Hal menarik yang saya temukan setelah mempelajari linguistik (ilmu yang mempelajari struktur, proses munculnya, evolusi dan persebaran bahasa) sekian lama adalah bahwa berbagai partikel, awalan, ataupun akhiran yang sering kita temui pada suatu bahasa dan kita duga tidak memiliki arti ternyata dulunya berasal dari suatu kata utuh yang memiliki arti. Terkait ini, saya selalu penasaran tentang asal-usul berbagai imbuhan yang jumlahnya melimpah pada bahasa Melayu/Indonesia dan tidak banyak kita temukan pada bahasa lain, misalnya Inggris. Untuk mengetahui asal-usul imbuhan tersebut, saya berusaha mempelajari jurnal-jurnal hasil riset tentang bahasa Melayu ataupun Proto-Austronesia (bahasa nenek moyang seluruh suku di Indonesia bagian barat dan tengah, Madagaskar, Filipina, penduduk asli Taiwan, dan pulau-pulau Pasifik). Dari jurnal-jurnal yang saya pelajari sejauh ini, saya berhasil menemukan tentang asal-usul imbuhan "di-", "-i", dan kata ganti "-nya". A. Asal-Usul Awalan "di-" Awalan "di-" untuk membentuk kalimat pasif di bahasa Melayu/Indonesia baru ada pasca periode kerajaan Sriwijaya . Pada masa kerajaan Sriwijaya, awalan ini berbentuk "ni-". Lihat kata-kata berawalan "ni-" pada prasasti-prasasti peninggalan Sriwijaya: "nivunuh" (dibunuh), "nivuat" (dibuat), "nisuruh" (disuruh) dll. Pada masa sebelumnya lagi, yaitu saat nenek moyang orang Melayu masih berada di tanah yang diduga para ahli bahasa sebagai asal-muasalnya, yaitu Kalimantan bagian barat, dan menuturkan bahasa yang lebih tua dari bahasa Melayu periode Sriwijaya, awalan "ni-" aslinya bukanlah untuk membuat kalimat pasif. Awalan "ni-" merupakan kontraksi (kependekan) dari "niya" yang berarti "dia". Sebagai contoh: - "Aku nivunuh" = "Aku niya vunuh" (aku dia bunuh) - "Itu nivuat" = "Itu niya vuat" (itu dia buat) Ini bisa dibandingkan dengan awalan "ku-" yang merupakan kontraksi dari "aku" dan masih kita gunakan saat ini. Sebagai contoh: - Mangga itu kuambil - Buah itu kupetik Ketika migrasi para penutur awal Melayu ke Sumatra dan semenanjung Malaka, awalan "ni-" yang semula merupakan kontraksi dari "niya" berubah fungsi menjadi pembentuk kalimat pasif yang sebelumnya tidak ada. B. Asal-Usul Kata Ganti "-nya" Mari kita amati. Dalam bahasa Melayu/Indonesia: - Mobil + aku = Mobilku - Buku + kamu = Bukumu Tapi kenapa "baju" + "dia" = "bajunya"? Dari mana asal usul kata ganti "-nya"? Pada masa kerajaan Sriwijaya, kata "dia" belum ada. Yang ada adalah "niya", yang berarti "dia". Sehingga "baju" + "niya" = "bajunya". Pada masa akhir Sriwijaya, kata "dia" mulai muncul dan perlahan-lahan kata "niya" mulai tidak digunakan. Meski demikian, kata ganti "-nya" yang digunakan pada kata benda untuk menunjukan kepemilikan orang ketiga tetap digunakan masyarakat, tidak seperti kata "niya" yang berdiri sendiri. Inilah yang membuat kata ganti "-nya" tetap ada hingga saat ini. C. Asal-Usul Akhiran "-i" Bahasa Melayu/Indonesia mempunyai akhiran "-i" yang digunakan pada kata kerja, seperti misalnya "menulisi", "menggambari", "menduduki", "menggarami", dll. Penelitian linguistik menunjukan bahwa akhiran ini muncul pada saat bahasa Proto Austronesia mulai pecah menjadi bahasa Proto Malayo-Polynesia (nenek moyang semua bahasa turunan Austronesia, kecuali bahasa-bahasa Austronesia yang berada di Taiwan). Diketahui "-i" merupakan kontraksi dari kata depan "di" yang masih bisa ditemukan pada bahasa Melayu dan menunjukan lokasi. Sebagai contoh: - Saya menulisi buku = Saya menulis di/pada buku - Saya menggambari kertas kosong itu = Saya menggambar di/pada kertas kosong itu. - Dia menduduki kursi itu = Dia duduk di/pada kursi itu. - Menggarami laut tak ada gunanya = Memberi garam di/pada laut gak ada gunanya. Pada akhirnya akhiran "-i" memiliki fungsi untuk menunjukkan pekerjaan yang dilakukan dengan mengambil tempat di atas/pada suatu obyek. Sampai saat ini saya masih berusaha mencari asal-usul imbuhan-imbuhan lainnya. Saya yakin bahwa imbuhan-imbuhan tersebut juga pasti memiliki asal-usul yang serupa. Sebagai contoh, kini saya telah mengetahui melalui banyak penelitian bahwa awalan "me-" ternyata baru muncul pasca periode Sriwijaya. Pada era Sriwijaya, awalan ini berbentuk "mar-" sebagaimana pada sebagian bahasa-bahasa suku Batak. Seiring waktu, berbagai penelitian linguistik juga telah menunjukkan bahwa banyak imbuhan yang memiliki fungsi tertentu yang akhirnya punah. Pencarian asal-usul suatu elemen/bagian pada suatu bahasa seperti imbuhan ini bukan merupakan hal yang mudah bagi para ahli bahasa. Mereka harus mempelajari satu persatu bukti yang tertulis hingga ribuan tahun ke belakang sampai ke bahasa nenek moyang pertama suatu kelompok penutur bahasa untuk menelusuri perubahan bunyi ataupun fungsi elemen yang menjadi obyek penelitian mereka. Pada kasus Austronesia, sebagai contoh, bahasa nenek moyang Austronesia berada dan digunakan pada kisaran 6000-4000 SM. Ketika bukti tertulis tersebut tidak bisa lagi ditemukan, karena misalnya pada saat tersebut belum ada tulisan (peridoe Pra-Sejarah), maka para ahli bahasa harus terlebih dahulu merekonstruksi tata bahasa dan kosakata dari bahasa periode tersebut dengan meneliti unsur-unsur tata bahasa dan kosakata bahasa nenek moyang yang terserap di seluruh ataupun sebagian bahasa-bahasa turunannya. Untuk rujukan lebih lanjut terkait sejarah evolusi imbuhan ini, saya menyarankan literatur berikut: - "The Austronesian Languages of Asia and Madagascar" oleh Adelaar, K. Alexander dan Himmelmann, Nikolaus, 865 halaman. - "The Austronesian: Historical and Comparative Perspectives" oleh Bellwood, Peter dan J.Fox, James, 367 halaman - "Some Notes on The Origin of Malay -di" oleh Van den Berg, René, 23 halaman
0 Comments
Setelah saya baca terus menerus selama 2 bulan, alhamdulillah akhirnya buku ini selesai saya baca.
Buku ini adalah buku yang sangat bagus dalam membahas tentang Kekristenan periode awal. Pembahasan dimulai dari misi 12 murid Yesus, komunitas-komunitas awal Kristen yang terbentuk, kepercayaan-kepercayaan dan Injil-injil yang diyakini oleh komunitas-komunitas tersebut, figur-figur awal gereja yang penting dan ajaran-ajarannya, perseteruan-perseteruan yang terjadi antar komunitas maupun figur gereja, hingga konsili-konsili yang diadakan sebagai upaya untuk meredam perseteruan-perseteruan tersebut. Ketika saya membaca buku-buku tentang sejarah Kekristenan selama ini, biasanya periode awal Kekristenan hanya dibahas secara sekilas. Padahal, semakin lama saya semakin memahami bahwa periode tersebut adalah periode yang sangat penting. Buku ini mampu membahas periode tersebut dengan kedalaman yang cukup dan bahasa yang mengalir tanpa terkesan terlalu akademis, monoton, ataupun jelimet. * Jumlah halaman: +/- 380 * Bisa diimpor lewat Bookdepository.com ataupun Amazon.com * Harga: +/- Rp.300 ribu (untuk Amazon tidak termasuk ongkos impor) Setelah pernah membahas tentang Tantra Hindu, yaitu perihal transformasi ajaran "Mo Limo" dari aliran ini ke masyarakat Islam periode awal di Jawa, kali ini saya tertarik untuk membahas tentang Tantra Buddha, khususnya tentang fenomena Sokushinbutsu di Jepang sebelum era Restorasi Meiji.
