Persatuan Indonesia itu mahal sekali harganya. Kenapa? Karena sebenarnya sepanjang sejarah Nusantara, adalah tidak lazim untuk punya wilayah seluas wilayah Indonesia saat ini. Seringnya, Indonesia itu terdiri dari kerajaan-kerajaan yang didirikan atas kesamaan suku. Misalnya Jawa, Sunda, dll. Ini yang terjadi di zaman Hindu-Buddha ataupun Islam. Sepanjang sejarah Nusantara, seluruh Nusantara itu hanya dipersatukan pada masa pemerintahan dua kerajaan. Pertama, yaitu pada abad ke-8 ketika Samaratungga, raja Mataram Kuno (kerajaan yang mendirikan Prambanan & Borobudur) menikah dengan dewi Tara, putri raja Sriwijaya. Ketika dua dinasti ini melebur jadi satu, wilayah pengaruh Indonesia di Barat sampai ke Madagaskar (sebagian nenek moyang orang Madagaskar berasal dari suku Barito di Kalimantan yang dibawa kesana oleh kapal-kapal dagang Sriwijaya. Baca penelitian Peter Bellwood et al.), di utara sampai ke Kamboja (baca pasasti Sdok Kok Thom di Kamboja yang menerangkan bahwa Kamboja pernah dijajah Jawa pada abad ke-8 dan putra mahkotanya ditawan di Jawa), Cina Selatan (lihat catatan dinasti Tang pada 767 M mengenai serbuan-serbuan orang Jawa ke teluk Tonkin) dan di timur sampai ke Filipina Selatan (baca prasasti plat tembaga Laguna dari 900 M di Manila Selatan yang menerangkan tentang pembebasan utang penguasa setempat ke penguasa lain yang wilayahnya ada di bawah kekuasaan Jawa). Kedua, yaitu pada abad ke-14 ketika Majapahit berkuasa. Patihnya Majapahit, yaitu Gajah Mada, berambisi mempersatukan seluruh Nusantara. Ini dilakukannya melalui penaklukan-penaklukan militer dan juga diplomasi ke kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara. Daftar daerah yang dipersatukannya, mulai dari Sumatera sampai Maluku, bisa dibaca di kakawin kuno Negarakretagama. Belum pernah ada catatannya dalam sejarah Nusantara, di mana Nusantara berhasil diduduki bangsa asing kecuali ketika masa Jepang dan Belanda. Sebagai contoh, ketika Kubilai Khan mencoba menyebrang ke Nusantara untuk menguasai Nusantara pada abad ke-13, serangan ini berhasil dipatahkan dengan siasat yang dilakukan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Tapi coba perhatikan, bila mana Indonesia berhasil dikuasai kekuatan asing dan dipecah belah? Pada masa Jepang dan Belanda, Nusantara berhasil dikuasai karena anak-anak negeri sendiri berhasil diadu domba oleh Belanda. Lalu kenapa aliansi Sriwijaya dan Mataram Kuno akhirnya pecah? Yaitu ketika pangeran Rakai Pikatan dan Balaputradewa saling berebut tahta. Dan bagaimana kerajaan Majapahit hancur? Awalnya ketika pangeran Wikramawarddhana dari keraton Barat berebut kekuasaan dengan pangeran Bhre Wirabhumi dari keraton Timur. Jadi kalau dilihat, polanya selalu sama: Indonesia tidak pernah bisa dikuasai kekuatan asing dari luar ketika putra-putra bangsanya bersatu. Bahkan ketika bersatu, kita bisa menguasai negeri-negeri lain. Tapi negeri kita selalu hancur lebur ketika putra-putra bangsanya mulai berebut kekuasaan. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kesatuan Indonesia seperti saat ini (7 abad setelah terakhir dipersatukan Majapahit pada abad ke-14), memang diperlukan upaya-upaya AKTIF dari semua elemen pembentuk bangsa. Apa bentuk upaya-upaya aktifnya? Berusaha saling mengenali, saling bersilaturahmi, saling bertoleransi, dan SALING MENAHAN DIRI. Itu harga yang harus dibayar untuk persatuan Indonesia. Robert D. Kaplan, pakar geopolitik, menerangkan dalam bukunya yang saya suka, "Revenge of Geography", bahwa setiap bangsa selalu punya kecenderungan bentuk politiknya sendiri sesuai bentang alam/geografi yang ditempatinya. Bila bentuk politik yang pas untuk Tiongkok dan Jepang adalah kesatuan (karena bangsa mereka masing-masing tinggal di satu daratan yang sama), maka kecenderungan bentuk politik negeri kepulauan seperti Indonesia sebetulnya adalah kerajaan-kerajaan pecahan (karena perlu usaha yang lebih besar bagi negeri kepulauan untuk mempersatukan visi seluruh penduduknya di pulau-pulau yang terpisah daripada negeri daratan). Kerajaan-kerajaan pecahan ini adalah harga yang harus kita bayar ketika kita tidak bisa bersatu. Resikonya? Ketika kita menjadi kerajaan-kerajaan pecahan, kita harus siap menerima peperangan yang mungkin terjadi antar kerajaan-kerajaan ini (seperti ditunjukkan sejarah kita) atau kemungkinan diduduki negara lain yang lebih kuat persatuannya (seperti Belanda yang mana adalah negeri daratan). Siapkah kita? Bila itu terjadi, maka mungkin kita harus menerima kondisi itu selama 6-7 abad lamanya, sebelum kita menemukan lagi musuh bersama yang mengharuskan kita bersatu (seperti kita terakhir menghadapi Belanda dan Jepang). Masa persatuan Nusantara di bawah Sriwijaya-Mataram Kuno (abad ke-8), Majapahit (abad ke-14), dan NKRI (abad ke-21) -masing-masing terpisah 6-7 abad lamanya. Mari kita jadikan renungan bersama. Sumber foto: Internet
0 Comments
Saya juga bisa sih ikut-ikutan posting politik yang mengunggulkan pihak saya dan menyerang pihak lawan. Tapi saya menahan diri. Sangat-sangat menahan diri. Kenapa?
1. Saya punya saudara dan teman-teman baik, baik dari pendukung 01 dan 02. Kalau gak ada kasus 01 vs 02 ini, mereka adalah orang-orang paling baik yang saya kenal. Saya gak rela hubungan saya dengan mereka rusak cuma karena saya ribut soal politik. 2. Saya melihat jumlah pendukung 01 dan 02 di tahun 2014 dan 2019 tidak banyak berubah signifikan. Itu artinya apa? Postingan-postingan di medsos selama ini yang membela pihak sendiri dan menyerang pihak lawan tidak terlalu efektif untuk merubah pikiran pihak lawan dan beralih ke pihak kita. Postingan-postingan semacam ini cuma memperkuat keyakinan pihak yang sudah sama dengan kita. Mungkin di titik inilah kampanye politik berubah jadi seperti mewartakan agama. Ketika kita terlalu banyak posting di medsos soal keunggulan agama kita dan terus menyerang agama lain, pihak lain akhirnya jadi sama sekali gak tertarik. Mau cara kampanye yang aktif? Sama juga seperti mewartakan agama. Jangan kebanyakan nongkrong di medsos. Terjun langsung ke masyarakat! Tunjukkan Anda dan paham yang Anda bela adalah yang baik/terbaik dengan memberikan sebanyak-banyaknya manfaat bagi manusia. Orang akan bisa merasakan. Kalau setiap orang berusaha membuktikan kebenaran/kebaikan apa yang diyakininya dengan cara ini, dunia akan jadi tempat yang lebih baik.
I haven't played any game continuously for a looong time, maybe like 12 years, since I always thought that playing game was just a waste of time compared to reading books or learning about things that interest me.
Well, that's until I knew of modern (strategy) board games sometime ago. Playing them face to face with your friends is sooo much fun! The hype is like when I first got introduced to Age of Empires, a PC game that was responsible for my interests in history and linguistics. The title "A History of God", in my opinion, befits more the book written by Reza Aslan than that by Karen Armstrong, since Aslan's explains extensively the evolution of human's perception of God since the primeval time to the modern age, not restricted to the Abrahamic religions. Aslan's, despite the writer himself being a Doctor in religious studies, however lacks the rigorous logical analysis expounded on Armstrong's. If these two books could be combined, they would be perfect.
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|