When being asked, who his best friend is, many a people shall respond "this person" or "that person". I, however, grow to believe that this is wrong.
Our own best friend is actually and should always be.. ourself! We give our best friends or beloved ones advices that they should take care of their bodies or their health. Yet how many of us has done it to ourself? We give our best friends or beloved ones consolation when they make mistakes and regret about them. Yet how many of us has done it to ourself? While we seem to always attempt to be best friend to our beloved ones, why haven't we become one to our own self? Friends will not always be on our side. But we are always on our own side. You may lament as well that God is not on your side when a misfortune or calamity strikes in your life. Yet you are always on your own side. As many wise men say that we are the block to our own enlightenment or advancement. In the pursuit to that end, at its every cherishful or harsh turn, we should always be our own best friend!
0 Comments
Terkadang kita terlalu sibuk "mengkafir-kafirkan" orang-orang di luar golongan kita, sampai kita lupa bahwa sebenarnya sebagai sesama manusia kita punya banyak cita-cita yang sama: kesehatan, hidup yang damai dan penuh kebahagiaan hakiki. Dan bahwa kita sebenarnya dapat bekerja bersama-sama sebagai satu spesies untuk mencoba mewujudkan cita-cita itu.
Banyak orang Indonesia yang saya temui masih menganggap perusahaan asuransi sebagai perusahaan dengan misi amat mulia, yaitu memberikan proteksi kepada para nasabahnya. Yang sering dilupakan adalah perusahaan asuransi tetap saja merupakan sebuah entitas bisnis yang tujuan utamanya adalah membuat keuntungan. Proteksi tentu tidak akan diberikan kalau perusahaan tidak bisa untung. Bagaimana perusahaan asuransi membuat keuntungan? Salah satunya adalah dengan membatasi atau membuat jumlah klaim yang dilakukan seluruh nasabahnya sesedikit mungkin. Oleh karena itu, baca pasal-pasal di polis asuransi yang kita miliki secara seksama. Jangan hanya mempercayai penjelasan agen asuransi. Melalui polis itulah perusahaan asuransi berusaha membatasi pengeluaran mereka dan meningkatkan margin keuntungan mereka. Tak pernah ada 2 perusahaan asuransi yang sama isi polisnya. Asuransi bukannya tidak perlu. Memiliki asuransi malah merupakan salah satu tahap menuju cerdas finansial dalam buku-buku pengaturan finansial yang saya baca. Kita hanya perlu mempelajari isi polis yang kita miliki agar asuransi yang kita miliki benar-benar bisa kita ambil manfaatnya suatu hari. Sayangnya, inilah hal yang jarang dilakukan nasabah asuransi karena isi polis yang begitu panjang. Dulu saya juga sempat memikirkan omongan orang-orang seperti Andriy ini. Barangkali saja mereka benar. Tapi kemudian saya dapat memutuskan sikap saya secara cepat setelah saya membuat pertanyaan analogi berikut untuk diri saya sendiri.
Seandainya saya bertemu dengan seorang bule di tengah jalan yang sangat memerlukan bantuan saya, akankah saya berkata "Maaf, saya tidak mau membantu Anda, karena Anda bukan orang Indonesia" ? Tentu tidak. Kalau saya bisa membantu, kenapa tidak saya bantu? Kemudian saya sadari bahwa menolak membantu seseorang atau sekelompok orang, apalagi yang sangat memerlukan, dikarenakan etnisnya (dia beda suku atau negara dengan kita) ataupun agamanya, sebenarnya adalah sikap rasis. Logikanya, dan sudah seharusnya sebagai sesama manusia, kita membantu siapa saja, manakala kita tahu ada yang perlu bantuan dan kita pun mampu. Tidak ada yang minta dilahirkan dalam suku A, B, atau C. Analogi yang sama juga berlaku untuk mereka yang enggan membantu karena merasa bahwa diri mereka sedang berada dalam "kesulitan". Sengaja saya beri tanda kutip pada kata "kesulitan", karena itu adalah persepsi subyektif. Bagi saya seperti ini. Hidup itu adalah ujian. Sepanjang hidup, kita akan selalu menemui hal yang bernama kesulitan. Kalau kita selalu menjadikan kesulitan sebagai alasan, maka kapan kita mulai akan berguna bagi manusia lainnya? Barangkali bukan kesulitan yang menjadi alasan sebenarnya. Barangkali sebenarnya keegoisan kita. Saya sendiri tak henti-hentinya kagum kepada sekian banyaknya contoh yang sudah saya temui berupa orang-orang yang secara ekonomi berada dalam kesulitan, namun sangat ringan tangan dan rela berbagi apapun yang mereka miliki kepada sesama. Kehadiran orang-orang mulia seperti ini, insya Allah, yang akan selalu jadi pengingat bagi saya untuk tidak mudah menjadikan "kesulitan" sebagai halangan untuk membantu orang lain. Bakong adalah salah salah satu generasi candi pertama Kamboja yang terletak di Hariharalaya (sekarang Rulous), ibukota pertama kerajaan Kamboja.
