Kalau dipikirkan dalam-dalam, perasaan sebenarnya adalah ilusi. Perasaan (bahagia, tegang, sedih, dll) adalah sensasi yang badan kita rasakan ketika hormon (serotonin, dophamin, adrenalin, dll) masuk ke aliran darah kita, setelah (kesadaran) kita memilih untuk melihat suatu kejadian dengan cara tertentu. Otak kemudian akan menginstruksikan kelenjar untuk memproduksi hormon yang sesuai.
Manusia sebenarnya sudah menyadari ini sejak lama. Itulah sebabnya banyak manusia berpaling ke rokok, alkohol, madat, dll. Karena manusia tahu hal-hal tersebut mengandung zat kimia yang dapat mempengaruhi emosi manusia ketika masuk dalam darah. Bukan berarti barang-barang tersebut punya efek jangka panjang yang baik. Sedemikian lamanya manusia terikat kepada ilusi tersebut sejak ia lahir, sehingga akhirnya ilusi itu menjadi nyata.
0 Comments
When being asked, who his best friend is, many a people shall respond "this person" or "that person". I, however, grow to believe that this is wrong.
Our own best friend is actually and should always be.. ourself! We give our best friends or beloved ones advices that they should take care of their bodies or their health. Yet how many of us has done it to ourself? We give our best friends or beloved ones consolation when they make mistakes and regret about them. Yet how many of us has done it to ourself? While we seem to always attempt to be best friend to our beloved ones, why haven't we become one to our own self? Friends will not always be on our side. But we are always on our own side. You may lament as well that God is not on your side when a misfortune or calamity strikes in your life. Yet you are always on your own side. As many wise men say that we are the block to our own enlightenment or advancement. In the pursuit to that end, at its every cherishful or harsh turn, we should always be our own best friend! Terkadang kita terlalu sibuk "mengkafir-kafirkan" orang-orang di luar golongan kita, sampai kita lupa bahwa sebenarnya sebagai sesama manusia kita punya banyak cita-cita yang sama: kesehatan, hidup yang damai dan penuh kebahagiaan hakiki. Dan bahwa kita sebenarnya dapat bekerja bersama-sama sebagai satu spesies untuk mencoba mewujudkan cita-cita itu.
Dulu saya juga sempat memikirkan omongan orang-orang seperti Andriy ini. Barangkali saja mereka benar. Tapi kemudian saya dapat memutuskan sikap saya secara cepat setelah saya membuat pertanyaan analogi berikut untuk diri saya sendiri.
Seandainya saya bertemu dengan seorang bule di tengah jalan yang sangat memerlukan bantuan saya, akankah saya berkata "Maaf, saya tidak mau membantu Anda, karena Anda bukan orang Indonesia" ? Tentu tidak. Kalau saya bisa membantu, kenapa tidak saya bantu? Kemudian saya sadari bahwa menolak membantu seseorang atau sekelompok orang, apalagi yang sangat memerlukan, dikarenakan etnisnya (dia beda suku atau negara dengan kita) ataupun agamanya, sebenarnya adalah sikap rasis. Logikanya, dan sudah seharusnya sebagai sesama manusia, kita membantu siapa saja, manakala kita tahu ada yang perlu bantuan dan kita pun mampu. Tidak ada yang minta dilahirkan dalam suku A, B, atau C. Analogi yang sama juga berlaku untuk mereka yang enggan membantu karena merasa bahwa diri mereka sedang berada dalam "kesulitan". Sengaja saya beri tanda kutip pada kata "kesulitan", karena itu adalah persepsi subyektif. Bagi saya seperti ini. Hidup itu adalah ujian. Sepanjang hidup, kita akan selalu menemui hal yang bernama kesulitan. Kalau kita selalu menjadikan kesulitan sebagai alasan, maka kapan kita mulai akan berguna bagi manusia lainnya? Barangkali bukan kesulitan yang menjadi alasan sebenarnya. Barangkali sebenarnya keegoisan kita. Saya sendiri tak henti-hentinya kagum kepada sekian banyaknya contoh yang sudah saya temui berupa orang-orang yang secara ekonomi berada dalam kesulitan, namun sangat ringan tangan dan rela berbagi apapun yang mereka miliki kepada sesama. Kehadiran orang-orang mulia seperti ini, insya Allah, yang akan selalu jadi pengingat bagi saya untuk tidak mudah menjadikan "kesulitan" sebagai halangan untuk membantu orang lain. Max Tegmark, seorang fisikawan kuantum, pernah berkata bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk keindahan, sesungguhnya dibangun di atas matematika. Kalau teman-teman ingat, beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang konstanta-konstanta (angka-angka tetapan) di semua hukum alam yang tampaknya telah dipilih secara seksama supaya pada akhirnya lingkungan yang mendukung kehidupan bisa muncul di Bumi ("anthropocentric principle"). Kali ini saya juga ingin membahas tentang angka yang ada di alam, yaitu Phi dan Golden Ratio. Phi adalah angka di dalam matematika yang dihasilkan dari perhitungan (1+✓5)/2, yaitu 1,618033..dst. Sementara Golden Ratio adalah angka satu (1) berbanding Phi (1,618033..dst). Hal yang menarik tentang Phi dan Golden Ratio ini adalah ukuran anggota-anggota tubuh seluruh makhluk hidup di Bumi tampaknya memiliki proporsi yang mengikuti Golden Ratio ini, sebagaimana ditunjukkan oleh video di bawah. Setahu saya, Phi dan Golden Ratio ini menjadi populer dan diketahui luas sejak seniman-seniman dan ilmuwan-ilmuwan Eropa di era Renaissans banyak meneliti dan menulis tentangnya. Pada saat itu Eropa tengah menggandrungi kegiatan mempelajari dan mencari pola di alam yang di kemudian hari akan membawa mereka kepada Era Pencerahan. Penemuan tentang Phi dan Golden Ratio ini banyak manfaatnya, apalagi untuk dunia seni dan arsitektur seperti yang saya tekuni. Di dunia arsitektur, pada umumnya bangunan yang dianggap memiliki proporsi yang enak dipandang mata adalah yang mengikuti Golden Ratio. Atau, bila Anda ingin mendesain bangunan yang enak dipandang mata, cobalah mengaplikasikan Golden Ratio pada semua komponen bangunan yang Anda desain. Bagaimana Phi dan Golden Ratio bisa ada di tubuh semua makhluk hidup? Bila Anda percaya tentang keberadaan Tuhan, bisa jadi Phi dan Golden tersebut adalah "tanda tangan" yang sengaja dibubuhkan pada tubuh semua makhluk hidup sebagai bukti bahwa semuanya adalah karya Seniman Besar yang tunggal. Semua rasa takut berasal dari ketidaksanggupan kita menerima kondisi terburuk dalam kehidupan. Mereka yang pernah melewati hal-hal terburuk dalam kehidupan, biasanya tidak lagi dikekang rasa takut. Benar tidak?
Sudah agak lama saya tidak menulis tentang sains. Kali ini saya ingin membahas tentang rahasia yang ada di balik angka-angka di dalam semua hukum alam yang membangun jejaring alam semesta. Semoga bermanfaat.
