kita saat ini belumlah konklusif dan masih memuat banyak perbedaan pendapat diantara para ahli sendiri. Mungkin, ketika kita menginginkan jawaban yang pasti, sebagaimana pernah dibahas di tulisan saya yang lain, mempelajari dan mengkaji bukti-bukti yang ditawarkan sains saja tidak cukup. Setelah menyisir setiap jengkal di bazaar buku import "Big Bad Wolf Books" (BBWB) di ICE BSD selama 3,5 jam, akhirnya sampai juga saya di rumah.
Buat teman-teman pecinta buku, pastikan jangan sampai kehilangan event langka ini! Di BBWB ada ratusan ribu (atau mungkin jutaan?) judul buku import BARU (bukan bekas) dari kategori fiksi, non-fiksi, komik, dan anak-anak yang dijual dengan diskon s/d 80%! Untuk memberi ilustrasi, 17 buah majalah dan buku tebal yang penuh foto dan warna ini saya beli 'hanya' dengan harga Rp. 1,265 juta! Walau angka ini pada awalnya mungkin terlihat besar, tapi kalau sudah dibagi 17, itu artinya tiap barang berharga rata-rata hanya Rp.75 ribu! Jangan tertipu dengan judul-judul buku yang sampai sekarang masih terus diunggah ke website event ini: www.bigbadwolfbooks.com. Jumlah judul yang akan Anda temui di event ternyata beratus-ratus kali lebih banyak! Ada buku roman, biografi, memasak, hasta karya, berkebun, golf, otomotif, militer, seni, arsitektur dan banyak topik lainnya. Hanya segelintir topik yang bukunya tidak saya temui di pameran ini: Filsafat, Agama, Astrofisika (bukan astronomi) dan Fisika Kuantum. Setiap orang pasti memiliki momen-momen penting yang merubah hidupnya. Dalam hidup saya, salah satu momen itu adalah ketika saya duduk di bangku SMP dan bertemu dengan orang yang menjadi sahabat dekat saya hingga kini dan telah mengajarkan dan mengenalkan saya kepada banyak hal.
Nonton lagi 'Interstellar' dan beberapa episode 'Cosmos: A Spacetime Odyssey' mengingatkan saya lagi, kenapa saya lebih menyukai sains daripada filsafat sebagai alat untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan.
Apa perbedaan antara filsafat, sains, dan agama?
Apakah kepercayaan tentang keberadaan UFO adalah sesuatu yang saintifik? Apakah ramalan astrologi itu ilmiah? Apakah Fengshui itu ilmiah? Bagaimana caranya membedakan sesuatu yang ilmiah dengan yg tidak ilmiah?
Minggu lalu. sambil malam mingguan, saya mampir sebentar ke Kinokuniya buat cari bahan bacaan buat 1 bulan ke depan. Pilihan saya jatuh pada: 1) "Philosophy: The Basics" karya DR. Nigel Warburton. 2) "Physics of The Impossible" karya DR. Michio Kaku.
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|