Candi ini dibangun pada 881 M oleh Indrawarman I, raja Kamboja. Penelitian para arkeolog, termasuk arkeolog senior Jaçques Dumarçay, mengungkapkan bahwa arsitektur candi ini terpengaruh Borobudur di Jawa. Selain merupakan candi pertama Kamboja yang memiliki bentuk berundak-undak, detail-detail bangunan Bakong nyaris sama dengan detail-detail di Borobudur. Dumarçay memperkirakan bahwa ada kemungkinan tukang-tukang dari Jawa didatangkan dalam konstruksi candi ini. Kenapa sebuah candi yang terletak jauh dari Jawa terpengaruh arsitektur candi Jawa? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat prasasti Sdok Kok Thom. Prasasti Sdok Kok Thom yang ditemukan di Kamboja bahwa Jayawarman II, pendiri dinasti Angkor Kamboja, dulunya besar dan dididik di Jawa, sebelum ia kembali ke Kamboja dan membebaskan Kamboja dari penjajahan Jawa. Kerajaan Jawa yang berkuasa saat itu adalah Mataram Kuno yang kekuasannya membentang dari pesisir Kamboja di Barat hingga selatan Filipina di timur (lihat prasasti Manila Bay di Filipina). Meskipun kemudian Kamboja mengembangkan arsitektur candinya sendiri, para arkeolog mengakui bahwa pengaruh arsitektur Jawa tetap terasa dan membuat candi-candi Khmer (kamboja) memiliki bentuk berbeda dibandingkan candi-candi di daerah sekitarnya seperti Thailand ataupun Myanmar. Inilah barangkali kenapa ketika saya melihat candi-candi Kamboja, saya merasa sedang melihat sepupu candi-candi Jawa seperti Prambanan dll. M. Arief Wibowo Sumber foto: Internet Hal menarik apa yang bisa kita lakukan ketika kita mengunjungi berbagai daerah pelosok di Nusantara? Selain mengamati dan menikmati keindahan alam, budaya, dan kuliner setempat, sebenarnya ada satu hal lagi yang bisa dilakukan oleh mereka yang menyukai bahasa: mengamati penggunaan bahasa Melayu di daerah tersebut.
Perlu diingat bahwa bahasa Melayu bukanlah bahasa ibu di seluruh daerah di Indonesia. Sementara bahasa Melayu sendiri pertama kali muncul di pesisir barat Kalimantan (menurut penelitian terkini linguistik) dan tumbuh kembang di Riau dan Jambi ke daerah-daerah sekitarnya di kawasan barat Indonesia, daerah-daerah lain di Indonesia, apalagi yang berada di kawasan tengah dan timur, sesungguhnya memiliki bahasa-bahasa ibunya sendiri yang bentuknya sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Meski demikian, saat ini bila kita mengunjungi kota-kota pesisir di kawasan tengah dan timur Indonesia, seperti Manado, Ambon, ataupun Jayapura, kita akan mendapati bahwa sebagian besar penduduknya menggunakan bahasa yang sebagian besar kosakatanya memiliki kesamaan dengan bahasa Indonesia/Melayu. Sebagai contoh: - "Biar masa depan itu dapa lia gelap, maar kalo torang tetap ba usaha deng nda patah semangat, tetap sukses itu mo iko dari belakang". (Bahasa Manado yang artinya: Biar masa depan itu terlihat gelap, tapi kalau kita tetap berusaha dengan tidak patah semangat, tetap sukses itu akan ikut dari belakang). - "Sebelum tangan taputar, mulu bengko, bajalan sarut-sarut kaki akibat strok, rajin-rajin lah kasi bahu par pikol, kasi balakang par kuda, pake tangan voor gendong. Smoga deng biking bagitu katong selalu diberikan kesehatan deng kekuatan voor tetap biking bae". (Bahasa Ambon yang artinya: Sebelum tangan terkilir, mulut bengkok, berjalan terseret-seret akibat kaki kena stroke, rajin-rajinlah gunakan bahu untuk pikul, gunakan punggung untuk (?), gunakan tangan untuk gendong. Semoga dengan berbuat itu, kita selalu diberi kesehatan dengan kekuatan untuk tetap berbuat kebajikan). Kita bisa saja menduga bahwa bahasa-bahasa di atas adalah bahasa-bahasa asli setempat, dimana kemiripan kata-kata yang ada dengan kata-kata Melayu adalah karena kita semua berasal dari rumpun yang sama. Akan tetapi bahasa-bahasa tersebut sesungguhnya adalah bahasa Melayu yang telah mendapatkan pengaruh dari bahasa-bahasa setempat. Banyak tempat seperti Manado, Ambon, ataupun Jayapura sebenarnya memiliki bahasa-bahasa aslinya sendiri. Sebagai contoh, bahasa ibu