Bagi mereka yang sering membaca buku-buku tentang atau bersinggungan dengan ilmu Kosmologi, Fisika, ataupun Kimia, ada satu fakta yang tidak bisa dibantah, bahkan oleh ilmuwan atheis sekalipun, yaitu: Seluruh konstanta (angka-angka) yang ada di dalam semua hukum alam (contoh: hukum gravitasi Newton, Relativitas, dll) "bekerja sama" sehingga makhluk hidup bisa tercipta di muka Bumi. Ketika salah satu angka di dalam salah satu hukum tersebut dirubah sedikit saja, maka makhluk hidup, termasuk manusia, tidak akan mungkin hadir di muka Bumi. Saya akan beri sedikit contoh saja dari luar biasa banyaknya angka yang sebenarnya ada di alam semesta: 1. Alam semesta kita bersifat 3 dimensi. Bila jumlah dimensi ini dirubah, maka keseimbangan gaya tarik menarik yang sudah ada antara benda-benda langit akan berubah. Sebagai contoh, bintang seperti matahari kita akan ditarik oleh gravitasi ke dalam intinya sendiri dan berubah menjadi lubang hitam yang justru akan menyedot seluruh benda di sekelilingnya. 2. Proton memiliki massa 1.6726 x 10-27 kg. Jika massanya lebih besar 0,2% saja, maka ia akan menjadi neutron dan membuat konstruksi atom apapun menjadi tidak stabil. 3. Gaya nuklir kuat dan gaya elektromagnetik adalah 2 dari 4 gaya fundamental yang mengatur alam semesta. Bila besaran gaya nukir kuat dirubah sebesar 0,5% saja dan besaran gaya eletromagnetik dirubah sebesar 4%, maka seluruh karbon dan oksigen yang menjadi bahan dasar kehidupan tidak mungkin tercipta di alam semesta. 4. Matahari kita memiliki massa 1.989 × 10^30 kg. Bila massa tersebut lebih kecil atau besar 20% saja, maka Bumi kita akan menjadi sedingin Mars atau sepanas Venus dan tidak bisa mendukung kehidupan. 5. Bumi berada pada jarak 149,6 juta km dari matahari. Bila Bumi berada lebih dekat sedikit saja, seluruh makhluk hidup akan terpanggang. Sementara bila Bumi berada lebih jauh sedikit saja dan panas matahari yang diterima Bumi berkurang hingga 13%, akan terbentuk lapisan es setebal 1 km di muka Bumi. 6. Bumi berotasi pada sumbunya dengan kecepatan 1.670 km/jam di khatulistiwa. Bila kecepatan ini berkurang, molekul-molekul gas yang terbentuk di muka Bumi akan terserap ke dalam Bumi oleh efek gravitasi. Sementara bila kecepatan ini meningkat, atmosfer akan menjadi terlalu panas. 7. Kemiringan Bumi terhadap sumbu rotasinya adalah 23,27 derajat. Bila kemiringan ini berkurang atau bertambah, maka perbedaan suhu antara kutub dan khatulistiwa akan menjadi terlalu besar. Suhu di daerah kutub dan khatulistiwa sendiri akan menjadi terlalu panas atau dingin untuk didiami makhluk hidup. 8. Orbit Bumi dalam mengelilingi matahari berbentuk bulat dan hanya memiliki kelonjongan 2%. Planet lain, seperti Merkurius, memiliki orbit dengan kelonjongan 20%. Ini menyebabkan permukaan planet tersebut meningkat 93 derajat celcius ketika berada di titik terdekat dengan matahari dan membuat kehidupan tidak mungkin. 9. Atmosfer Bumi terdiri dari 78% nitrogen, 21% oksigen, 1% argon dan 0,03% karbondioksida. Bila kadar oksigen lebih sedikit, maka pernapasan makhluk hidup akan menjadi sulit dan lebih sedikit ozon yang dihasilkan untuk menghalangi sinar UV. Sementara bila kadar oksigen lebih banyak, maka oksidasi di permukaan Bumi akan meningkat dan batuan serta logam akan terkikis sangat cepat. Hal yang sama berlaku untuk CO2. Bila jumlah CO2 lebih sedikit, jumlah senyawa bikarbonat di laut akan berkurang dan membuat lautan jadi asam. Sementara bila jumlahnya meningkat, akan menyebabkan suhu Bumi meningkat dan membentuk residu alkali berbahaya di laut. Di dalam ilmu Kosmologi, Fisika dan Kimia, fenomena sebagaimana dicontohkan di atas disebut "fine tuning", dimana semua angka yang ada di seluruh hukum alam dipilih secara cermat ("fine tuning") sehingga makhluk hidup, termasuk manusia, bisa muncul di planet yang bernama Bumi ini. Saya pertama kali