Fenomena ini sendiri pertama kali saya ketahui di awal-awal masa kuliah dari sebuah DVD National Geographic yang membahas tentang praktek ini dan saya beli ketika saya pertama kali mulai mempelajari Buddhisme. Belakangan, saya menemukan lagi dan membeli buku tentang Sokushinbutsu -Satu-satunya yang tersedia dalam bahasa Inggris dan membuat saya tertarik untuk membahas tentang fenomena ini. A. Tentang Sokushinbutsu Dalam bahasa Indonesia, Sokushinbutsu kurang lebih berarti "Buddha yang hidup". Dalam realita, kata ini merujuk kepada bhiksu-bhiksu sepanjang sejarah Jepang yang menjadikan diri mereka sendiri sebagai mumi setelah melakukan ritual-ritual yang menyakitkan selama bertahun-tahun lamanya sebelum praktek ini akhirnya dilarang oleh pemerintahan Meiji pada 1877. Perihal Sokushinbutsu ini sendiri pada awalnya sedikit diketahui oleh masyarakat Jepang sampai pada 1960 sekelompok peneliti Jepang dari Universitas Niigata membentuk "Mummy Research Group" untuk meneliti dan mencari tahu tentang kebenaran cerita masyarakat tentang adanya bhiksu-bhiksu jaman dahulu yang menjadikan diri mereka sendiri sebagai mumi dan dipuja di kuil-kuil lokal. Setelah diadakan penelitian beberapa waktu lamanya, akhirnya diketahui bahwa ada 21 mumi di pelosok-pelosok Jepang yang disimpan dalam kuil kuno dan dipuja oleh penduduk setempat. Jumlah ini diduga dulunya lebih besar, karena ada beberapa mumi yang musnah ketika kuil yang menaungi mereka mengalami kebakaran. Delapan dari mumi yang ada berada di prefektur Yamagata dimana 3 gunung suci yang disebut warga lokal sebagai Dewa Sanzan berada. Yang lainnya berada di prefektur-prefektur lain. Sebagian besar mumi tersebut dulunya adalah bhiksu, sementara sebagian kecil adalah penguasa-penguasa lokal yang meminta diabadikan sebagai mumi setelah mereka meninggal. B. Tentang Shugendo dan Tujuan Sokushinbutsu Para bhiksu yang menjadikan diri mereka sebagai mumi mengikuti Shugendo, yaitu sebuah kepercayaan hasil akulturasi Shinto dan Buddhisme sekte tantra Shingon dengan kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci. Dalam sejarah Jepang, Shugendo memiliki jumlah pengikut yang terbatas. Kepercayaan ini dicirikan oleh para penganutnya yang tinggal di gunung dan melakukan ritual-ritual fisik yang keras untuk menyucikan diri dan mencapai pencerahan -sebuah ciri yang bisa dikaitkan dengan aliran Tantra yang meyakini bahwa pencerahan dapat diraih dalam kehidupan saat ini melalui ritual-ritual fisik tertentu. Ritual-ritual yang dilakukan para pengikut Shugendo diantaranya seperti berpuasa terus-menerus, bermeditasi di bawah air terjun yang dingin selama musim salju, turun naik gunung untuk bermeditasi di puncak gunung selama beberapa kali dalam sehari, dan memutilasi anggota tubuh sendiri. Puncak dari ritual-ritual tersebut adalah memumifikasi diri sendiri melalui sebuah proses yang menyakitkan, dimana ritual ini hanya dilakukan oleh mereka yang benar-benar bertekad kuat. Oleh masyarakat, para pelaku Shugendo dipandang sebagai orang suci dan sering dimintai pertolongannya karena dianggap memiliki kesaktian. Kesaktian yang seringkali dikaitkan dengan para pengikut Shugendo sendiri adalah kemampuan mereka untuk menyembuhkan penyakit atau menghentikan bencana alam yang sedang terjadi secara supranatural. Sejarah masyarakat lokal mencatat bahwa tokoh-tokoh yang telah menjadi Sokushinbutsu saat ini, seperti Tetsumonkai, Tetsuryukai, ataupun Honmyokai, dulu semasa hidupnya adalah bhiksu-bhiksu yang dikenal membaktikan hidupnya untuk masyarakat dan tidak segan berkorban untuk masyarakat. Tujuan dari bhiksu-bhiksu tersebut sendiri pada akhirnya melakukan ritual-ritual keras Shugendo selain untuk mempertajam pikiran dan spiritualitas mereka di tengah siksaan-siksaan fisik yang menimpa, adalah untuk membuat agar doa-doa mereka terkait keadaan masyarakat sekitar semakin didengar. Siksaan-siksaan yang mereka alami diyakini akan dapat menunjukkan kesungguhan mereka dalam berdoa. Sebagai contoh, bhiksu Tetsumonkai tercatat pernah mencongkel salah satu matanya sendiri dan menghanyutkannya di sungai Sumida agar permohonannya supaya masyarakat desa yang ditemuinya terbebas dari penyakit buta mata terkabul, setelah sebelumnya upaya pengobatan yang dilakukannya terhadap setiap warga desa tidak berhasil. Puncak dari siksaan-siksaan tersebut sendiri tak lain adalah memumifikasi diri mereka sendiri, dimana dengan menjadi mumi mereka meyakini bahwa mereka akan dapat pergi ke surga Tusita dan melindungi masyarakat bersama-sama Buddha Maitreya yang berada di sana. Ketika nanti Buddha Maitreya turun ke dunia saat dunia dilanda kekacauan, jasad mereka yang masih berada di Bumi akan memungkinkan mereka membantu Maitreya dalam menolong masyarakat. C. Tata Cara Ritual Sokushinbutsu Ketika seorang bhiksu telah memutuskan untuk menjadi Sokushinbutsu, maka ia harus menjalani 3 tahap ritual yang masing-masing lamanya adalah 1.000 hari. Pada tahap pertama, seorang bhiksu harus menghindari makan 5 macam sereal, termasuk gandum dan nasi. Ia hanya diperbolehkan makan kacang-kacangan dan buah beri yang ada di dalam hutan, sambil tetap harus melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang berat, seperti naik turun gunung berkali-kali dalam sehari ataupun bermeditasi di bawah air terjun, selama 1.000 hari. Dalam tahap pertama ini berat tubuh bhiksu akan berkurang dalam jumlah besar secara perlahan-lahan dan catatan di sekitar kuil-kuil tempat para Sokushinbutsu ditemukan menunjukkan bahwa banyak bhiksu yang akhirnya meninggal di tahap ini karena keadaan tubuh yang kian melemah di tengah-tengah ritual-ritual fisik yang keras. Pada tahap kedua yang juga berlangsung 1.000 hari, jumlah makanan yang boleh dimakan bhiksu kian dibatasi. Ia hanya diperbolehkan makan kulit pohon dan daun pohon pinus sambil tetap harus melakukan ritual-ritual fisik yang berat. Tahap ini akan membuat seorang bhiksu kehilangan kandungan air di tubuhnya dalam jumlah besar dan di akhir tahap ini tubuh sang bhiksu akan menjadi kurus kering seperti tulang berbalut kulit. Tahap ketiga merupakan tahap persiapan mendekati saat-saat puncak ritual. Pada tahap ini, setiap hari bhiksu diharuskan meminum getah pohon Urushi. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, getah ini digunakan sebagai cat pernis untuk melapisi berbagai perabot kayu agar tahan rayap. Ketika seorang bhiksu meminum getah tersebut, ia akan muntah-muntah hebat karena reaksi tubuhnya yang menolak getah tersebut. Ini akan membuat sang bhiksu semakin kehilangan cairan tubuhnya. Selain itu, pada tahap ini bila sang bhiksu tinggal di prefektur Yamagata, maka ia dianjurkan minum setiap harinya dari mata air suci Yudono, salah satu gunung Dewa Sanzan. Penelitian modern mengungkapkan bahwa mata air ini ternyata mengandung arsenik dalam jumlah besar. Ketika sang bhiksu telah merasa bahwa ajal sudah mendekat, maka ia pun melakukan ritual puncak, yaitu dimasukkan ke dalam kotak kayu kecil yang kemudian dikubur di dalam tanah dan ditindih oleh berlapis-lapis batu besar agar tidak bisa dibuka dari luar. Di dalam kotak kecil yang hanya muat untuk duduk tersebut, sang bhiksu akan terus menerus bermeditasi tanpa makan dan minum. Ada sebuah batang bambu dari dalam kotak menuju keluar yang menjadi jalur masuk udara satu-satunya. Setiap pagi, sang bhiksu akan membunyikan lonceng kecil yang ia bawa sebagai tanda ke dunia luar bahwa ia masih hidup. Ketika orang-orang di luar sudah tidak lagi mendengar bunyi lonceng, maka batang bambu akan dicabut dan kotak bhiksu akan benar-benar disegel. Kotak tersebut tidak boleh dibuka selama 3 tahun. Setelah waktu tersebut berlalu, orang-orang di luar akan menggali lagi kotak tersebut dan melihat jasad sang bhiksu. Bila tidak ditemukan tanda-tanda pembusukan, maka ia dianggap telah berhasil menjadi orang suci. Jasadnya akan dikeluarkan dan diberi perlakuan lebih lanjut, seperti diasapi, dilapis dengan cat pernis, dan diberikan jubah baru, sebelum akhirnya ditempatkan di dalam kuil. Bila terjadi pembusukan, maka jasad dan kotak meditasi bhiksu tersebut akan kembali dikuburkan dan sang bhiksu akan dihargai untuk usahanya untuk mencapai Sokushinbutsu. Di dalam kuil, sang Sokushinbutsu akan menjadi obyek pemujaan masyarakat sekitar. Setiap beberapa tahun sekali, jubahnya akan diganti dan jubah yang lama akan dipotong kecil-kecil dan dijual sebagai jimat kepada masyarakat sekitar. D. Akhir Sokushinbutsu Semenjak era Restorasi Meiji, praktek Sokushinbutsu resmi dilarang karena dianggap sebagai praktek bunuh diri. Mereka yang kedapatan melakukannya atau membantu prosesnya akan dipenjara. Ketika peraturan ini diberlakukan, seorang bhiksu yang bergelar Tetsuryukai telah terlanjur berada di fase terakhir ritual Sokushinbutsu. Akhirnya ia tetap dikuburkan dan jasadnya yang berhasil termumifikasi secara baik dikeluarkan diam-diam oleh para muridnya di malam hari 3 tahun kemudian. Untuk menghindari hukuman, catatan tanggal kematian Tetsuryukai di dalam kuil diubah dari 1878 ke 1862, 15 tahun sebelum larangan pemerintah diberlakukan. Peristiwa hampir serupa menimpa Bukkai, seorang bhiksu yang justru nekad menjalani ritual Sokushibutsu pada 1903 setelah peraturan diberlakukan. Karena ketahuan oleh pemerintah, kotak meditasi Bukkai dilarang digali kembali dan dibuka. Kotak tersebut baru diperbolehkan diangkat setelah tim peneliti modern mengajukan ijin ke pemerintah di periode 1960-an. Kini para Sokushinbutsu tersebut dapat ditemui di kuil-kuil kuno yang berada di prefektur Yamagata, Niigata, Iwate, Fukushima, Ibaraki, Nagano dan Gifu. Kuil-kuil tersebut diziarahi oleh masyarakat Jepang yang mengetahui tentang keberadaan para Sokushinbutsu tersebut. Meskipun ritualnya sudah tidak lagi ada, para Sokushinbutsu ini akan selalu dapat menjadi pengingat tentang kesungguhan hati dan perjuangan, dalam cara mereka sendiri, yang rela ditempuh manusia untuk membantu sesamanya. Referensi: - DVD National Geographic "Mummies That Made Themselves", sekarang bisa ditonton di https://youtu.be/LKkVo02LD2A - Buku "Living Buddhas: The Self Mummified Monks of Yamagata, Japan" oleh Ken Jeremiah. Bisa diimpor via Book Depository seharga Rp.500.000 atau dibaca di Google Read seharga Rp.100.000. Berbeda dari biasanya, tulisan berikut bukan merupakan tulisan saya, namun merupakan tulisan Bpk. Awang Satyana. Saya post di sini karena menurut saya banyak yang bisa dipelajari dari tulisan ini.