orang-orang Sulawesi Utara, dimana Manado merupakan bagian darinya, sesungguhnya adalah Minahasa (dengan berbagai dialeknya). Meski demikian, di Manado yang merupakan kota pesisir dan menjadi metropolitan, yang akhirnya digunakan adalah bahasa Melayu yang mendapat pengaruh kuat bahasa setempat, yaitu Minahasa, dan Belanda (terkait sejarah misionaris Belanda di Manado). Bahasa ini lantas dapat kita katakan sebagai Melayu varian Manado. Ketika Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1600-an, Belanda mendapati bahwa bahasa Melayu tidak hanya digunakan di semenanjung Sumatera sebagai pusat peradaban Melayu, tapi juga di kota-kota pesisir yang jauh dan bahasa aslinya bukan bahasa Melayu, seperti di Gowa ataupun Ambon. Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang diadakan Belanda dengan kesultanan Gowa ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab, bukan dalam bahasa setempat. Belanda menyadari adanya perbedaan antara bahasa Melayu yang digunakan di pusat-pusat peradaban Melayu dengan di tempat-tempat yang jauh. Di pusat-pusat peradaban Melayu, bahasa Melayu mencapai kematangannya dengan digunakan dalam bidang pemerintahan, agama, dan sastra. Bahasa Melayu yang seperti ini disebut oleh Belanda sebagai bahasa Melayu Klasik/Melayu Tinggi. Sementara bahasa Melayu yang digunakan di kota-kota bandar yang jauh merupakan bahasa Melayu yang banyak bercampur dengan bahasa setempat dan digunakan sebagai media komunikasi antar pedagang. Bahasa Melayu ragam ini disebut Melayu Pasar. Melihat bahasa Melayu tersebar cukup jauh di Nusantara, Belanda memilih menggunakan bahasa Melayu dalam berkomunikasi dengan penguasa-penguasa dan penduduk setempat melalui penerjemah-penerjemah mereka, ketimbang menggunakan bahasa daerah masing-masing. Di samping itu, Belanda tetap menggunakan bahasa Belanda untuk komunikasi internal mereka. Ketika Belanda menerbitkan Alkitab pertama di Hindia Belanda pada 1612, mereka pun memilih menggunakan bahasa Melayu, bukan bahasa daerah lainnya. Penerjemahan Alkitab ini dilakukan oleh Albert Cornelius Ruyl. Para ahli bahasa selama ini sudah mencoba mencari tahu, kenapa diantara bahasa-bahasa yang ada di Nusantara bahasa Melayulah yang persebarannya paling luas. Mereka umumnya menisbatkan persebaran ini pada kerajaan-kerajaan Melayu yang kuat pengaruhnya di Nusantara. Kerajaan Melayu pertama yang memiliki pengaruh kuat adalah Sriwijaya. Sriwijaya berkuasa pada abad ke-7 hingga abad ke-12 dan selama persekutuannya dengan kerajaan Mataram Kuno di Jawa memiliki wilayah kekuasaan yang membentang dari Kamboja di barat (dibuktikan dengan prasasti Sdok Kok Thom di Kamboja) hingga selatan Filipina di timur (dibuktikan dengan prasasti Manila Bay di Manila). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pedagang-pedagang Sriwijaya telah mendatangi daerah-daerah pelosok di kawasan timur Nusantara untuk mencari komoditas-komoditas unggulan setempat, seperti rempah-rempah, untuk dijual di kota-kota bandar Sriwijaya di semenanjung Sumatera ke para pedagang asing. Aktivitas inilah yang diduga sebagai penyebab awal tersebar luasnya bahasa Melayu. Di kemudian hari, ketika kerajaan Sriwijaya telah runtuh dan digantikan kesultanan-kesultanan Islam berbahasa Melayu seperti kesultanan Melayu atau Malaka, aktivitas para pedagang mendatangi tempat-tempat jauh di Nusantara tersebut terus berlanjut. Kali ini kegiatan perdagangan mereka juga diiringi kegiatan penyebaran agama Islam. Ketika para pendiri bangsa Indonesia memutuskan untuk menggunakan bahasa Melayu versi Indonesia sebagai bahasa persatuan, sebetulnya mereka tinggal melanjutkan pola-pola yang sebelumnya telah terbentuk. Meskipun bahasa Jawa memiliki jumlah penutur paling besar, namun persebaran penggunaan bahasa Jawa tidak seluas bahasa Melayu. Sementara itu, orang-orang Jawa sendiri yang berprofesi sebagai pedagang pada umumnya mengetahui bahasa Melayu. Kini, bahasa Melayu ragam kita, bernama bahasa Indonesia, makin luas