membaca soal fenomena ini pada awal-awal masa kuliah di dalam buku yang berusaha mempopulerkan kreasionisme (keyakinan bahwa alam semesta diciptakan Tuhan) karya penulis Muslim, Harun Yahya. Namun ketika beberapa tahun kemudian saya mempelajari Kosmologi dan Fisika Kuantum secara otodidak dan melahap buku-buku karya Stephen Hawking, Neil de Grasse Tyson, Lawrence M. Krauss, dll, saya menemukan lagi pembahasan soal fenomena "fine tuning" ini yang diamini oleh ilmuwan-ilmuwan yang sebenarnya mayoritas agnostik dan atheis tersebut. Sebagai contoh, di dalam salah satu bukunya yang saya baca dan berjudul "The Grand Design", Hawking yang atheis mengakui bahwa pemilihan seluruh angka yang ada di semua hukum alam sungguh cermat, sehingga kehidupan yang sebenarnya bersifat sangat rapuh akhirnya bisa muncul di muka Bumi. Bila salah satu angka tersebut dirubah sedikit saja, maka kehidupan pasti akan musnah. Bagi mereka yang percaya Tuhan, fenomena ini jelas menunjukkan keberadaan Tuhan, dimana Tuhan yang tahu bagaimana supaya kehidupan bisa muncul di Bumi telah memilih setiap angka tersebut secara tepat. Hanya saja, ilmuwan-ilmuwan atheis semacam Hawking berusaha mencari penjelasan lain tentang bagaimana angka-angka tersebut bisa terpilih secara tepat, misalnya melalui keberadaan alam semesta jamak (multiverse) yang selama ini merupakan hipotesa paling populer dari kalangan atheis. Sebenarnya hipotesa alam semesta jamak banyak dibantah oleh kalangan ilmuwan atheis sendiri dan akan saya bahas secara terpisah di tulisan saya yang lain. Sumber: - Stepehen Hawking & Leonard Mlodinow, "The Grand Design", Bantam Books - Harun Yahya, "Menyingkap Rahasia Alam Semesta", penerbit Dzikra - https://en.m.wikipedia.org/wiki/Fine-tuned_Universe What I believe: Bravery is not the absence of fear. It's the persistence to hold ground and push through the storm because we know we have to do it. The scars left on our face, then, are what make us human, fully taught.
Yang sulit adalah diri sendiri
Memotivasi orang lain itu mudah. Yang sulit adalah memotivasi diri sendiri. Mendisiplinkan orang lain itu mudah. Yang sulit adalah mendisiplinkan diri sendiri. Memaafkan orang lain itu mudah. Yang sulit adalah memaafkan diri sendiri. Mencintai orang lain itu mudah. Yang sulit adalah mencintai diri sendiri. Banyak orang menghina Islam, padahal membaca Al-Qur'an dan buku-buku penerbit Islam saja tidak pernah. Banyak orang menghina Kristen, padahal membaca Alkitab dan buku-buku penerbit Kristen saja tidak pernah. Banyak orang menghina Syiah, padahal bertemu dan bertanya jawab dengan orang Syiah untuk mengklarifikasi tuduhan-tuduhan terhadap mereka saja tidak pernah. Apapun keyakinanmu, bagaimana perasaanmu bila ada di pihak yang keyakinannya difitnah?
Sejak lama saya menolak mempercayai sesuatu berdasarkan apa yang dikatakan orang lain. Saya memilih untuk mempelajari sendiri langsung dari sumbernya untuk menentukan sikap saya sendiri. Sampai saya mempelajari sendiri, saya tidak akan menjatuhkan penilaian saya. Saya keras kepala? Saya sih memang begitu orangnya. Menurut saya, masih banyak sekali orang Indonesia yang tidak serius dalam bekerja. Akibatnya, kualitas tenaga kerja dan produk Indonesia masih sering diragukan.
Contohnya ini. Dua bulan (!) menunggu pekerjaan pewarnaan ulang sepatu. Eh, hasilnya (coklat tua) beda dengan permintaan (coklat muda, warna asli). Jelas kertas order tidak dibaca dengan baik. Pemahaman bahwa kualitas pekerjaan menunjukkan kualitas pribadi pembuatnya, seperti pada bangsa Jepang dan Jerman, belum menjadi suatu prinsip yang dipegang teguh disini. Masih ada kesalahan sistem atau ada suatu hal jelek di dalam kebudayaan kita (yang mungkin cenderung "take it easy") yang harus dibenahi I discover that the unwillingness to suffer is the root of fear. He who wants to accept suffering will not fear.
