Dulu saya juga sempat memikirkan omongan orang-orang seperti Andriy ini. Barangkali saja mereka benar. Tapi kemudian saya dapat memutuskan sikap saya secara cepat setelah saya membuat pertanyaan analogi berikut untuk diri saya sendiri.
Seandainya saya bertemu dengan seorang bule di tengah jalan yang sangat memerlukan bantuan saya, akankah saya berkata "Maaf, saya tidak mau membantu Anda, karena Anda bukan orang Indonesia" ? Tentu tidak. Kalau saya bisa membantu, kenapa tidak saya bantu? Kemudian saya sadari bahwa menolak membantu seseorang atau sekelompok orang, apalagi yang sangat memerlukan, dikarenakan etnisnya (dia beda suku atau negara dengan kita) ataupun agamanya, sebenarnya adalah sikap rasis. Logikanya, dan sudah seharusnya sebagai sesama manusia, kita membantu siapa saja, manakala kita tahu ada yang perlu bantuan dan kita pun mampu. Tidak ada yang minta dilahirkan dalam suku A, B, atau C. Analogi yang sama juga berlaku untuk mereka yang enggan membantu karena merasa bahwa diri mereka sedang berada dalam "kesulitan". Sengaja saya beri tanda kutip pada kata "kesulitan", karena itu adalah persepsi subyektif. Bagi saya seperti ini. Hidup itu adalah ujian. Sepanjang hidup, kita akan selalu menemui hal yang bernama kesulitan. Kalau kita selalu menjadikan kesulitan sebagai alasan, maka kapan kita mulai akan berguna bagi manusia lainnya? Barangkali bukan kesulitan yang menjadi alasan sebenarnya. Barangkali sebenarnya keegoisan kita. Saya sendiri tak henti-hentinya kagum kepada sekian banyaknya contoh yang sudah saya temui berupa orang-orang yang secara ekonomi berada dalam kesulitan, namun sangat ringan tangan dan rela berbagi apapun yang mereka miliki kepada sesama. Kehadiran orang-orang mulia seperti ini, insya Allah, yang akan selalu jadi pengingat bagi saya untuk tidak mudah menjadikan "kesulitan" sebagai halangan untuk membantu orang lain.
0 Comments
Leave a Reply. |
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|