penggunaannya dengan digunakannya bahasa ini sebagai bahasa persatuan dan dalam media massa. Meski demikian, meluasnya penggunaan bahasa Indonesia ini bukannya tanpa masalah. Ramai para penutur asli bahasa daerah di luar Melayu yang mengkhawatirkan ditinggalkannya bahasa daerah mereka oleh generasi muda setempat. Bila hal ini kemudian terjadi, tentunya perlu disayangkan, karena keanekaragaman bahasa mencerminkan keanekaragaman cara manusia dalam berpikir dan melihat lingkungannya. Bila kita benar-benar tak ingin kepunahan bahasa-bahasa daerah di luar Melayu terjadi, maka langkah-langkah perlu diambil oleh pemerintah dan kita sebagai individu. Di lingkungan keluarga, kita dapat membiasakan lagi penggunaan bahasa daerah. Sementara itu, banyak hal yang bisa dilakukan di tingkatan pemerintah. Mulai dari diwajibkannya pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan daerah, penggalakan kegiatan-kegiatan budaya dan lomba bahasa daerah setempat, hingga pembiasaan penggunaan bahasa daerah dalam lingkungan-lingkungan dimana interaksi dengan pihak di luar daerah dapat diduga minimal. Dengan demikian, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tidak berarti kepunahan bahasa-bahasa daerah yang justru menunjukkan keanekaragaman Nusantara. Jalan-jalan ke daerah juga adalah waktu yang bagus buat nyari buku-buku terbitan penerbit lokal yang gak bisa ditemuin di ibukota.
Dulu, tahun 2009, waktu umat Islam minoritas di Swiss mau membangun menara masjid (Menara ya. Masjidnya sendiri sudah ada), ramai orang Swiss menentang. Kata mereka, menara masjid, dan juga termasuk bangunan masjid sebenarnya, tidak sesuai dengan budaya setempat dan merusak lansekap kota yang ada. Padahal menaranya ada di dalam lingkungan masjid. Terkait isu ini bahkan sampai diadakan referendum nasional di Swiss (lihat https://en.m.wikipedia.org/w…/Swiss_minaret_referendum,_2009).
Eh sekarang giliran ada segelintir umat Islam yang menentang pembangunan patung dewa Kwan Sing Tee Koen di Tuban. Alasan penentangannya, uniknya, sama dengan orang-orang Swiss tadi, yaitu tidak cocok dengan lansekap budaya dan agama masyarakat setempat. Padahal patungnya ada di dalam lingkungan klenteng. Melihat perilaku kelompok-kelompok seperti itu, saya benar-benar merasa geli. Dan bukan sekali ini saya geli. Sebenarnya ada banyak lagi contoh perilaku standar ganda seperti ini yang telah dilakukan kelompok-kelompok dari berbagai agama, tapi saya malas menyebutkan di sini satu per satu. Melihat bahwa perilaku seperti ini telah dilakukan oleh kelompok-kelompok dari banyak agama dan berbagai tingkat kemajuan ekonomi (lndonesia, Swiss, dll), sebenarnya ada satu pelajaran yang bisa kita ambil. Apa? Yaitu sikap tidak toleran tidak ada kaitannya dengan agama, tingkat pendidikan, ataupun kemajuan ekonomi pengusungnya. Sikap toleransi itu perlu dilatih. Dan tentunya ditumbuhkan. Melalui pendidikan sejak dini, baik di lingkungan formal (sekolah, tempat kerja, dll) maupun, yang lebih penting, informal (keluarga). Tentunya kalau kita peduli terhadap pentingnya toleransi. Terlalu naif orang-orang Indonesia yang mencaci maki negaranya sendiri dengan mengatakan bahwa orang-orang Indonesia tidak toleran (seakan semua orang Indonesia sama) dan oleh karena itu tidak akan pernah maju seperti AS atau Jerman. Mereka lantas mengatakan, mereka sebenarnya ingin pindah saja dari negara ini. Hehe, buat saya, perilaku orang-orang yang mau enaknya saja ya seperti ini. Kalau Anda mau perubahan, ya Anda harus ikut berjuang bersama-sama. Di negara manapun, itulah kewajiban kita sebagai warga negara. Apakah Anda kira di negara-negara maju tidak ada sikap intoleransi? Sejarah intoleransi negara-negara maju bahkan banyak yang lebih berdarah-darah dari kita sebenarnya (baca sejarah pembantaian Indian Amerika atau pemancungan warga kulit hitam di AS; atau pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman). Juga salah orang-orang yang mencoba membenarkan sikap intoleran mereka kepada