But then, it is still not easy to put our fear down. Because I think it has become human tendency to avoid suffering. Our innate nature drives us to make our life happier and more cherishful, not more miserable with sufferings. Thus the battle against fear will still hold. A. Apa Tujuan Hidup? Seingat saya, SMP adalah saat saya mulai merenungkan dan bertanya tentang tujuan hidup manusia terlepas dari apa yang telah dikatakan agama saya. Memang periode SMP itulah saat saya mulai mencari jawaban saya sendiri atas berbagai pertanyaan, karena saya ingin melihat berbagai hal secara obyektif terlepas dari latar belakang suku, agama, ataupun tingkatan ekonomi tempat saya dilahirkan, meskipun berbagai hal yang telah diajarkan kepada saya hingga saat itu tetap saya pertimbangkan. Pada dasarnya, sejak SMP itulah saya mulai meyakini bahwa sebagai manusia kita harus bersikap kritis dan tidak mudah mengamini apa yang dikatakan lingkungan sekitar kita. Bila kita mudah mengamini, maka manakala kita dilahirkan di lingkungan yang tidak baik, maka kita pun pasti akan dengan mudah meyakini dan mengikuti hal-hal salah yang sudah terlanjur dianggap benar di lingkungan tersebut. Berbagai jawaban saya temui atas pertanyaan kenapa manusia tercipta di dunia ini dan apa tujuan hidup manusia sesuai jumlah buku yang saya baca. Mulai dari jawaban Islami yang mengatakan bahwa makhluk hidup diciptakan Tuhan agar mereka tahu bahwa Tuhan itu ada; jawaban Hindu dan Buddhis yang mengatakan bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk membebaskan dirinya dari lingkaran reinkarnasi dan penderitaan hidup tanpa henti; sampai dengan jawaban yang tidak mengandung unsur spiritual seperti bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memenuhi hal-hal yang dirasakan oleh manusia itu sendiri sebagai kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup menjadi Tuhan bagi manusia itu sendiri karena pemenuhannya akan selalu menjadi tujuan hidup manusia yang bersangkutan, demikian jawaban Aristoteles. Meski demikian, dari perjalanan hidup saya sendiri dan dari pengamatan saya terhadap banyak kehidupan orang lain, saya kemudian menemukan bahwa, setidaknya bagi saya, tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Sederhana saja. Karena saya mengamati dalam kehidupan banyak orang, bahwa bila kita hidup -bahkan bila kita memiliki semua harta yang ada di dunia ini- namun kita tidak bahagia, maka hidup kita adalah percuma, sia-sia. Melalui pengamatan saya lebih lanjut, saya bahkan menyimpulkan bahwa sebenarnya, sadar atau tidak sadar, motif (penggerak) dari semua tindakan manusia adalah untuk mencari kebahagiaan ini, bahkan ketika manusia melakukan suatu tindak kejahatan. Coba kita amati. Ketika seseorang berselingkuh dan melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang bukan pasangan nikahnya, dalam pikirannya ia melakukan itu demi kesenangan -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan bagi manusia tersebut, terlepas dari kenyataan berikutnya bahwa pasangan nikahnya dapat menderita bila mengetahui hal ini. Ketika seorang psikopat menculik ataupun menyiksa korbannya, ia melakukan itu untuk melepaskan dirinya dari derita yang mungkin diakibatkan trauma masa lalunya -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan juga. Bahkan ketika seseorang bunuh diri, ia pun melakukan itu karena ingin melepaskan diri dari hidupnya yang penuh derita -sebuah tindakan pencarian kebahagiaan lagi. Hampir semua tindakan manusia bisa dikaitkan dengan pencarian kebahagiaan ini, bahkan ketika seseorang melakukan suatu tindakan baik (benevolent) bukan untuk tujuan apa-apa (ikhlas). Bukankah tetap saja ia mendapatkan kepuasan, dengan kata lain