Dari mana nenek moyang Indonesia berasal, dari dalam atau luar Indonesia (?), dan bila dari luar bagaimana mereka bermigrasi ke Indonesia? Saya akan menghadirkan hasil-hasil penelitian mutakhir beberapa bidang menyangkut pertanyaan ini, meliputi: geologi, arkeologi, paleoantropologi, linguistik, dan genetika molekuler. Saya harus melacaknya cukup jauh, sehingga tulisan ini cukup panjang, dan tak ada jawaban yang segera serta mudah. Jawaban saya ada di akhir tulisan ini, itu bukan jawaban final, tetapi itu jawaban mutakhir berdasarkan berbagai penelitian terbaru dalam bidang-bidang di atas.Teman-teman bisa hanya membaca jawaban saya itu, tetapi tak akan mendapatkan pengetahuan dan argumentasinya tanpa membaca semua tulisan ini dengan tenang. Semoga bermanfaat. Tiga peta saya tampilkan sebagai pelengkap tulisan ini, peta-peta yang cukup representatif. 1. PENDAHULUAN Ketika saya menulis soal Paparan Sunda pada 30 Desember 2014 yang lalu, seorang teman menanyakan tentang nenek moyang orang Indonesia, apakah mereka betul dari Indochina atau mereka itu manusia Sangiran. Indochina dalam hal ini atau mungkin Yunan, Cina Selatan (yang lebih terkenal) dan manusia Sangiran saya ganti sebagai hominid “Java Man” (Homo erectus Sangiran). Bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan, Cina Selatan yang bermigrasi ke Indonesia dalam dua gelombang, Proto-Melayu (pada 3000-500 SM) dan Deutero-Melayu (setelah 500 SM), diajarkan di sekolah baik kepada saya saat saya kelas 5 SD empat puluh tahun yang lalu (1975), maupun kepada anak bungsu saya saat dia kelas 1 SMA dua tahun yang lalu (2012). Saya masih ingat diajarkan bahwa gelombang Proto-Melayu itu kini menyisakan orang-orang Indonesia yang tinggal di pedalaman seperti suku Kubu di pedalaman Sumatra, Dayak di pedalaman Kalimantan, dan Toraja di pegunungan Sulawesi Selatan, mereka terdesak ke pedalaman oleh gelombang migrasi Deutero-Melayu yang kini keturunannya banyak menghuni pantai-pantai Indonesia (Barat). Kalau saya menjawab secara cepat dan sederhana serta mengandalkan ingatan saya empat puluh tahun yang lalu saya akan menjawab, betul nenek moyang orang Indonesia itu dari Indochina atau Yunan, Cina Selatan, bukan dari manusia Sangiran. Tetapi sebenarnya masalahnya tidak sesederhana dan sefinal seperti yang diajarkan di sekolah SD-SMA. Masalah sebenarnya adalah kompleks, penuh perdebatan, dan belum final. Mari kita lihat. 2. OUT OF AFRICA VS. MULTIREGIONAL Jawaban atas pertanyaan ini adalah sebuah “pertempuran” yang sudah berlangsung puluhan tahun antara model evolusi dan migrasi manusia modern “Out of Africa” versus “Multiregional”. Bila nenek moyang orang Indonesia berasal dari Indochina yang bermigrasi ke Indonesia itu artinya berdasarkan jalur evolusi dan migrasi Out of Africa. Bila nenek moyang orang Indonesia adalah manusia purba Homo erectus Sangiran lalu berevolusi sampai akhirnya menurunkan manusia modern Indonesia itu artinya berdasarkan jalur evolusi Multiregional. Kemunculan manusia modern (Homo sapiens) dengan morfologi yang persis sama dengan manusia sekarang disepakati terjadi antara 150.000-100.000 tahun yang lalu. Artinya, sejak 100.000 tahun yang lalu proses evolusi manusia telah mencapai kesempurnaan sebagai manusia modern. Dari 100.000 tahun yang lalu sampai saat ini tidak ada perubahan signifikan morfologi dan dimensi Homo sapiens. Tetapi menjadi persoalan bagaimana hubungan Homo sapiens ini dengan Homo erectus. Apakah Homo erectus itu berevolusi jadi Homo sapiens? Homo erectus ditemukan di Afrika Timur (Ethiopia dan Tanzania), Eropa (Prancis, Spanyol, Jerman), Asia (India, Cina dan Indonesia). Apakah Homo erectus di wilayah-wilayah itu masing-masing menunurunkan Homo sapiens-nya? Kalau saya terapkan di Indonesia, apakah Java Man (Homo erectus Sangiran) menurunkan manusia Jawa modern sekarang? Untuk diketahui bahwa di Afrika sendiri sebelum Homo erectus ada Homo habilis, dan sebelumnya lagi ada Australopithecus yang keduanya tak ditemukan di wilayah-wilayah di luar Afrika, meskipun beberapa ahli mengklaim bahwa mereka menemukan Australopithecus di Cina atau Indonesia. Maka para ahli menganggap bahwa Afrika adalah sumber evolusi hominid yang lengkap. Diyakini bahwa Homo erectus yang ditemukan di luar Afrika itu semuanya merupakan spesies migran dari Afrika - Out of Africa. Tetapi para Multiregionalis menganggap bahwa Homo erectus yang ada di Cina dan Indonesia bukan dari Afrika. Dan perdebatan ini berlanjut ke manusia modern (Homo sapiens). Para pembela Out of Africa menganggap bahwa semua manusia modern sekarang berasal dari Afrika, sementara para Multiregionalis menganggap bahwa manusia modern diturunkan dari Homo erectus di tempat masing-masing (Homo erectus Cina menurunkan manusia modern Cina, Homo erectus Indonesia menurunkan manusia modern Indonesia). MODEL EVOLUSI MULTIREGIONAL menyatakan bahwa Homo erectus di setiap wilayah itu menurunkan Homo sapiens-nya masing-masing melalui proses evolusi yang gradual dan menerus. Dalam model ini Homo erectus Sangiran berarti menurunkan Homo sapiens modern (manusia Jawa sekarang). MODEL EVOLUSI OUT OF AFRICA menyatakan bahwa Homo sapiens berasal dari Afrika, yang bermigrasi ke berbagai wilayah, di wilayah baru mereka berkembang dan menggantikan populasi purba di wilayah itu. Model ini disebut juga Replacement Model sebab evolusi lokal mengalami kebuntuan lalu punah, dan tingkat selanjutnya diisi/diganti oleh spesies migran. Dalam model ini Homo erectus Sangiran punah, tak mengalami evolusi lanjut, dan manusia Jawa sekarang berasal dari populasi migran dari tempat lain yaitu dari Cina Selatan, yang sebelumnya datang dari Afrika juga. 3. DARI HOMO ERECTUS KE HOMO SAPIENS Afrika Timur (Tanzania, Kenya, Ethiopia) secara signifikan memiliki seri hominid yang paling lengkap di dunia dan paling tua yang menunjukkan evolusi yang koheren dari Australopithecus afarensis yang hidup pada 4 juta tahun yang lalu (juta tyl.) ke Homo habilis, lalu sampai Home erectus yang mulai muncul pada 1,8 juta tahun yang lalu, dan hominid ini berlanjut evolusinya menjadi bentuk cikal bakal Homo sapiens 0,4 juta tahun yang lalu sampai menjadi bentuk Homo sapiens modern seperti sekarang 0,1 juta tyl. Homo erectus dan Homo sapiens Afrika ini, berdasarkan penelitian, melakukan migrasi keluar dari Afrika (Out of Africa) dan menghuni sebagian Eropa, Cina, Indonesia dan Australia. Sebagian besar ahli sepakat bahwa Homo erectus di luar Afrika (termasuk Indonesia) adalah migran dari Afrika. Homo erectus pertama yang datang di Jawa (Homo erectus arkaik, Homo erectus paleojavanicus, dulu disebut Meganthropus paleojavanicus) umurnya 1,6 juta tahun yang lalu (Zaim, 2006 - S. Sartono : Dari Hominid ke Delapsi dengan Kontroversi, Penerbit ITB, Bandung, h. 73-86), dan kebanyakan Homo erectus di Jawa berumur 1,0-0,5 juta tyl. (Homo erectus tipikal – Homo erectus erectus) bersamaan dengan terbukanya koridor yang luas di Paparan Sunda. Umur Homo erectus Jawa (Java Man) ini sesuai dengan teori Out of Africa sebab Homo erectus di Afrika muncul pertama kali pada 1,8 juta tyl. Namun sebuah sampel atap tengkorak bocah dari Perning, Mojokerto yang diidentifikasi sebagai Homo erectus menggegerkan dunia paleoantropologi karena menghasilkan umur 1,9 ± 0,4 juta tyl (Jacob and Curtis, 1971 – Contribution to the University of California Arcahaeological Research Facilites, 12, p.50), dan ketika ditera lagi umurnya menghasilkan 1,81 juta tyl (Swisher III et al., 1994 – Science 25 Feb. p. 1118-1121). Namun sampai sekarang peneraan umur atas batuapung yang menempel di atap tengkorak bocah ini baik dengan menggunakan metode K-Ar (Jacob and Curtis, 1971) atau metode Ar-Ar (Swisher III et al., 1994) diragukan kalangan ahli. Yang lebih sering diperdebatkan adalah hubungan antara Homo sapiens di luar Afrika dengan Homo erectus yang ada di tempat itu. Di sinilah terjadi perdebatan hebat antara pendukung model Multiregional dan Out of Africa. Para paleoantropolog Cina umumnya menganut Multiregional sebab mereka merasa menemuka arus evolusi menerus dari Homo erectus Cina ke Homo sapiens Cina. Dari situs terkenal Zhoukoudian yang telah memberika sisa-sisa Homo erectus pekinensis di Cina, di bagian atas situs ini yaitu di Upper Cave 1,2,3 telah ditemukan pula paling tidak delapan individu manusia modern yang menurut pertanggalan karbon-14 berumur 18.340-10.470 tahun yl. (Wu and Wang, 1985 –Palaeoanthropology and Palaeolithic Archaeology in the People’s Republic of Cina, p. 91-106). Kelompok temuan manusia ini sangat mencirikan manusia modern, yang merupakan milik populasi Mongolid primitif (Wu, 1959 – Palaeovertebrata e Palaeoanthropologia, 2, p. 141-149) dan merupakan cikal-bakal populasi aktual Cina sekarang. Bagaimana di Indonesia? 