pihak lain dengan sikap intoleran yang telah dilakukan pihak lain ke mereka. Kalau kita memang orang yang senantiasa mencoba berpegang pada kebenaran, kita akan bertanya "Sebenarnya sikap apa yang benar?". Jangan korbankan prinsip kebenaran karena ada manusia-manusia lain yang tidak menjalankannya. Kebenaran dan keadilan harus dijalankan tanpa pandang bulu. Sekali lagi, tentunya kalau kita peduli. Pada kebenaran dan keadilan. Jadi, mengingat sikap intoleran bisa muncul di berbagai keadaan masyarakat, maka untuk menghadapinya diperlukan sikap toleran yang tidak bisa muncul secara otomatis, melainkan harus dibentuk dan ditumbuhkan. Perubahan bisa dimulai ketika Anda, saya dan semua orang memulainya di lingkungan terdekat kita. Sebagai pemeluk salah satu agama Abrahamik, sudah sering saya mendengarkan tuduhan bahwa adalah wajar untuk melihat teroris-teroris lahir dari tengah-tengan kalangan pemeluk agama-agama Abrahamik, karena agama-agama Abrahamik mempercayai bahwa hanya agama mereka masing-masing lah yang benar.
Anggapan tersebut perlu saya sanggah atas dasar dua hal: (1) Sejujurnya, meskipun agama-agama lain di luar agama-agama Abrahamik tidak secara eksplisit menyatakan bahwa agama mereka adalah yang paling benar, namun umumnya terdapat juga kepercayaan di antara kalangan pemeluk agama-agama tersebut bahwa agama mereka adalah jalan spiritual paling pas menuju pencerahan berdasarkan pengalaman spiritual pendirinya. Bila tidak ada kepercayaan semacam ini, secara logika tidak akan pernah ada hal yang membuat seseorang menjadi penganut setia suatu agama. (2) Sejarah membuktikan bahwa kekerasan dan terorisme dapat dan telah dilakukan oleh umat dari berbagai agama. Saya merasa tidak perlu untuk menuliskan daftar kekerasan yang pernah dilakukan umat setiap agama dalam sejarah di sini. Cukup bagi saya untuk mengatakan bahwa tidak ada satupun umat beragama (dan juga kaum tidak beragama) yang dapat mengatakan bahwa sejarah umatnya bebas noda. Bila keyakinan bahwa agama kita adalah agama yang paling benar bukan merupakan motif melakukan tindak kekerasan, maka apa motif melakukan tindak kekerasan? Untuk menjawab itu, saya berusaha melihat masa muda saya (SMP) ketika saya sangat dipenuhi perasaan keagamaan dan, sayangnya, juga kebencian yang meluap-luap terhadap pemeluk agama lain. Dalam definisi saya saat ini, saya pada saat itu dapat dikatakan cukup radikal. Apa yang menyebabkan kebencian saya saat itu yang begitu meluap-luap? Pada saat itu, melalui pergaulan saya dan media-media yang saya baca, saya memiliki keyakinan bahwa umat agama saya selalu menjadi korban intimidasi dan ketidakadilan umat beragama lain dimana-mana. Kemudian timbul rasa dendam pada diri saya. Pada saat itu saya belumlah paham bahwa meskipun memang ada bagian dari umat-umat beragama lain yang tindakannya tidak baik, namun sisanya adalah manusia persis seperti saya yang juga menginginkan hidup yang damai dan bahagia dengan manusia lainnya. Ini baru saya pahami ketika saya mulai banyak bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda dengan saya. Selain itu, setelah saya banyak membaca sejarah, saya pun mulai mengetahui bahwa di beberapa tempat dan kesempatan, ada bagian umat beragama saya juga yang melakukan tindakan tidak adil terhadap umat beragama lainnya. Ternyata umat beragama saya pun tidak bebas noda. Dari pengalaman saya, saya menyimpulkan bahwa seseorang bisa memiliki kebencian dan motif untuk melakukan tindak agresif terhadap kelompok lain, bila ia merasa bahwa ia adalah bagian dari kelompok tertindas (victim) dan tidak mengetahui/tidak bisa melihat bahwa kelompoknya sendiri juga tidak bebas noda dan barangkali malah pernah melakukan hal tidak adil/benar terhadap kelompok lain. Kesimpulan saya ini kemudian diperdalam ketika kemudian saya mengetahui tentang teori "Staircase to Terrorism" (Tahap-tahap Menjadi Teroris) yang dikemukakan oleh Fathali M. Moghaddam, seorang psikolog senior Amerika yang selama ini meneliti motif