kebahagiaan, dengan melakukan tindakan yang didasarkan atas keikhlasan tersebut? B. Perbedaan Kesenangan dan Kebahagiaan Setelah merasa menemukan jawaban tentang tujuan hidup manusia, dalam pencarian saya pertanyaan saya yang berikutnya adalah, keadaan manusia seperti apakah yang dapat dikatakan bahagia? Ketika seorang pecandu narkoba sedang menghisap ganja dan merasakan "fly", dapatkah ia dikatakan bahagia? Ketika seseorang mendapatkan kenikmatan ketika meminum alkohol untuk melupakan kesulitan hidup yang melilit dirinya, dapatkah ia dikatakan bahagia? Entah kenapa, meskipun orang-orang di atas merasakan kelepasan dari derita mereka ketika tengah melakukan hal-hal di atas, berat bagi saya untuk mengatakan bahwa mereka bahagia. Pertanyaannya adalah, bila tidak melakukan hal-hal di atas, akankah mereka merasa bahagia? Bahkan jika mereka mendapatkan pasokan "kebahagiaan" dengan terus menerus menggunakan narkoba ataupun meminum alkohol sepanjang hidupnya, dapatkah sebenarnya mereka dikatakan bahagia? Bagi saya, sulit rasanya. Bila hal-hal di atas tidak menunjukkan kebahagiaan, maka keadaan hidup manusia seperti apakah yang dapat dikatakan bahagia? Ketika merenungkan hal tersebut, sebuah terminologi (kata) kunci lagi memasuki pikiran saya dan harus dibedakan dengan kebahagiaan: kesenangan. Ya, kesenangan. Manusia-manusia di atas, yang menggunakan narkoba ataupun meminum alkohol untuk melepaskan dirinya dari lilitan derita, adalah manusia-manusia yang memperoleh kesenangan (ketika melakukan hal-hal tersebut), tapi bukan kebahagiaan. Kesenangan adalah kenikmatan yang bisa membuat Anda melupakan derita Anda. Bila kesenangan Anda tergantung kepada hal-hal yang bersifat fisik, maka Anda tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari hal-hal fisik tersebut sepanjang hidup Anda untuk membuat diri Anda lupa dengan derita. Kebahagiaan, secara kualitas, berada di atas kesenangan. Kebahagiaan, melalui berbagai pengalaman dalam kehidupan saya pribadi dan perenungan saya, akhirnya saya pahami sebagai sebuah kesejahteraan batin yang Anda rasakan ketika Anda merasa puas terhadap keadaan diri Anda sendiri. Hal yang ingin saya garis bawahi disini adalah, ketika seseorang bahagia, bukan berarti ia terbebas dari berbagai kesulitan hidup ataupun ia hidup dalam kegelimangan harta. Ia bisa saja mengalami berbagai kesulitan hidup dan ia bisa saja bukan seseorang yang kaya raya. Namun ketika ia merasakan puas atas keadaan dirinya, ia dapat dikatakan bahagia. Pada kenyataannya, orang-orang yang bahagia di dunia ini sesungguhnya ada. Saya sudah pernah menemui mereka melalui berbagai buku yang mereka tulis dan saya baca ataupun menemuinya langsung. Kalau menemuinya, kebahagiaan itu bisa Anda rasakan melalui pancaran wajah dan matanya. Mata, kata orang, tidak pernah berbohong. Kebahagiaan bisa berwujud seorang petani, yang meskipun tidak bergelimang harta, namun penuh rasa syukur; seorang kyai yang menjalani kehidupannya yang sederhana di desa; ataupun seorang bhikhu yang gigih menempa spiritualitasnya dan rajin mengayomi umat. Kebahagiaan itu bebas agama dan tingkatan sosial. C. Halangan-halangan Mencapai Kebahagiaan Bila seseorang baru akan memperoleh kebahagiaan hidup ketika ia merasa puas dengan keadaan dirinya, maka ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya, tentunya ia belum akan benar-benar bahagia. Dan banyak faktor yang bisa membuat kita tidak puas atas keadaan diri kita. Ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena belum berada dalam kelimpahan harta yang begitu diinginkannya, maka ia belum benar-benar akan bahagia. Ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena belum mendapatkan jawaban yang ia cari atas pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya, maka ia belum benar-benar akan merasa bahagia. Juga ketika seseorang belum merasa puas dengan keadaan dirinya karena masih terbelenggu oleh berbagai kebiasaan jelek yang sebenarnya sangat ingin ia hilangkan, maka ia belum benar-benar akan merasa bahagia. Karena setiap orang memiliki kepingan hilang yang berbeda dalam hidupnya yang ia rasa harus ia lengkapi sebelum ia bisa merasa puas dengan dirinya sendiri, maka lika-liku perjalanan yang ditempuh setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan utuh pun berbeda. Dan karena tingkat kesulitan yang harus ditempuh setiap orang untuk melengkapi kepingan yang hilang itu juga berbeda, maka waktu yang akan diperlukan setiap orang untuk memperoleh kebahagiaan utuh juga berbeda. Perjalanan memperoleh kebahagiaan utuh itulah yang tampaknya akan selalu menjadi tema dasar bagi cerita setiap anak manusia. Meski demikian, ada hal lain juga yang ingin saya sampaikan. Perjuangan kita untuk memperoleh kebahagiaan utuh itu jangan sampai membuat kita menafikkan semua hal yang saat ini sudah ada pada diri kita dan seharusnya sudah bisa membuat kita merasa bahagia. Itulah yang hendak dikatakan ungkapan bijak "Tidak ada jalan menuju kebahagiaan. Justru kebahagiaan itulah jalannya". Meskipun pada prakteknya, memperoleh kebahagiaan tidak semudah itu, tapi ungkapan ini mengajarkan bahwa kita tidak boleh menunggu untuk mulai berbahagia. Kenapa? Karena menjalani hidup tanpa kebahagiaan sama sekali terasa sengsara. Ada berbagai karunia pada diri kita saat ini, yang tidak dimiliki setiap orang, yang seharusnya bisa membuat kita bersyukur. Anda, sebagaimana makhluk hidup lain yang bisa merasakan (sentient being), berhak untuk berbahagia. Jalan untuk memperoleh kebahagiaan utuh dalam hidup itu harus mulai dititi saat ini juga. Meski demikian, jangan lupa untuk mensyukuri dan berbahagia atas berbagai karunia yang sekarang sudah dimiliki dan diperoleh sepanjang jalan. Sabbe satta bhavantu sukhitatta, Perkataan dalam bahasa Pali yang berarti "semoga semua makhluk hidup berbahagia". Amin. Sumber foto: Internet Di antara budaya asing, yang paling saya sukai adalah Jepang. Entah kenapa. Oleh karena itu, setiap kali ada terbitan buku baru tentang Jepang, biasanya saya beli, terutama kalau berkaitan topik-topik yang saya minati.
Di toko buku Periplus, Gramedia, dan Paperclip, dalam beberapa bulan ini beredar buku tentang Jepang yang rasanya harus dimiliki para penggemar budaya Jepang. 1. "Unbelievable Japan" oleh Weedy Koshino, bercerita tentang kehidupan Jepang dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga 2 anak yang bersuamikan orang Jepang. Hal baru yang saya pelajari di buku ini dan tidak banyak saya dapati di buku-buku yang saya baca sebelumnya adalah soal bullying dan kehidupan anti sosial sebagian remaja Jepang. Harga: +/- Rp.60.000 2. "Wow Japan" oleh Prastuti. Bercerita tentang kehidupan masyarakat Jepang pula, namun dari kacamata seorang peneliti dan pengajar bahasa Indonesia di Jepang. Buku ini banyak membahas soal spiritualisme orang Jepang, sebuah topik yang biasanya jarang disentuh di banyak buku karena orang Jepang dianggap sekuler. Harga: Rp.60.000 3. "New Japan Achitecture" oleh Geeta Mehta. Buku ini membahas arsitektur terkini di berbagai tempat di Jepang yang dibagi dalam beberapa kategori, diantaranya Hunian, Pendidikan, Perkantoran dan Komersial. Di buku ini, kita bisa mempelajari kelihaian para arsitek Jepang dalam menyiasati ruang-ruang sempit dan memasukkan unsur keheningan Zen yang menjadi salah satu ciri khas Jepang ke dalam berbagai bangunan. Harga: Rp.450.000
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|