4. HOMO ERECTUS JAWA TAK MENURUNKAN ORANG JAWA Terdapat dua tingkatan pokok evolusi Homo sapiens, yaitu Homo sapiens arkaik yang hidup sejak kemunculannnya (0,4 atau 0,3 juta tyl) sampai 0,15 juta tyl dan Homo sapiens anatomi modern dari 0,15 juta tyl sampai sekarang. Homo sapiens arkaik masih menunjukkan banyak ciri plesiomorfis (bentuk kekunaan) Homo erectus, maka Homo sapiens anatomi modern sudah menyerupai manusia sekarang. Homo sapiens arkaik hanya ditemukan di Afrika, Eropa dan Timur Tengah. Homo sapiens pertama yang datang ke Indonesia adalah Homo sapiens anatomi modern yang awal (early modern human) dan Homo sapiens anatomi modern yang lebih kemudian (later modern human) – (Widianto, 2012 – Manusia Modern Awal , Indonesia dalam Arus Sejarah, Prasejarah, h. 146-163 ). Kemunculan manusia modern awal dan yang lebih kemudian ini erat berkaitan dengan fluktuasi muka laut kala itu. Penurunan muka laut pada Zaman Es memungkinkan terbentuknya daratan yang menghubungkan Asia kontinental dengan Indonesia. Pada saat terbentuk daratan itulah Homo sapiens modern awal bermigrasi dari Asia ke Kepulauan Indonesia. Lalu pada akhir Zaman Es ketika daratan digenangi air laut terjadilah migrasi Homo sapiens modern yang lebih kemudian sebab mereka merupakan bangsa yang mahir berperahu dan membaca bintang-bintang di langit sebagai peta navigasi mereka. Inilah dominan bangsa nenek moyang orang Indonesia sekarang. Widianto (2012) menulis bahwa berdasarkan bukti-bukti penemuan sejauh ini, manusia modern awal di Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak telah hadir sejak 45.000 tahun yl. (45.000 tahun yl adalah pertanggalan tertua sisa artefak manusia modern dari Song Terus, Pacitan). Dalam perkembangannya, sejak kehadirannya hingga sekarang, manusia modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap. (1) Diawali dengan kehidupan manusia modern awal sejak kehadirannya sampai akhir Zaman Es (sekitar 11.800 tahun yl). (2) Kemudian dilanjutkan oleh kehidupan manusia modern yang lebih kemudian – yang berdasarkan karakter fisiknya dikenal sebagai ras Australomelanesid. (3) Selanjutnya, mulai sekitar 4000 tahun lalu muncul penghuni baru di Indonesia yang dikenal sebagai penutur Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, manusia ini tergolong dalam ras Mongolid. Ras inilah yang kemudian berkembang hingga menjadi bangsa Indonesia sekarang. Dengan kata lain, kalau mengikuti uraian di atas nenek moyang bangsa Indonesia yang dominan adalah Ras Mongolid yang termasuk ke dalam kelompok penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi ke Indonesia pada 4000 tahun yl (tahun 2000 SM). Apakah tidak ada kemungkinan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia hominid Sangiran? Perjalanan manusia modern ke Asia Timur dan Asia Tenggara –bahkan ke Australia – tampaknya menunjukkan perbedaan dengan Afrika dan Eropa. Terdapat bukti-bukti adanya evolusi lokal di daerah timur tersebut, seperti yang diduga oleh para penganut paham teori multiregional – sejak awal kala Pleistosen hingga akhir kala Pleistosen – sebagaimana yang terekam pada temuan-temuan di Cina dan Indonesia. Di kedua daerah ini Homo erectus sangat kuat eksistensinya hingga paling tidak mencapai periode 300.000 tahun yl, sementara fosil-fosil Homo sapiens dari Xujiayao dan Liujiang yang berumur sekitar 70.000 tahun lalu kemudian memberikan keturunannya seperti yang ditemukan pada situs Zhoukoudian Upper Cave 1,2,3. Bersama-sama dengan temuan dari Minatogawa (Pulau Okinawa, Jepang) yang berumur sekitar 20.000 tahun fosil-fosil dari bagian selatan Cina tersebut dianggap sebagai leluhur populasi Mongolid selatan (Belwood, 1997 – Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, p. 83). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa daerah Cina dan sekitarnya merupakan pusat masyarakat Mongolid yang kemudian tumbuh dan berkembang secara pesat pada kala Holosen. Dalam hal ini, tengkorak Liujiang sangatlah menarik sebab dikatakan oleh Coon (1962 – The Origin of Races, p. 469) sebagai Mongolid yang menunjukkan beberapa ciri Australomelanesid. Situasi ini merupakan bukti tentang eksistensi arus genetik di Asia Tenggara, suatu daerah yang oleh para ahli telah diprediksi sebagai daerah yang tidak memiliki hambatan aliran genetik pada akhir kala Pleistosen. NAMUN di pihak lain, kelangsungan evolusi dari Homo erectus ke Homo sapiens di Indonesia tidak sejalan dengan di Cina karena sejak H. erectus terakhir (Ngandong, Sambungmacan, dan Ngawi, 200.000-100.000 tahun yl – Widianto, 2012) sampai H. sapiens pertama (manusia Wajak, 40.000-5000 tahun yl. – Koenigswald, 1954 – Proceedings of the Koninklijke Nederlandsche Akademie van Wetenschappen, 5, p. 455-457) menunjukkan kesenjangan morfologis yang sangat signifikan. Kedua jenis fosil manusia tersebut sangat berlainan sehingga tidak dapat dilihat sama sekali pertalian evolutif antara Homo erectus terakhir dan H. sapiens pertama di Indonesia (Widianto, 2012). Pada waktu kemunculan Homo sapiens pertama di Jawa, Homo erectus yang telah menghuni Jawa paling tidak sejuta tahun sebelumnya agaknya sudah punah. Bagaimana proses kepunahan Homo erectus dan kemunculan Homo sapiens belum dapat dijelaskan secara memuaskan. Ada yang menghubungkan kepunahan Homo erectus dengan ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Dikatakan bahwa di antara 126.000-81.000 tahun yang lalu iklim di Jawa menjadi panas dan lembab sehingga menyebabkan perubahan lingkungan dari yang sebelumnya padang sabana menjadi hutan hujan tropis. Pada lingkungan yang baru ini Homo erectus diduga kurang mampu mengeksploitasi sumberdaya yang lebih tersedia di pepohonan (arboreal) dan yang perolehannya juga menuntut kegiatan di malam hari (nokturnal) (Storm, 2001 – Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 171, p. 363-383). 5. PROBLEMATIKA MANUSIA WAJAK Bila benar bahwa hubungan evolutif antara Homo erectus terakhir dan Homo sapiens pertama di Jawa yang dianggap manusia Wajak itu putus akibat punahnya Homo erectus tersebut, maka nenek moyang bangsa Indonesia tidak mungkin diturunkan dari Homo erectus Sangiran. Lalu apakah yang menurunkan manusia Indonesia sekarang adalah manusia Wajak? Dengan kata lain apakah manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan nenek moyang bangsa Indonesia? Manusia Wajak, pertanggalannya, sesungguhnya problematik. Berdasarkan aspek-aspek stratigrafi, Koenigswald (1954) memberikan pertanggalan yang sangat lebar kisarannya, yaitu antara 40.000-5000 tahun yl. Hal ini berarti bahwa manusia Wajak dapat merupakan manusia yang hidup di akhir Pleistosen, atau bahkan merupakan bagian manusia awal Holosen. Analisis pertanggalan yang lebih baru menempatkan umur manusia Wajak dalam periode Holosen, berdasarkan kandungan uranium (Jacob, 1967, pertanggalan pada fragmen tulang paha yang ditemukan 6560 ± 140 tahu yl (Storm and Nelson, 1992 – The Many Faces of Wajak Man, p. 43, dan 10.560 ± 75 tahun yl pada kumpulan fauna dari Gua Wajak). Menurut Dubois, manusia Wajak merupakan proto-Australoid (Dubois, 1921 - Koninklijke Nederlandsche Akademie van Wetenschappen te Amsterdam, 29, p. 88-105), sementara Jacob (1977 – Berkala Ilmu Kedokteran, IX, 4, h. 117) menyatakan bahwa manusia Wajak merupakan perpaduan antara Australomelanesid dan Mongolid. Ketika membandingkan manusia Wajak dengan spesimen dari Australia, Weidenreich menemukan banyak kesamaan antara keduanya (Weidenrich, 1945 – American Journal of Physical Anthropology, 3, p. 21-33), terutama pada ukuran, proporsi, lebar muka, dan juga aspek muka yang rata. Hal-hal di atas telah membuat manusia Wajak punya berbagai kemungkinan: nenek moyang Australoid, nenek moyang proto-Melayu dan Australomelanesid. Setelah berevolusi daru nenek moyang Wajak, para proto-Melayu baru terpengaruh dengan arus genetik Mongolid, sementara para Australomelanesid kemudian menyebar ke beberapa daerah geografis yang berbeda (Widianto, 2012). Meskipun demikian argumen ini tidak dominan, yang dominan adalah berdasarkan linguistik dan biologi molekuler bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari sekumpulan populasi Austronesia. 6. PARA PENGHUNI NUSANTARA: RAS AUSTRALOMELANESID Sejak berakhirnya Zaman Es, atau sejak awal Holosen, penghunian Nusantara memperlihatkan perkembangan yang cukup signifikan, seperti terlihat pada penemuan sisa manusia yang menempati sebaran geografis yang lebih luas di berbagai bagian Nusantara. Manusia yang hidup pada kala tersebut merupakan evolusi dari manusia modern awal, dan migrasi dari tempat lain. Ini adalah periode antara 11.800-4000 tahun yl. Data mengenai sisa-sisa manusia pada periode ini sebagian besar ditemukan dari situs-situs gua hunian prasejarah. Dari penemuan-penemuan tersebut dapat diketahui manusia modern ini secara fisik mencirikan ras Australomelanesid (Song Keplek, Gua Braholo – Pacitan; Gua Babi, Gua Tengkorak –Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan; Sulawesi; Flores; Sumatra). Di beberapa tempat seperti di Gua Braholo dan Song Keplek pun ditemukan beberapa individu dengan ras Mongolid. Berdasarkan persebarannya, Bellwood (1997) membedakan adanya dua kelompok Australomelanesid di Indonesia. Kelompok pertama adalah yang terdapat di gua-gua prasejarah Flores, yang dianggap merupakan moyang penduduk aktual daerah tersebut. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan dari Liang Toge juga beberapa temuan yang berasal dari Tanjung Pinang Morotai. Kelompok kedua adalah yang berada di bagian barat Indonesia: para penghuni gua di Sampung, bukit kerang di Sumatra, Gunung Sewu (Song Keplek, Song Terus, Gua Braholo). Kedua kelompok tersebut akhirnya digantikan oleh ras Mongolid yang mungkin datang dari utara sekitar 4000 tahun yl. Migrasi ras Australomelanesid diduga bermula pada 10.000 tahun yl dari daratan Asia Tenggara ke arah selatan dan daerah bagian barat. Selain berdasarkan berbagai temuan sisa rangka manusia, kegiatan ini juga ditunjukkan oleh bukti-bukti tinggalan budaya Vietnam, Thailand dan Indonesia bagian barat. Sebaran ini berlanjut ke daerah lebih timur di Nusa Tenggara, yang kemudian menurunkan ras Australoid saat ini. Pada masa kemudian, sekitar 4000 tahun yl, di tingkat Zaman Neolitik terjadi gelombang migrasi para penutur Austronesia, yang akhirnya menghasilkan populasi aktual saat ini (Widianto, 2012). 7. PARA PENGHUNI NUSANTARA: PENUTUR AUSTRONESIA RAS MONGOLID Sejak sekitar 4000 tahun yl. Kehidupan di Nusantara mulai memerlihatkan perkembangan budaya yang cukup berarti. Di antara unsur budaya itu adalah gerabah, beliung batu, beliung kerang, pemukiman dan bengkel pembuatan alat-alat batu, peternakan (ayam, anjing, babi), pertanian sederhana. Perubahan budaya yang mencolok ini oleh banyak ahli dikaitkan dengan proses penyebaran migrasi para penutur bahasa Austronesia. Kini, rumpun bahasa Austronesia dipakai oleh sebagian besar suku bangsa yang hidup tersebar mulai dari Madagaskar di sebelah tenggara Afrika, Asia Tenggara kepulauan, Mikronesia, Melanesia sampai Polinesia. Pembawa pertama rumpun bahasa Austronesia ini adalah nenek moyang wilayah yang luas ini, termasuk Indonesia masa kini. Dari mana mereka semula berasal? Kajian pertama tentang asal penutur Austronesia dilakukan oleh Hendrik Kern pada tahun 1889 dari segi linguistik (Kern, 1917 – Verspreide Geschtiften, 6, p. 105-120). Kern sampai pada kesimpulan bahwa bahasa-bahasa di Kepulauan Nusantara dan Pasifik semula memang berasal dari satu induk bahasa yang disebutnya sebagai rumpun bahasa Malayo-Polinesia. Rumpun ini terbagi atas dua bagian: (1) Malayo-Polinesia Barat yang meliputi hampir semua bahasa di Indonesia Barat dan (2) Malayo-Polinesia Timur yang terdiri atas bahasa-bahasa di Melanesia dan Polinesia. Kern juga mengatakan bahwa nenek moyang penutur Melayo-Polinesia ini berasal dari Asia, mungkin sekali di sekirtar Vietnam atau Annam. Istilah Austronesia berasal dari Willem Schmidt (1906 - Archiv für Anthropologie, 5, p. 59-109) yang memelajari masalah yang sama dengan Kern. Schmidt juga berpendapat bahwa asal induk bahasa itu ada di Asia Daratan. Adanya migrasi bangsa penutur Austronesia ke Nusantara juga dibuktikan oleh penemuan-penemuan arkeologi sejak tahun 1920-an berupa sebaran kapak batu atau beliung batu yang sudah diasah permukaannya. R. von Heine-Geldern (1932 – Anthropos, 27, p. 543-619) melacak migrasi Austronesia ini dan ciri-ciri budaya yang dibawanya. Ia sampai pada kesimpulan bahwa para penutur Austronesia awalnya berasal dari Cina lalu bermigrasi melalui jalur darat ke Indo-Cina dan Semenanjung Malaya. Dari Semenanjung Malaya para migran Austronesia ini menyebar lewat laut ke Kepulauan Indonesia dan selanjutnya ke timur menuju Melanesia dan Polinesia. Menurut von Heine-Geldern (1932), ciri-ciri budaya masyarakat penutur bahasa Austronesia meliputi kegiatan bercocok tanam padi, beternak babi-sapi-kerbau untuk upacara, membuat barang tembikar atau gerabah, membuat kain dari kulit kayu, menghuni rumah panggung, mendirikan bangunan megalitik, memakai pisau batu untuk panen, membuat minuman keras dari padi, mengayau (memenggal kepala musuh), dan mengembangkan gaya seni tertentu. Keseluruhan unsur-unsur budaya ini disebut sebagai budaya Beliung Persegi. Diduga pula oleh Heine-Geldern (1945 – Prehistoric Research in the Netherlands-Indies, p. 138-139) bahwa mgrasi masyarakat Beliung Persegi bukan satu-satunya migrasi di Asia Tenggara, tetapi ada migrasi masyarakat pendukung budaya Kapak Lonjong. Budaya ini meninggalkan jejak sebaran kapak lonjong dengan jalur migrasi dari Cina atau Jepang melalui Taiwan-Filipina ke Indonesia Timur dan Papua. Teori migrasi bangsa penutur Austronesia berdasarkan linguistik (Kern, 1889; Schmidt, 1906) dan arkeologi (Heine-Geldern, 1932) ini sangat berpengaruh dan banyak dianut para ahli. Teori ini menyimpulkan bahwa asal penutur Austronesia ini adalah di Asia Daratan (Cina Selatan - Yunan, Vietnam, atau Annam). 8. TANAH ASAL PARA PENUTUR AUSTRONESIA: “OUT OF TAIWAN” Dari hasil penelitiannya di Cina Selatan dan Taiwan, ahli arkeologi K.C. Chang untuk pertama kalinya mencetuskan gagasan bahwa tempat asal penutur bahasa Austronesia adalah Taiwan (Chang, 1964 - Current Anthropology, 5, 5, 368-375). Gagasan ini didasari oleh kesamaan tinggalan arkeologis yang terdapat di daerah penelitiannya, khususnya budaya Ta-p’en-K’eng di Taiwan dengan situs-situs lain di Asia Tenggara Kepulauan. Unsur-unsur budaya yang hampir sama tersebut antara lain: beliung batu, pemukul kulit kayu, pisau batu, gerabah, pertanian padi, kebiasaan mencari kerang dan ikan, rumah panggung, dan teknologi pelayaran. Bagi Chang, mungkin saja nenek moyang penutur Austronesia (termasuk bahasanya) baru terbentuk setelah mereka bermigrasi dan tinggal cukup mala di Formosa (Taiwan). Teori tempat asal penutur Austronesia di Taiwan juga mendapat dukungan kuat dari rekonstruksi linguistik oleh Robert Blust yang membuktikan bahwa bahasa Austronesia mulai terbentuk di Taiwan sekitar 5000 tahun SM (Blust, 1976 – World Archaeology, 8, 19-43; Blust, 1984 – Asian Perspective, 26, 1, 45-68; Blust, 1996 – Journal of World Prehistory, 9, 453-510). Lalu, sekitar 4500 SM bahasa ini mulai terpecah menjadi bahasa-bahasa Formosa dan Proto-Malayo-Polinesia (PMP). PMP muncul sebagai akibat migrasi penutur Austronesia ke Filipina. Percabangan terjadi lagi sekitar 3500 SM ketika terjadi migrasi dari Filipina ke Kepulauan Indonesia Barat (Kalimantan-Sulawesi) dan Maluku sehingga memunculkan PMP Barat dan PMP Timur. PMP Timur kemudian bercabang lagi pada sekitar 2500 SM menjadi Malayo-Polinesia Tengah dan Malayo-Polinesia Timur. Percabangan ini terjadi akibat arus migrasi dari Maluku bercabang ke barat menuju Nusa Tenggara dan ke timur menuju Kepala Burung Papua. Cabang ke timur lalu pecah lagi menjadi subkelompok Halmahera Selatan-Papua Barat dan bahasa-bahasa Oseanik yang tersebar luas di Mikronesia, Melanesia, dan Polinesia sekitar 2000 SM. Robert Blust mencoba merekonstruksi kebudayaan penutur bahasa Austronesia. Penutur Austronesia tinggal di desa dengan sejumlah rumah (Formosa: lumaq, Melayu: rumah). Selain rumah ada juga tempat untuk umum yang disebut balai. Bangunan tempat tinggal didirikan di atas tiang, dan ada tangga untuk mencapainya. Atap atau bubungan rumah terbuat dari bambu. Dapur (asli bahasa Austronesia) atau tungku dibuat di pojok ruangan, di atas tungku ada tempat untuk menyimpan periuk dan kayu bakar. Mereka memelihara babi, ayam, dan anjing (wasu dalam bahasa Austronesia utara, barat dan timur). Mereka juga berburu burung dengan cara memasang jaring (zariy dalam bahasa Austronesia). Mereka terampil membuat gerabah, menganyam (anam dalam bahasa Austronesia), menenun (tinequn), dan menjahit (zakit) menggunakan jarum (zarum) dan benang. Mereka menghiasi tubuhnya dengan tatto dan memakan pinang dengan kapur (apur). Mereka membudidayakan sejumlah tanaman antara lain padi, sukun, jahe, pisang, limau (limaw), dan ubi (qubi). Bangsa penutur Austronesia juga adalah pelaut ulung sebab mereka bermigrasi melalui laut. Rekonstruksi linguistik Blust sangat sesuai dengan hasil penelitian arkeologi, terutama yang disintesiskan oleh Belwood (1984 – Asian Perspective, 26, 107-117; Belwood, 1998 – Human Dispersals and Colonization in Prehistory, dalam The Origins and Past of Modern Humans – Toward Reconciliation, 188-209). Hanya menurut Belwood (1998) kronologi yang diajukan Blust semuanya terlalu awal 2000 tahun. Belwood berkeyakinan bahwa proses migrasi itu bermula dari Cina Selatan (sekitar Fujian) sekitar 5000 SM. Proses migrasi ini didorong oleh tekanan penduduk yang bertambah secara cepat sebagai akibat munculnya pertanian di daerah itu. Bahasa Austronesia yang paling awal baru muncul setelah para petani itu tinggal cukup lama di Taiwan. Secara arkeologis, kehadiran bahasa Austronesia ditandai dengan munculnya budaya Ta-p’en-K’eng di Taiwan sekitar 4000 SM. Bellwood memerkirakan migrasi dari Taiwan ke Kepulauan Filipina baru terjadi sekitar 2000 atau 2500 SM, yang berarti sekitar 2000 tahun lebih kemudian dibandingkan rekonstruksi linguistik Blust. Teori migrasi yang merupakan gabungan hasil kajian linguitik dan arkeologi ini sering disebut model “Out of Taiwan”. Menurut model ini, penutur bahasa-bahasa Austronesia awal dikelompokkan sebagai komunitas yang berciri ras Mongolid. Dalam proses migrasinya, mereka