orang-orang yang melakukan tindakan terorisme. Hal yang menarik tentang teori Moghaddam ini adalah bahwa siapapun yang pada awalnya tidak memiliki pemikiran teroris, termasuk Anda, pada akhirnya bisa menjadi seseorang yang berpemikiran teroris, bila orang tersebut berada pada kondisi yang tepat dan menempuh jalan-jalan tertentu yang pada akhirnya akan mengubah dirinya. Jalan-jalan tersebut diibaratkan oleh Moghaddam bagaikan anak-anak sebuah tangga. Ketika seseorang menaiki satu anak tangga, maka terjadi suatu transformasi pada dirinya yang lebih memudahkan ia untuk melakukan tindakan terorisme. Total ada 5 anak tangga menurut Moghaddam untuk mengubah seseorang menjadi teroris. Hal menarik lainnya tentang penelitian Moghaddam adalah, berseberangan dengan pendapat umum, para pelaku teroris sebagian besar ternyata tidak memiliki masalah ekonomi dan bukan merupakan orang berpendidikan rendah. Lantas apa saja tahap-tahap yang bisa membuat seseorang melakukan tindakan terorisme terhadap pihak tertentu dan diibaratkan sebagai 5 anak tangga oleh Moghaddam? Perlu diingat lagi bahwa, sebagaimana telah disampaikan di bagian-1 dari tulisan ini, ketika seseorang naik tingkat, maka orang tersebut akan semakin agresif dan semakin mungkin melakukan tindakan terorisme. Berikut adalah rangkuman saya dengan nama masing-masing tingkat sesuai yang diberikan oleh Moghaddam. (1) "Ground Floor: Psychological Interpretations of Material Conditions" Tahap ini merupakan prasayarat melakukan tindakan terorisme. Pada tahap ini muncul perasaan (subyektif) pada satu/sekelompok orang bahwa mereka telah mendapatkan perlakuan tidak adil di bawah suatu sistem. (2) "First Floor: Perceived Options to Fight Unfair Treatment" Orang-orang yang naik ke tahap ini adalah mereka yang melihat bahwa hanya ada sedikit atau malah sama sekali tidak ada jalan yang diakui di dalam sistem dimana mereka bisa menyuarakan ketidakpuasan atas ketidakadilan yang mereka terima ataupun memperbaiki ketidakadilan tersebut. (3) "Second Floor: Displacement of Agression" Mereka yang naik ke tingkat ini adalah mereka yang telah memiliki pandangan bahwa hanya ada sedikit atau malah satu pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas ketidakadilan yang mereka alami. (4) "Third Floor: Moral Engagement" Orang-orang yang naik ke tingkat ini adalah segelintir orang yang telah memandang pihak yang menyebabkan ketidakadilan yang mereka terima sebagai musuh nyata dan meyakini bahwa harus diambil suatu tindakan fisik terhadap musuh ini. Ini tidak ubahnya seperti pandangan orang awam yang melihat bahwa pihak/negara luar yang menginvasi negara mereka dan menyebabkan kekacauan di dalam negeri sebagai musuh yang harus diperangi balik. Moghaddam juga menyebutkan bahwa di tahap inilah biasanya repertoar tentang moralitas bergaung di kalangan teroris. Sementara pihak oposisi melihat para teroris tersebut sebagai orang-orang tidak bermoral (karena melakukan tindakan tidak manusiawi), para teroris justru melihat bahwa pihak musuhlah yang sebenarnya tidak bermoral. Kezaliman-kezaliman yang dilakukan pihak musuh sentiasa disebut berulang-ulang di dalam lingkaran para teroris, disertai pesan bahwa tindakan memerangi musuh adalah tindakan yang harus dilakukan untuk mengembalikan segala sesuatu ke keteraturan yang seharusnya. Di tahap ini pula, orang-orang yang telah direkrut oleh organisasi-organisasi teroris akan mulai diisolasi dan dibatasi interaksinya dengan dunia luar, untuk menjamin bahwa mereka memiliki idealisme yang sama seperti organisasi perekrutnya dan terjaga "kemurnian" idealismenya dari pengaruh-pengaruh luar. (5) "Fourth Floor: Solidification of Categorical Thinking and the Perceived Legitimacy of the Terrorist Organization" Moghaddam menyebutkan bahwa mereka yang sudah masuk ke tahap ini hanya memiliki kesempatan kecil sekali atau sudah tidak akan bisa lagi keluar hidup-hidup. Mereka yang berada di sini sudah memiliki program-program pasti yang akan mereka jalankan