cenderung mendesak kelompok masyarakat Australomelanesid, yang ketika itu sudah tinggal di Asia Tenggara Kepulauan dan Oseania sebagai masyarakat pemburu-peramu. Keunggulan teknologi yang dibawa oleh para penutur Austronesia menjadi faktor utama yang menyebabkan makin terdesaknya pemburu peramu Australomelanesid yang sudah lama tinggal di kawasan tersebut. Namun, di beberapa tempat sisa-sisa penduduk asli berciri Australomelanesid masih bertahan hingga kini. 9. ALTERNATIF: NUSANTAO HYPOTHESIS & “OUT OF SUNDALAND” Di samping model Out of Taiwan yang hingga kini menjadi panutan, ada pula pendapat berbeda. W.G. Solheim II, arkeolog, (1984- Asian Perspective 26, 77-78; 1996- Bulletin of Indo-Pacific Prehistory Association, 15, 101-110) mengajukan “The Nusantao Hypothesis”. Solheim II menyebut nenek moyang bangsa penutur Austronesia adalah suku laut nomaden bernama Nusantao yang artinya orang-orang kepulauan. Mereka tinggal di Filipina Selatan. Mereka adalah bangsa bahari yang mengandalkan penghidupannya atas laut. Bangsa ini mulai terbentuk ketika Zaman Es mendekati akhir membuat Sundaland tergenang air laut dan menjadi Paparan Sunda, laut dangkal dengan pulau-pulau terpisah. Bangsa Nusantao ini telah punya ketrampilan pelayaran yang tangguh pada 5000 SM, dan telah melayari kawasan luas di Asia Tenggara, Pasifik, sampai Korea dan Jepang. Menurut Solheim II, selat antara Cina Daratan dan Taiwan susah diseberangi karena arusnya deras, sehingga migrasi Austronesia tidak terjadi dari Cina ke Taiwan ke Filipina, tetapi sebaliknya dari Taiwan ke Cina karena jalan lautnya lebih mudah. Pendapat lain asal bangsa Austronesia diajukan oleh William Meacham, arkeolog yang banyak meneliti Cina Selatan dan Hongkong. Dalam publikasinya (Meacham, 1984 – 26, 89-106), diajukan bahwa tempat asal penutur Austronesia adda di kawasan segitiga antara Taiwan, Sumatra-Jawa dan Timor-Rote. Meacham berpendapat bahwa budaya dan bahasa Austronesia adalah hasil proses evolusi setempat dan muncul sebagai hasil interaksi regional di antara bangsa-bangsa yang tinggal di kawasan itu sejak awal Holosen sampai sekitar 6000 SM. Model Mecham ini kemudian diperkuat oleh sintesis Stephen Oppenheimer, ahli genetika, yang menulis buku Eden in the East (1999, 171-220). Oppenheimer mencoba mengaitkan munculnya pusat-pusat peradaban di Asia (Mesopotamia, Indus, Cina), juga Mesir berasal dari migrasi Austronesia yang berasal dari Sundaland dan melakukan migrasi Out of Sundaland karena kawasannya digenangi laut pada akhir masa glasiasi 20.000 tahun yl. Sundaland tenggelam dan penghuninya bermigrasi. Menurut Oppenheimer peristiwa inilah yang direkam dan diabadikan sebagai legenda atau mitos Banjir Nuh atau Benua Atlantis yang Hilang dalam berbagai peradaban. Mereka melakukan diaspora ke segala arah, ke barat menuju India, Mesopotamia sampai Mesir, ke utara menuju Cina dan Jepang bahkan sampai Amerika Utara melalui Selat Bering, ke timur menuju pulau-pulau di Samudera Pasifik. 10. BUKTI TERAKHIR: GENETIKA MOLEKULER Studi terbaru melacak tanah asal dan migrasi penutur Austronesia dilakukan oleh Mark Lipson dkk. (2014 – Reconstructing Austronesian population history in Island Southeast Asia, Nature 19 August 2014) menggunakan metode terbaru dalam genetika molekuler. Data genetik dapat digunakan untuk melacak migrasi manusia dan interaksi yang dialaminya sebagai pelengkap bukti berdasarkan linguistik dan arkeologi. Beberapa studi genetika molekuler sebelumnya telah menemukan ikatan antara penduduk Oceania dengan penduduk asli Taiwan (Melton et al, 1995; Sykes et al, 1995; Kayser et al, 2000; Trejaut et al, 2005; Kayser et al, 2008), tetapi beberapa ahli mengajukan argumen bahwa para penutur Austronesia masa kini tak memiliki warisan genetik signifikan dengan Taiwan (Su et al., 2000; Oppenheimer and Richards, 2001; Soares et al, 2011). Di Indonesia, beberapa survei telah menunjukkan keberadaan pembagian genetik barat dan timur, dengan populasi Indonesia Barat menunjukkan proporsi yang signifikan dengan nenek moyang dari Taiwan yang berangkat dari 10.000-30.000 tahun yl, yang telah dianggap sebagai migrasi pra-Neolitik dari Daratan Utama Asia Tenggara (Hill et al, 2007; Karafet et al, 2010; Jinam et al, 2012; Tumonggor et al., 2013). Studi-studi genom (materi genetik manusia) populasi penutur Austronesia, yang pada prinsipnya dapat menghasilkan studi yang teliti, telah diinterpreatasikan mendukung model asal nenek moyang dari Taiwan (Xu et al., 2012; dan HUGO Pan-Asian SNP Consortium - Mapping human genetic diversity in Asia, 2009 - Science 326, 1541–1545), juga model multiple-wave (Jinam et al, 2012). Tetapi studi-studi di atas mengandalkan metode pengelompokan/ clustering dan mencocokkan percabangannya tanpa memodelkan peristiwa-peristiwa percampuran historis yang jelas terjadi untuk populasi penutur Austronesia ini. Jadi studi terbaru yang dilakukan oleh Mark Lipson dkk. (2014) ini tak menetapkan secara tegas apakah para penutur Austronesia ini punya nenek moyang dari Taiwan atau Daratan Utama Asia Tenggara, atau keduanya. Di dalam studi ini diidentifikasi percampuran gen tersebut sesuai aliran gen di populasi yang tercampur. Lipson dkk (2014) meneliti data genetik dari 56 populasi menggunakan metode baru untuk melacak aliran gen nenek moyang, difokuskan ke wilayah Indonesia. Semua sampel kelompok Austronesia ini menunjukkan nenek moyang dominan yang lebih dekat ke aboroginal Taiwanese (penduduk asli Taiwan) daripada ke populasi di daratan utama Asia Tenggara. Namun dengan metode ini dapat dilacak proporsi percampuran nenek moyang tersebut. Ada komponen nenek moyang Negrito dan Melanesia pada wilayah-wilayah di Indonesia. Populasi Indonesia Barat juga menunjukkan warisan nenek moyang dari sumber yang bertutur bahasa Austro-Asiatik, yang secara historis eksklusif untuk daratan utama. Jadi harus dicari penyebabnya apakah dulu pernah ada populasi Austro-Asiatik hadir di Indonesia, atau para penutur Austronesia melakukan migrasi ke dan melalui daratan utama, bercampur di sana, sebelum melakukan perjalanannya ke Indonesia Barat. Komponen nenek moyang Negrito, Melanesia, dan Austro-Asiatik mestinya disumbangkan oleh populasi ras Austromelanesid yang menghuni Indonesia pada sebelum 4000 tahun yang lalu, yang kemudian bercampur dengan pendatang baru para penutur bahasa Austronesia dari Taiwan. 11. PENUTUP Demikian pelacakan yang cukup jauh untuk menjawab sebuah pertanyaan sederhana: nenek moyang Indonesia dari Indochina atau dari manusia Sangiran? Menjawabnya tak mudah kalau mau serius, perlu mendekatinya dari berbagai ilmu: geologi – yang membuat kerangka geografi untuk nenek moyang ini bermigrasi, paleoantropologi – untuk meneliti morfologi tengkorak setiap fosil yang ditinggalkan dan menentukan spesies serta rasnya, arkeologi – untuk meneliti artefak-artefak yang ditinggalkan para nenek moyang ini, linguistik – untuk mengelompokkan bahasa-bahasa yang diucapkan sekitar 300 suku yang menyusun Indonesia dan melihat historinya, dan genetika molekuler – untuk melihat langsung warisan darah nenek moyang ini atas populasi modern. Kembali ke pertanyaan: nenek moyang Indonesia dari Indochina atau dari manusia Sangiran? Penelitian paleoantropologi menunjukkan bahwa manusia Indonesia (Jawa) sekarang bukan diturunkan dari hominid Sangiran sebab evolusi Homo erectus Jawa ke Homo sapiens-nya terputus. Mungkin ada kaitan ke manusia Wajak, tetapi meragukan. Manusia Wajak mungkin merupakan nenek moyang aborigin Australia, bukan Indonesia. Dan sebagian darah Indocina (dalam hal ini Austro-Asiatik) memang ada di populasi suku-suku di Indonesia Barat berdasarkan studi genetika molekuler terbaru. Dan Yunan, Cina Selatan mungkin tempat paling awal nenek moyang Indonesia, tetapi dengan arus migrasi yang berbeda dengan yang diketahui selama ini. Pengetahuan saat ini menempatkan nenek moyang Indonesia dominan berasal dari Taiwan. Dan jawaban saya berdasarkan pelacakan ini adalah: nenek moyang orang Indonesia dominan berasal dari bangsa penutur bahasa-bahasa Austronesia dengan ras Mongolid yang dulu sekitar 4000 SM tinggal di Taiwan, bermigrasi memasuki Indonesia pada sekitar 2000 SM, berubah menjadi populasi berbahasa Pra-Melayo-Polinesia (PMP) Barat, PMP Tengah, dan PMP Timur; dan mereka bercampur dengan populasi yang saat itu sudah menghuni Indonesia dari ras Australomelanesid yang meninggalkan darah mereka sebagai komponen Austro-Asiatik, Negrito, dan Melanesia pada suku-suku Indonesia saat ini. Ini bukan jawaban yang sederhana, tetapi disusun atas sintesis penelitian-penelitian terbaru geologi, paleoantropologi, arkeologi, linguistik dan genetika molekuler.*** Kalau dipikirkan dalam-dalam, perasaan sebenarnya adalah ilusi. Perasaan (bahagia, tegang, sedih, dll) adalah sensasi yang badan kita rasakan ketika hormon (serotonin, dophamin, adrenalin, dll) masuk ke aliran darah kita, setelah (kesadaran) kita memilih untuk melihat suatu kejadian dengan cara tertentu. Otak kemudian akan menginstruksikan kelenjar untuk memproduksi hormon yang sesuai.
Manusia sebenarnya sudah menyadari ini sejak lama. Itulah sebabnya banyak manusia berpaling ke rokok, alkohol, madat, dll. Karena manusia tahu hal-hal tersebut mengandung zat kimia yang dapat mempengaruhi emosi manusia ketika masuk dalam darah. Bukan berarti barang-barang tersebut punya efek jangka panjang yang baik. Sedemikian lamanya manusia terikat kepada ilusi tersebut sejak ia lahir, sehingga akhirnya ilusi itu menjadi nyata. Setelah sebelumnya melakukan riset ataupun analisa tentang dugaan lokasi keraton kerajaan Salakanagara, Galuh, Pajajaran, Singosari, Majapahit, dan Sriwijaya, serta mengunjungi sebagian besar dugaan lokasi-lokasi tersebut, saya kembali melakukan analisa sederhana untuk mendapatkan dugaan lokasi keraton kerajaan Kediri.
Kediri alias Panjalu adalah kerajaan pecahan Kahuripan sepeninggal raja Airlangga (kerajaan satunya lagi adalah Jenggala). Pada puncak kejayaannya di bawah raja Jayabhaya, Kediri berhasil menaklukkan Jenggala dan menjadi kerajaan besar di Jawa. Di kemudian hari, Kediri di bawah raja Kertajaya takluk oleh Ken Arok, penguasa baru di Tumapel yang kemudian mendirikan kerajaan Singosari. Setelah Singosari digantikan kerajaan Majapahit, Kediri pernah menjadi ibukota Majapahit, yakni pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. Pada analisa saya tentang dugaan lokasi keraton kerajaan Kediri, saya menggunakan beberapa sumber dan metode yang berujung pada dua dugaan lokasi keraton. DUGAAN-1 - Keraton terletak di dalam kota Kediri modern, lebih tepatnya di dalam suatu area yang dibatasi oleh daerah Balowerti, Setono Gedong, Setono Bethek, Doho, Bandar Kidul dan Bandar Lor (lihat peta). Sumber pertama dugaan ini adalah informasi dari Babad Kadhiri, suatu babad dari era Mataram Islam, yang menyatakan bahwa berdasarkan informasi turun menurun, pusat kerajaan Kediri terletak di timur (gunung) Klothok dan barat sungai Brantas. Sumber berikutnya adalah penelitian terhadap nama-nama tempat tua di Kediri yang diduga memiliki kaitan dengan kerajaan Kediri, yaitu: - Balowerti: Berasal dari "Balai Werti", suatu balai tempat menunggu sebelum seseorang dapat masuk lingkungan keraton. - Setono Gedhong: berarti "istana besar". Di sini sendiri terdapat temuan sisa-sisa komplek bangunan dari era Kediri. - Setono Bethek: berarti 'istana bambu' - Bandar Lor: berarti "pelabuhan utara". Bisa jadi dulunya merupakan pelabuhan (bandar) yang terletak di utara (lor) keraton. - Bandar Kidul: berarti "pelabuhan selatan" - Doho/Dhaha: cocok dengan "Daha/Dahanapura", nama ibukota Kediri yang berkali-kali disebut dalam karya sastra kuno. Uniknya, kedua sumber informasi di atas (Babad Kadhiri dan analisa terhadap nama-nama tempat tua di Kediri) saling bercocokan dan menghasilkan suatu daerah dugaan yang mengapit kedua sisi sungai Brantas di timur gunung Klothok seperti ditunjukan peta 1. DUGAAN-2 - Keraton terletak di timur kota Kediri modern dan terletak di antara atau di sekitar kecamatan Pagu (Kediri) dan kota Pare. Dugaan ini lebih didasarkan pada temuan-temuan arkeologis yang banyak didapati di kawasan ini. Khususnya menyangkut Tondowongso dan Adan-adan, penelitian-penelitian arkeologi terakhir menunjukkan bahwa kedua situs ini memiliki kandungan arkeologi yang melimpah, dimana baru sedikit darinya yang dieksplorasi. Kedua situs ini diduga memiliki luas berhektar-hektar dan bisa jadi dulunya merupakan satu kesatuan besar. Meski demikian, bukan berarti dugaan lokasi-1 di pusat kota Kediri modern memiliki peninggalan arkeologi yang lebih miskin. Bisa jadi dulunya lokasi ini juga memiliki peninggalan arkeologi yang melimpah, namun kemudian tergerus oleh perkembangan kota setelah kerajaan Kediri tumbang, sebagaimana yang terjadi pada situs-situs arkeologi lainnya yang berada di dalam kota modern. Contohnya seperti polemik terakhir yang menyangkut pelestarian situs Setono Gedhong di Kediri. Dugaan-dugaan awal yang sederhana ini tentunya memerlukan investigasi lebih lanjut. Senang sekali bisa mendapatkan buku ini. Dulu saya pertama kali tahu tentang praktek di Jepang Abad Pertengahan ini dari DVD NatGeo khusus tentang ini yang saya beli ketika kuliah. Buku ini membahas lebih dalam lagi daripada DVD tsb dan satu-satunya yang tersedia dalam bhs. Inggris.
A. Masuknya Islam ke Nusantara dan Pergeseran Makna Istilah-istilah Hindu Buddha
Bagi saya, salah satu periode yang menarik dalam sejarah Indonesia adalah saat-saat pertama kalinya Islam berkembang di Nusantara. Mengapa? Karena mereka yang telah mempelajari tentang seluk beluk peradaban Hindu Buddha di Nusantara akan memahami bahwa selama 1 millenium Hindu Buddha berada di Nusantara (bila sejarah Hindu Buddha di Nusantara dianggap dimulai dari saat penulisan prasasti Kutai di abad ke-5 hingga runtuhnya Majapahit di abad ke-15 ), nafas Hindu Buddha telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan di masyarakat, mulai dari bahasa, arsitektur, tata busana hingga ke tradisi-tradisi. Sulit membayangkan, apalagi bila kita hidup di masa keemasan era Hindu Buddha di Nusantara, bahwa masyarakat yang beragama Hindu Buddha itu di kemudian hari secara berbondong-bondong akan berpindah ke keyakinan baru yang memiliki corak amat berbeda dengan keyakinan sebelumnya. Dipeluknya Islam oleh mayoritas bangsa Indonesia seperti saat ini, dari aspek kesejarahan, menurut hemat saya, adalah sebuah pencapaian yang luar biasa karena sama sekali tidak melibatkan invasi oleh suku bangsa awal yang membawa agama tersebut. Pencapaian tersebut, menurut saya, selain disebabkan oleh kemajuan ekonomi dan militer kesultanan-kesultanan Islam awal di Nusantara, juga turut disebabkan oleh ketepatan strategi pewartaan Islam di Nusantara. Yang saya perhatikan, para pendakwah pertama Islam di Nusantara memahami betul bahwa masyarakat yang mereka ingin rangkul telah memiliki tradisinya sendiri yang sebagian besar dipengaruhi oleh kepercayaan mereka dan berbeda dengan kepercayaan yang dibawa oleh para pendakwah ini. Untuk memperkenalkan kepercayaan baru ini, para pendakwah menggunakan tradisi yang sudah ada di masyarakat. Termasuk, untuk memperkenalkan inti-inti ajaran dari kepercayaan baru yang dibawa, para pendakwah pun menggunakan istilah-istilah dari agama yang telah dipeluk oleh masyarakat. Kata-kata seperti "sembahyang", "puasa", "pahala", "dosa", "surga", "bidadari", ataupun "neraka" yang tadinya berasal dari Hindu Buddha dan telah memiliki maknanya sendiri kini digunakan pula untuk menjelaskan konsep-konsep yang dimiliki Islam dan mengalami pergeseran makna. Tujuan dari semua ini tak lain adalah agar masyarakat tidak kaget dengan keyakinan baru yang dibawa dan merasa bahwa keyakinan baru ini tidak terasa asing buat mereka. Diantara pergeseran makna ini terjadi pada ajaran "Ma Lima" (disebut juga "Mo Limo") yang kini dikenal luas oleh orang-orang Islam Jawa, namun sedikit diketahui bahwa sesungguhnya ajaran ini sebelumnya berasal dari Hindu Buddha, khususnya aliran Tantrayana. B. Mengenal Tantrayana dan Ajaran "Ma Lima" Agama Hindu dan Buddha meyakini bahwa selama manusia lekat dengan kebodohan dan hawa nafsunya, ia akan terus menerus terlahir ke dunia ini setelah kematiannya (reinkarnasi) dan mengalami kesengsaraan-kesengsaraan yang merupakan ciri utama kehidupan di dunia ini. Tujuan yang harus dicapai oleh manusia menurut agama Hindu dan Buddha adalah lepas dari segala kemelekatan supaya manusia tersebut bisa moksha/menyatu dengan Tuhan (dalam agama Hindu) atau mencapai Nirvana (dalam agama Buddha) setelah kematiannya dan tidak terlahir lagi ke dunia ini. Baik agama Hindu dan Buddha menawarkan caranya masing-masing supaya manusia bisa lepas dari segala kemelekatan, meskipun cara-cara yang ditawarkan kedua agama tersebut pada dasarnya sama-sama berlandaskan pada pengendalian dan pengenyahan hawa nafsu. Meski demikian, dari sekian banyak aliran dalam agama Hindu dan Buddha, ada aliran yang meyakini bahwa manusia tidak perlu menunggu mati dulu untuk mencapai moksha/Nirvana. Moksha/Nirvana telah dapat dicapai sejak manusia berada di dunia ini bila manusia tersebut menjalankan praktek-praktek tertentu yang umumnya melibatkan aktivitas fisik. Aliran yang meyakini hal tersebut adalah Tantrayana. Secara garis besar, Tantrayana dapat dibagi dua, yaitu yang moderat (disebut juga "daksinacarin") dan ekstrim (disebut juga "vamacarin"). Tantrayana yang ekstrim, uniknya, pernah memiliki pengikut yang kuat selama peradaban Hindu-Buddha tumbuh subur di Nusantara. Para pengikut Tantrayana yang ekstrim ini meyakini bahwa moksha/Nirvana dapat dicapai dengan melakukan "Pancamakara" atau dikenal sebagai "Ma Lima" ("Mo Limo"; alias lima hal berawalan "ma-") oleh para penganut Hindu Buddha di Nusantara, yaitu: - Mamsa (memakan daging secara berlebihan, termasuk memakan mayat) - Matsya (memakan ikan secara berlebihan) - Madya (bermabuk-mabukan) - Maithuna (bersenggama dengan lawan jenis secara berlebihan) - Mudra (melakukan sikap tangan tertentu ketika meditasi) Di era Hindu Buddha, para penganut Tantra ini akan berkumpul di ksetra (kuburan/lapangan tempat masyarakat meletakan mayat secara sementara sebelum dibakar) untuk melakukan ritual-ritual di atas. Mereka akan memakan daging mayat, meminum darah, bermabuk-mabukan dengan minuman keras, lalu bersetubuh dengan lawan jenis, sebelum akhirnya diakhiri dengan meditasi mendalam. Pada saat itulah mereka meyakini merasakan moksha. Para penganut aliran ini meyakini bahwa moksa/Nirvana dapat dicapai melalui meditasi mendalam, setelah sebelumnya membuat letih panca indera melalui ritual "Ma Lima". Oleh para pemeluk agama Hindu Buddha lain pada zamannya, para pengikut Tantra ini cukup ditakuti. Dari kajian arkeologi, diketahui ada beberapa raja di Nusantara yang mengikuti aliran Tantra ini, seperti Kertanegara (Singosari), Adityawarman (Pagaruyung Hindu), dan beberapa raja di Bali pada saat itu. Sejarah berhasil mencatat bagaimana salah satu raja tersebut melakukan ritual Tantranya. Diceritakan bahwa ketika tentara Kediri menyerbu keraton Singosari, mereka menemukan bahwa raja Kertanegara tengah tidak sadar karena makan-makan dan bermabuk-mabukan bersama para pengikutnya. Padahal di saat yang lain, prasasti-prasasti mencatat bahwa Kertanegara adalah raja yang mendalam pengetahuan agamanya dan taat beragama. Banyak ahli sejarah senior, seperti Soekmono, yang meyakini bahwa sesungguhnya raja Kertanegara pada saat itu tengah melakukan ritual Tantrayana. Dari penemuan-penemuan artefak yang ada, diketahui bahwa ada 3 aliran Tantrayana ekstrim di Nusantara pada saat itu, yaitu Heruka di Sumatra, Kalacakra di Jawa, dan Bhima di Bali. Para penganut Tantra yang beragama Hindu pada umumnya memuja Bhairawa, yaitu dewa Siwa dalam perwujudannya yang bengis dengan taring yang menyeringai dan keempat tangannya memegang belati, mangkuk, gendang dan tasbih sambil menginjak tengkorak-tengkorak manusia. Belati tersebut diyakini untuk memotong daging, mangkuknya untuk menampung darah, sementara tasbih dan gendangnya digunakan saat menari di ksetra/kuburan pada saat melakukan ritual Tantra. Menurut para sejarahwan, banyak raja pada saat itu yang menjadi penganut Tantra dengan tujuan agar menjadi sakti dan bisa mengimbangi kekuatan raja dari kerajaan lain yang juga menganut Tantra. C. Perubahan Ajaran "Ma Lima" oleh Para Wali Songo Ketika para pendakwah Islam berinteraksi dengan masyarakat Jawa, tentunya mereka juga menemukan para penganut aliran Tantra di antara masyarakat. Namun oleh para Wali Songo, ajaran Ma Lima ini diberi isi yang baru. Bila sebelumnya "Ma Lima" adalah lima hal berawalan "ma-" yang harus dilakukan (oleh para penganut Tantra), kini menjadi lima hal berawalan "ma-" yang harus dijauhi oleh masyarakat Jawa yang telah memeluk Islam, yaitu: - Main (berjudi) - Maling (mencuri) - Madat (menggunakan candu) - Minum (bermabuk-mabukan) - Madon (main wanita/zina) Ritual berkumpul dengan membentuk lingkaran di ksetra untuk memakan daging mayat pun digantikan oleh tradisi berkumpul untuk membaca tasbih, tahmid dan tahlil yang diakhiri dengan makan nasi tumpeng bersama oleh masyarakat Jawa yang dikenal sebagai "selamatan" atau "kendurian". Sejarahwan Islam, KH Agus Sunyoto, menjelaskan bahwa tradisi selamatan ini pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Bonang di desa Singkal, Nganjuk (Jawa Timur) untuk memerangi ritual Tantra. Ritual baru ini pun kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya di Jawa. Masyarakat Islam Indonesia saat ini mungkin tidak lagi mengetahui asal-muasal ajaran "Ma Lima" ataupun tradisi selamatan/kendurian yang telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Meski demikian, sejarah telah menunjukkan bahwa keberhasilan dipeluknya Islam di Indonesia antara lain ditunjang oleh keberhasilan para pendakwah Islam untuk menggunakan istilah-istilah agama dan tradisi-tradisi yang telah ada di tengah-tengah masyarakat dan memberinya makna yang baru yang kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya. Referensi lebih lanjut: - http://damar-shashangka.blogspot.co.id/…/ajaran-shiwa-bhair… - https://en.m.wikipedia.org/wiki/Panchamakara - http://perjalanankesadaran.blogspot.co.id/…/ajaran-tantraya… - http://www.sacred-texts.com/tantra/ - http://m.viva.co.id/…/668989-ritual-minum-darah-dan-bersetu… - http://www.hariansejarah.id/…/pelaksanaan-tahlilan-pertama-… Senang atau tidak dengan Tasawuf (Sufisme), yang saya lihat selama ini, banyak sekali orang di Barat yang akhirnya melirik ataupun memeluk Islam setelah mengenal Tasawuf. Lihat saja komentar-komentar di video ini. Karena Islam yang mereka kenal melalui Tasawuf berbeda dengan Islam yang mereka kenal melalui media massa ataupun digadang-gadang oleh ISIS. Kalau bicara tentang masyarakat Barat, ini adalah masyarakat yang sebenarnya trauma dengan agama, kekerasan, dan merindukan jalan-jalan spiritual yang menawarkan cinta kasih. Karena pada suatu masa, masyarakat Barat pernah dikuasai institusi keagamaan yang telah berubah menjadi sangat berkuasa dalam setiap sendi kehidupan, melabeli, dan menghukum siapa saja yang tidak sependapat dengannya. Yang saya pelajari, dulu ketika Indonesia masih mayoritas Hindu-Buddha, Islam juga masuk dengan membawa semangat yang diberi penekanan lebih dalam Tasawuf. Oleh karena itu meski masyarakat saat itu menjalankan ritual-ritual yang amat berbeda dengan Islam, tapi semangat Islam dapat sampai kepada mereka. Semoga semangat ini bisa menyebar lagi di masyarakat Muslim saat ini. Amin. Llewellyn Vaughan Lee, Ph.D. beserta istrinya, Anat Vaughan Lee (foto tidak ditampilkan disini), adalah dua orang asli Inggris yang kini menjadi guru besar dan salah satu pemimpin Naqshabandiyah, sebuah tarekat Tasawuf yang sudah berusia 7 abad, di Amerika dan Kanada.
Di dunia banyak ahli bahasa Jawa Kuno justru orang Belanda, bukan Indonesia asli. Dalam satu abad ke depan, saya yakin akan lebih banyak juga tokoh-tokoh besar Islam yang berasal dari Barat, bukan Asia. Alhamdulillah, seneng banget sebagian buku yang saya pesan dari luar sudah tiba. Menemukan buku tentang sejarah Kekristenan awal ataupun agama Yahudi di toko-toko buku di Jakarta, bahkan yang impor sekalipun, dan ditulis oleh pakarnya sangat susah sekali.
Sudah agak lama saya tertarik untuk mengetahui lebih detail lagi tentang bentuk awal agama Kristen sebagaimana ia pertama kali diwartakan kepada kaum Gentil/Goyim dan sebelum mendapat pengaruh Romawi. Insya Allah menambah koleksi pustaka buku-buku Kristen saya. Some people argue that if there were no religion, the world would be a better place. Because, according to them, no war would be waged in the name of God.
I ask then if supposedly the notion of God were erased from human memory and civilisation, would no blood really be spilled on Earth? Not the least! Human will still find other excuses to spill blood: racial superiority, economical elitism, entitled right to a certain territory or resource, group self defense and so forth. Greedy humans love to sabotage. When confronted with religion, they take verses from the scripture that befit their mindset and abandon those that do not. The true spirit of the religion itself is overlooked. That is how men come to sabotage religion. Kalau melihat video seperti ini, kita menjadi sadar bahwa bisa melihat warna itu... nikmat Allah yang luar biasa. Buat yang sudah pernah mengkaji Buddhisme lalu menilik pemikiran-pemikiran Nietzsche akan menemukan bahwa banyak pemikiran Nietzsche yang sama dengan pemikiran Buddha. Diantaranya, keduanya sama-sama meyakini bahwa esensi hidup adalah penderitaan dan bahwa untuk menjadi manusia paripurna (Übermensch dalam istilah Nietszche), manusia harus berjuang untuk mengalahkan dirinya sendiri. Bedanya, Nietzsche belum menemukan jalan dan praktek-praktek untuk melampaui penderitaan, sebagaimana Buddha. Buddha sudah menemukan ini dan merumuskannya dalam "Jalan Mulia Beruas Delapan" (Eightfold Noble Paths). Lebih lanjut bahkan Buddha sudah menetapkan aturan-aturan kehidupan monastik untuk mereka yang tertarik mencapai "pencerahan spiritual" lebih cepat. Entah kenapa kemarin-kemarin ini tertarik sekali menonton video-video dokumenter soal Auschwitz dan Holocaust. Akhirnya jadi banyak baca lagi soal agama Yahudi dan Zoroastrianisme. Dan akhirnya jadi tertarik beli buku klasik yang tadinya sama sekali tidak ada niat untuk beli. 1 hari sudah habis baca 40 halaman, lumayan. wkwk.
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|