untuk memerangi musuh. Untuk menjalankan program-program tersebut, akan dibentuk kelompok-kelompok kecil (disebut sel-sel teroris) yang terdiri dari 4-5 orang, dimana setiap orang memiliki peranan. Pembagian menjadi kelompok-kelompok kecil ini lazim dilakukan oleh organisasi-organisasi teroris, agar bila satu sel teroris terbongkar oleh musuh, maka sebagian besar struktur dan agenda organisasi teroris tersebut tetap tidak dapat diketahui. Moghaddam juga menyebutkan bahwa setiap sel teroris tersebut umumnya dipimpin oleh seorang yang karismatik dan akan memberikan perhatiannya kepada para anggotanya yang telah direkrut hingga tahap ini. Pada saat yang sama, mereka terus diisolasi dan mengalami indoktrinasi bahwa apa yang sedang dan akan mereka lakukan adalah untuk mencapai tujuan yang mulia. (6) Fifth Floor: The Terrorist Act and Sidestepping of Inhibitory Mechanisms Pada tahap ini dilakukan persiapan-persiapan final sebelum tindakan terorisme dilakukan. Hal-hal yang dianggap sebagai penghalang, menurut Moghaddam, akan disingkirkan. Termasuk rasa kemanusiaan dan belas kasih terhadap warga sipil, bila warga sipil tersebut harus menjadi target mereka. Ditanamkan pemahaman bahwa warga sipil hanya bisa dianggap sebagai teman bila warga sipil tersebut mendukung organisasi teroris mereka. Menurut Moghaddam pula, rasa belas kasih otomatis terpinggirkan melalui mekanisme dan alat-alat yang dipilih para teroris untuk melakukan aksi terorisme mereka. Organisasi-organisasi teroris umumnya memilih alat-alat atau metode-metode yang akan menimbulkan kematian seketika, baik pada target maupun pelaku. Hal ini menyebabkan mereka yang telah direkrut untuk melakukan aksi terorisme tidak dapat menyaksikan ketakutan pada wajah calon korban, permohonan mereka agar mereka diijinkan hidup (seandainya mereka tahu akan menjadi korban), ataupun kesusahan dan kedukaan mendalam yang akan ditinggalkan pada keluarga para korban; yang mana bila kesemuanya itu dapat disaksikan oleh para pelaku teror maka sesungguhnya bisa menimbulkan rasa belas kasih pada diri pelaku teror dan menyebabkan mereka mengurungkan niatnya. Moghaddam mengatakan bahwa rasa belas kasih sebenarnya merupakan bagian alami dari jiwa manusia sebagai binatang. Bahkan seekor serigala yang pada dasarnya bersifat agresif pun, dalam contoh yang diberikan Moghaddam, akan merasakan iba dan mengijinkan serigala yang menjadi lawannya untuk pergi, bila setelah lawan tanding serigala yang menjadi lawan tersebut menderita luka hebat dan memberikan tanda-tanda bahwa ia mengaku kalah. Untuk menutup teorinya, Moghaddam menyampaikan bahwa memburu para teroris dan menghancurkan organisasi mereka sebenarnya tidak akan pernah bisa mengakhiri terorisme. Karena terorisme dilahirkan melalui berbagai keadaan yang telah disebutkan, maka langkah terbaik untuk mengakhiri terorisme, menurut Moghaddam, adalah dengan merubah/memperbaiki keadaan-keadaan tersebut. Selain memperbaiki ketidakadilan yang dapat dirasakan sebagian kalangan masyarakat, pemerintah, Moghaddam menyontohkan, harus memberi kesempatan kepada semua pihak untuk menyampaikan ketidakpuasannya dan turut serta memperbaiki keadaan yang ada. Bila pihak yang merasa tidak mendapat ketidakadilan tersebut telah berubah menjadi organisasi teroris, maka, Moghaddam mengutarakan, bukanlah tidak mungkin untuk mengajak mereka berdialog dan ikut serta memperbaiki kondisi yang ada dengan mengasimilasi mereka ke dalam politik secara perlahan. Hal ini telah terjadi pada IRA (organisasi pemberontak di Irlandia Utara) (dan juga GAM, menurut hemat penulis). Pada akhirnya, dalam perspektif Moghaddam, adalah lebih baik untuk mencegah kemunculan suatu penyakit daripada hanya terus menerus berusaha mengatasi gejalanya. Bei Quora Deutsch habe ich eine interessante Frage gefunden "Wie hat die muslimische Welt auf die Vertreibung von Juden und Moslems aus Spanien im 15. Jahrhundert reagiert?", was mich an meine Gedanke vor einigen Jahren erinnert hat.
Auf jene Frage habe ich so geantwortet: Die meisten von Muslime, wie ich, fühlen traurig. Es gibt immer diese Nostalgie über die Blühzeit von islamischem Mittelalter Spanien in islamischen Geschichtenbüchern. Aber es sind nur sehr wenig Muslime, die Unterricht von dem Untergang des islamischen Mittelalter Spanien ziehen können. Islamisches Mittelalter Spanien war eigentlich der erste grösste Demokratieversuch in der islamischen Welt. Warum? Denn die islamische Eroberung von Mittelalter Spanien hat viele islamischen Volksstämmer eingewickelt: die Araber (die während der Eroberung als Generale agierten), die Bedouins (die als das Heer agierten), und islamische Europäer (als die besiegte Bevölkerung). Damals hat die Vielfalt der spanischen Muslime noch keine Weise gefunden, um die Macht (was das besiegte Spanien betrifft) gerecht zu verteilen. Sie haben noch nichts über Demokratie gewusst und endlich immer Krieg gegen einander geführt. Was am Anfang die Kraft das islamische Spanien geboren hat, wurde auch endlich die Ursache seines Untergangs: Menschenvielfalt. For those who want to know better about Leibovitz and how she derived inspirations from Richard Avedon. Adams is not only famous because he could produce splendid photographs in a time where technicality was such a constraint, but also because he was among the first to forsake the influence of pictorialism in photography. Max Tegmark, seorang fisikawan kuantum, pernah berkata bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk keindahan, sesungguhnya dibangun di atas matematika. Kalau teman-teman ingat, beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang konstanta-konstanta (angka-angka tetapan) di semua hukum alam yang tampaknya telah dipilih secara seksama supaya pada akhirnya lingkungan yang mendukung kehidupan bisa muncul di Bumi ("anthropocentric principle"). Kali ini saya juga ingin membahas tentang angka yang ada di alam, yaitu Phi dan Golden Ratio. Phi adalah angka di dalam matematika yang dihasilkan dari perhitungan (1+✓5)/2, yaitu 1,618033..dst. Sementara Golden Ratio adalah angka satu (1) berbanding Phi (1,618033..dst). Hal yang menarik tentang Phi dan Golden Ratio ini adalah ukuran anggota-anggota tubuh seluruh makhluk hidup di Bumi tampaknya memiliki proporsi yang mengikuti Golden Ratio ini, sebagaimana ditunjukkan oleh video di bawah. Setahu saya, Phi dan Golden Ratio ini menjadi populer dan diketahui luas sejak seniman-seniman dan ilmuwan-ilmuwan Eropa di era Renaissans banyak meneliti dan menulis tentangnya. Pada saat itu Eropa tengah menggandrungi kegiatan mempelajari dan mencari pola di alam yang di kemudian hari akan membawa mereka kepada Era Pencerahan. Penemuan tentang Phi dan Golden Ratio ini banyak manfaatnya, apalagi untuk dunia seni dan arsitektur seperti yang saya tekuni. Di dunia arsitektur, pada umumnya bangunan yang dianggap memiliki proporsi yang enak dipandang mata adalah yang mengikuti Golden Ratio. Atau, bila Anda ingin mendesain bangunan yang enak dipandang mata, cobalah mengaplikasikan Golden Ratio pada semua komponen bangunan yang Anda desain. Bagaimana Phi dan Golden Ratio bisa ada di tubuh semua makhluk hidup? Bila Anda percaya tentang keberadaan Tuhan, bisa jadi Phi dan Golden tersebut adalah "tanda tangan" yang sengaja dibubuhkan pada tubuh semua makhluk hidup sebagai bukti bahwa semuanya adalah karya Seniman Besar yang tunggal. I think this is a splendid brief explanation about Salgado and his works. A Magnum photographer, Salgado, to me, sets himself apart from other photo journalist maestros such as Cartier Bresson by his attention to light, stark contrast, and drama as portrayed in his photos -all of which have put his works to my liking over those of the other photo journalists. Semua rasa takut berasal dari ketidaksanggupan kita menerima kondisi terburuk dalam kehidupan. Mereka yang pernah melewati hal-hal terburuk dalam kehidupan, biasanya tidak lagi dikekang rasa takut. Benar tidak?
|
TOPICS
All
MONTHS
December 2019
|